Saya kembali dari klinik ke sektor pada hari Senin siang, 5 Agustus 2019 atau 4 Dzulhijjah 1440. Syukur alhamdulillah, saya telah dinyatakan sehat sebelum waktu wukuf tiba. Hari itu juga, saya kembali bertugas, meski sisa-sisa bintik-hitam bekas cacar masih nampak di muka. Saya teringat pesan dokter untuk berhati-hati kalau keluar ke tempat umum, khawatir ditangkap pihak keamanan lokal karena dianggap membawa penyakit menular katanya.
Saat itu, saya langsung bertugas sampai malam hari, bahkan sampai lewat tengah malam hampir dini hari. Saat saya keluar dari tower 2 Hotel Al Kiswah Towers menuju tower 1 tempat pemondokan petugas sektor, saya dapati hujan turun. Bagi saya itu momen luar biasa, karena sejak menginjakkan kaki di tanah suci semasa bertugas itu, saya belum pernah mendapatkan hujan turun. Saya sangat terkesan dengan hujan itu, hujan pertama kali semenjak saya berada di tanah suci di musim haji tahun itu.
Saya pun menuju kamar dan tidur. Sehabis subuh, saya melihat kabar duka melalui gawai. Telah wafat, KH. Maimoen Zubair pada pagi itu, sekitar pukul 04.00 lebih, pada hari Selasa tanggal 5 Dzulhijjah. Beliau yang biasa disebut Mbah Moen ini, pengasuh Pesantren Al Anwar Sarang Rembang, tokoh penting dan terhormat di dunia pesantren dan NU, dunia yang menjadi latar belakang saya. Setelah membaca kabar, saya pun teringat hujan yang turun sebelumnya, berpikir bahwa hujan itu bukanlah sembarang hujan. Di hari itu, saya menyempatkan waktu di sela bertugas untuk menghadiri upacara pemberangkatan jenazah di Kantor Daker Makkah dan pemakaman beliau di Ma’la.
Mbah Moen juga adalah guru dari mertua saya, yang memang pernah mesantren di Sarang. Masih teringat saat saya diajak oleh mertua untuk sowan Mbah Moen di kediaman beliau, kami mendapat ijazah hadits musalsal, termasuk musalsal bil mushafahah dan musalsal bir ru’yah. Hadits musalsal adalah hadits yang proses periwatannya mulai dari Nabi Muhammad dilaksanakan dalam momen yang sama, bisa tempat, waktu atau kondisi. Hadits musalsal bil mushafahah dilaksanakan periwatannya dengan bersalaman, sementara hadits musalsal bir ru’yah periwatannya dengan memandang wajah. Saat itu tamu tidak banyak, seingat saya cuma rombongan kami. Mbah Moen meriwayatkan hadits dengan menyalami dan memandang kami berdua dan bapak saya pun menangis terharu. Bapak Mertua saya sendiri telah meninggal pada bulan November 2022 lalu.
Hari Rabu, 6 Dzulhijjah 1440, sehari setelah pemakaman Mbah Moen, saya kembali lagi mesti menyelakan waktu di antara tugas. Kali ini saya mesti membantu persiapan sebuah acara, yaitu silaturahmi NU sedunia yang akan diselenggarakan pada esok harinya. Sebenarnya, panitia acara ini adalah PCINU Arab Saudi dan saya kira saya hanya perlu untuk membantu semampunya. Tapi ternyata nama saya juga ikut muncul di jajaran panitia. Acara ini akan diadakan di hotel Al Tayseer yang tentu saja ada di wilayah kerja sektor 10. Di hotel ini juga, beberapa hari sebelumnya, organisasi Muhammadiyah juga menyelenggarakan silaturahmi Muhammadiyah sedunia.
Malam Kamis saya ikut membantu di ruang pertemuan untuk menyiapkan acara. Kursi, panggung, background, dekorasi, sound system semua ditata dan dipasang. Soundman yang sudah cukup akrab dengan saya karena beberapa kali sudah ketemu dalam rangka persiapan acara pun berbagi cerita. Ia bercerita tentang momen saat jadi tukang sound untuk kegiatan wukuf jamaah haji Indonesia di arafah. Wah, bukan tukang sound sembarangan ini, batin saya. Biasaya saya ketemu tukang sound acara acara pengajian kampung, eh, ini tukang sound acara wukuf di Arafah!
Tengah malam, tiba-tiba panitia bersama pergi entah ke mana. Yang tinggal di ruangan hanya saya dan adik sepupu istri saya yang kebetulan seorang mahasiswa yang sedang berkuliah di Arab Saudi. Dia petugas haji juga, panitia acara juga. Kami ngobrol ‘ngalor-ngidul’ sampai lama-lama saya tidak tahan untuk mengecek kabar panitia lain. Satu orang saya kontak, eh katanya satu rombongan pulang ke Jeddah, lalu tertahan pihak keamanan saat mau masuk kembali ke Makkah entah kena apa. Memang, sejauh saya tahu, pengurus PCINU Arab Saudi kebanyakan berdomisili di Jeddah.
“Halah, mbuh,” batin saya. Kemudian saya lanjut ngobrol-ngobrol lagi dengan teman saya satu-satunya malam itu. Ingin rasanya untuk tidur saja, tapi khawatir kalau ada apa-apa dengan barang di situ. Ngobrol sudah tidak ‘ngalor-ngidul’ lagi, malah sampai ‘ngetan-ngulon munggah-mudhun’, sampai kami sadar waktu sudah masuk subuh. Di sebelah aula, ada tempat shalat di mana jamaah haji mulai berdatangan. Setelah ikut jamaah shubuh, saya putuskan pulang ke kamar untuk tidur. Kalau tidak tidur, bisa repot kalua pas acara nanti. Soal barang-barang, saya pikir sebentar lagi pagi dan pasti akan ada panitia lain yang datang.
Bangun agak kesiangan, saya sampai lokasi lagi dimana suasana sudah ramai. Saya bantu-bantu acara lagi sebisanya, termasuk naik turun dengan lift mengangkut konsumsi acara dari parkiran dengan troli hotel. Siang itu, acara silaturahmi NU sedunia pun selesai. Saya bersyukur atas kondisi badan yang baru lepas dari sakit dan sudah harus melalui hari-hari sibuk. Di depan, masih akan ada hari-hari yang lebih sibuk lagi. Acara hari Kamis itu tepat pada tanggal 7 Dzulhijjah, berarti besoknya hari tarwiyah, lalu besoknya lagi hari Arafah! Malam harinya, Kamis malam Jumat yang sudah masuk tanggal 8 Dzulhijjah, saya berangkat ke Arafah dengan kondisi agak penat karena capek dan kurang tidur. Tapi alhamdulillah, semua berjalan baik-baik saja.
***
Pada masa puncak ibadah haji, petugas sektor kami dipecah menjadi tiga satuan tugas di tiga tempat yang berbeda; Arafah, Muzdalifah dan Mina. Saya kebetulan mendapat bagian tugas di Arafah sehingga memang harus sudah berada di Arafah pada hari tarwiyah. Kami harus berada di Arafah sebelum para jamaah datang dan baru boleh bergeser ke Muzdalifah setelah jamaah di area tempat tugas kami telah seluruhnya habis. Dr Abdul Ghoffar menjadi koordinator bagi petugas haji sektor 10 Makkah yang bertugas di Arafah. Di sana tim kami diperkuat oleh beberapa petugas haji dari daker atau sektor lain serta dari unsur mukimin, warga negara Indonesia yang tinggal di Arab Saudi.
Ketika jamaah sampai Muzdalifah, satuan tugas Arafah tidak lagi menjadi penanggung jawab utama, namun tetap bertugas membantu. Demikian juga setelah jamaah sampai Mina, satuan tugas Arafah dan Muzdalifah, berfungsi menjadi backup dan tidak tinggal di tenda. Ahad 11 Agustus atau 10 Dzulhijjah siang hari, kami petugas Arafah telah melewati tahallul awwal. Kami mencari hotel jamaah haji Indonesia di sektor yang tak jauh dari kawasan jamarat agar dekat untuk wira-wiri. Kami mendapat tempat untuk stand by di hotel Al Zaer Al Mashaer yang kami gunakan aulanya untuk beristirahat.
Para jamaah dan petugas yang kebetulan sektornya dekat dengan jamarat ini paling enak kalau pas masa puncak ibadah haji. Sebaliknya, sektor kami bisa dikatakan paling jauh dengan jamarat dan Mina. Tapi di hari-hari biasa, di luar masa puncak ibadah haji, sektor kami bisa dikatakan paling enak karena jaraknya paling dekat dengan Masjidil Haram. Kalau tidak naik bus shalawat pun, bisa berjalan kaki. Ya begitulah, ada kurang dan lebih di masing-masing.
Sore hari saya kembali berjalan ke Mina, melewatkan waktu hingga lewat waktu tengah malam di sana. Selain urusan ibadah, tentu saya menyiapkan diri jika ada jamaah yang perlu bantuan sembari menyambangi kawan petugas sektor 10 yang kebetulan memang mendapat tugas di Mina. Masuk dini hari saya pun mulai berjalan menuju jamarat sembari menuju pulang ke tempat istirahat. Esok harinya, tanggal Senin 12 Agustus atau 11 Dzulhijjah, juga saya melakukan hal yang sama. Tiga kali saya melewati arah dari Mina ke jamarat dan tempat istirahat, kebetulan selalu bersama kepala sektor 10, Pak Nurul Badruttamam.
Yang tidak bisa dilupakan pada siang menjelang sore di hari Senin itu adalah terjadinya hujan yang sangat lebat. Waktu itu saya di tempat istirahat di Hotel Al Zaer Al Mashaer, melongok dari jendela ke arah bawah, melihat jalanan yang benar-benar tergenang hujan deras. Teman-teman petugas membicarakan kabar yang viral di tanah air bahwa terjadi banjir di Mina. Memang benar banyak air menggenang dan mengalir deras di Mina pada waktu itu, namun terjadi tidak lama. Buktinya, ketika saya berjalan ke arah Mina, keadaan sudah baik-baik saja, meskipun sisa-sisa efek hujan masih terlihat di sana-sini.
Hari Selasa 13 Agustus, kami petugas sektor 10 yang ditugaskan di Arafah kembali