Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Musim haji empat tahun lalu (bagian keempat)

Avatar photo
40
×

Musim haji empat tahun lalu (bagian keempat)

Share this article

Selepas puncak musim haji, petugas dan jamaah kembali ke sektor masing-masing di Makkah. Kami kembali bertugas, namun dengan suasana hati yang lebih plong. Bukan berarti pekerjaan tidak lagi berat, namun karena inti ibadah haji telah dilalui.

Satu persatu kloter kemudian meninggalkan Makkah; gelombang satu yang sebelumnya telah singgah di Madinah langsung pulang menuju tanah air melalui Jeddah, sementara gelombang dua yang ketika datang langsung ke Makkah akan bergerak menuju ke Madinah. Petugas bagian akomodasi, termasuk saya, membantu jamaah dalam proses keluar dari pemondokan.

Meski para petugas haji sudah diplot di bagian masing-masing, namun seorang petugas harus selalu siap membantu jamaah dalam permasalahan apapun. Di setiap masing-masing petugas, ego pribadi atau ego sektoral pasti ada kemungkinannya. Bisa saja dalam benak muncul pertanyaan “tugas mereka kok lebih ringan dari tugas kami?” Bisa juga pikiran berbisik “ini semestinya tugas kalian, bukan tugas kami”. Semua rasa cemburu ini, sungguh manusiawi adanya. Namun secara umum, hal manusiawi itu bisa disimpan, tidak mengganggu bagaimana para petugas membantu para jamaah.

Di antara sekian perkara di mana para petugas mesti sigap membantu adalah saat jamaah haji tersesat. Dalam hal ini, sebagaimana saya sampaikan, awalnya ada ego pribadi yang muncul dalam diri saya. “Sudahlah. Ada petugas lain yang menolong, kok,” demikian pikiran saya membisiki. Tapi beberapa kali saya memang harus mengantar sendiri karena memang saya petugas satu-satunya yang ditemui.

Lama-kelamaan, alhamdulillah, saya bisa menikmati momen mengantarkan jamaah yang tersesat. Perasaan ketika melihat jamaah yang sudah sampai ke tempat atau ketemu orang yang ia cari adalah kebahagiaan luar biasa. Capek berjalan atau mencari-cari pun lunas terbayar sudah. Suatu ketika saya mengantar sebuah dompet yang bisa saya lacak identitas dan alamat kamar empunya. Saya masih terus ingat ekspresi yang punya dompet saat menerima barangnya kembali. Pernah suatu ketika pasangan jamaah suami istri mau beri saya uang setelah saya antar ke pemondokannya. Tentu saya menolak, tapi sebagai gantinya saya minta didoakan.

Saya cukup well-equipped untuk urusan identitas jamaah, alamat maupun rute. Data pemondokan di Makkah, rute bus shalawat, data maktab selama di Arafah, Muzdalifah dan Mina saya simpan baik-baik di dalam gawai. Peta dalam bentuk cetak juga saya selalu bawa.  Jika jamaah ini dari sektor saya, saya bisa tahu di hotel apa, tower yang mana, lantai berapa, kamar nomor berapa. Jika itu dari sektor lain, minimal kami punya data di hotel mana kantornya sektor berada. Jika jamaah memang sulit diajak berkomunikasi, baik karena sudah renta, atau disorientasi, atau kendala bahasa, minimal kami bisa tahu dari identitas yang ada di tas maupun gelang.

Urusan tersesat tidak hanya terjadi di luar pemondokan. Di dalam hotel pun jemaah bisa tersesat. Maklumlah, satu tower tempat kami bertugas terdiri dari 30 lantai, masing-masing lantai punya 45 kamar, lift jumlahnya 24. Jamaah berusia lanjut bisa saja kebingungan untuk urusan ini. Kunci kamar digital hilang, tertinggal atau macet adalah kasus sehari-hari yang harus selalu kami koordinasikan dengan pihak hotel. Yang tersesat bukan cuma orang, tapi bisa juga barang bawaan,

Seragam petugas haji memang mudah sekali dikenali jamaah asal Indonesia. Jadi, setiap saat ada jamaah tersesat, ia bisa minta tolong kepada siapapun petugas yang nampak di sekitar. Nah, karena seragam inilah, saya juga sering mengalami dimintai tolong jamaah haji negara lain dalam perkara mencari tempat yang dituju. Pikir saya, “sudah jelas tulisannya Indonesia, kok ya masih dimintai tolong jamaah dari negara lain?”

Namun, saya juga akhirnya menikmati dimintai tolong jamaah dari luar Indonesia ini. Tentu saja, jika ada jamaah haji Indonesia yang berasamaan minta tolong, saya akan prioritaskan yang dari tanah air. Bahkan sesama jamaah tanah air, ada prioritasnya juga, lho. Karena kami petugas untuk membantu jamaah haji Indonesia jalur reguler Kementerian Agama, maka yang biasa kami sebut jamaah haji plus itu bukanlah tanggung jawab kami juga. “Sudah ada yang ngurusi,” kata teman saya sesama petugas. Jamaah asal Indonesia tapi sudah mukim di Arab Saudi, atau asal Indonesia tapi berangkat dari luar negeri, itu juga di luar wilayah tanggung jawab.  Tapi meski ada prioritas tanggung jawab, menolong tetaplah menolong, dan itu mesti diusahakan selagi bisa.

***

Tentang menolong jamaah luar negeri, ini malah akhirnya menjadi satu kebanggaan diri. Pertama, saya bisa membuktikan ke diri saya sendiri kalau Bahasa Inggris dan Bahasa Arab yang saya pelajara selama ini memang benar-benar terasa manfaatnya. Kedua, saya yang berasal dari negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia sekaligus penyumbang jamaah haji terbanyak ini, merasa sedang menjadi duta bangsa di antara masyarakat Muslim dunia.

Saya sempat menolong jamaah haji dari beberapa negara dalam urusan kesasar atau mencari suatu tempat. Tentu saja untuk urusan ini, Google maps adalah aplikasi yang sangat membantu. Di antara negara-negara tersebut ada Malaysia, Bangladesh, Cina, Eritrea, Kanada dan beberapa negara lain yang saya sudah lupa.  

Berinteraksi dengan jamaah haji asing, tidak hanya urusan kesasar memang jadi pengalaman berharga tersendiri. Dari sekian tempat, Mina adalah yang paling memberi kesan, karena di sini bagi saya terasa sekali persinggungan dengan orang asing dari berbagai negara. Di Mina saya juga sempat menolong orang Mesir yang bertanya arah, juga petugas kemanan pribumi Arab Saudi sendiri yang merasa sakit minta diantar ke pos Kesehatan Indonesia. Bangganya dalam hati minta ampun! Orang Indonesia menolong orang Arab di negeri Arab!

Sebenarnya sektor pemondokan cukup menjadi ruang interaksi dengan orang dari negara asing juga. Para pegawai hotel ada yang dari Mesir, ada juga dari Bangladesh dan Burma. Pegawai katering ada yang dari Thailand. Di antara lima tower hotel yang kami tempati di sektor, dua tower disewa jamaah dari Kurdistan. Saya jadi bisa melihat langsung celana kolor panjang yang selama ini saya tahu dari sosok Mahmoud Barzani melalui televisi. Seorang kakek Kurdi dengan celana begini pernah kesasar masuk ke tower kami dan saya pun menunjukkan tempat semestinya.  

Pedagang di selasar hotel juga orang asing. Ia buka dagangan persis di samping sofa dan meja yang jadi pos kami bertugas. Awalnya ia saya kira orang Afghanistan, yang setahu saya mukanya memang kecina-cinaan. Eh, tak tahunya ia orang Cina beneran, tepatnya orang Uyghur. Saya malah jadi penerjemah antara dia dan pembeli, dari Bahasa Arab ke Jawa dan sebaliknya. Saat longgar, kami ngobrol macam macam sampai masalah politik. Ngobrol soal olahraga juga iya, karena saya ingat kalau pas Asian Games 2018 di Indonesia, Cina jadi juara bola basket putra maupun putri dan salah satu pemain putra andalannya adalah orang Uyghur, namanya Abdusalam Abdurixit Yang tidak pernah terlupa adalah momen saat dia tanya-tanya kemungkinan menikahi perempuan Indonesia.

Selagi orang bisa Bahasa Arab maupun Inggris, saya masih bisa berkomunikasi dengannya. Kalau tidak bisa, Bahasa apalagi kalau bukan bahasa isyarat yang harus digunakan. Kalau sudah mentok, saya carikan orang senegaranya agar bisa dibantu. Pernah juga saya ketemu orang yang saya tebak dari negara pecahan Uni Sovyet, karena saya kenali topi khasnya. Maunya saya tanya negaranya apa dan nama topi khas itu apa. Tapi ternyata yang saya tanya tidak paham.

Supir bis shalawat yang dari Mesir semangat sekali bercerita tentang pengalamannya dengan orang Aljazair. Dalam ceritanya, orang Aljazair prilakunya sangat negatif. Saya pikir memang sentimen dua negara ini tidak juga habis meski di luar urusan sepakbola. Saya pernah iseng tanya ke petugas hotel tentang orang Indonesia dan dia jawab bagus. Saya tanya apa sebabnya, katanya “dimagh baarid”. Maksudnya adalah otaknya dingin. Yah begitulah orang Indonesia, cenderung memilih mengalah dan tidak suka protes.

 

Kontributor

  • Muhyidin Basroni

    Muhyidin Basroni, Lc., MA., peminat kajian sejarah, budaya dan seni dalam Islam, pernah belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, kini mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta.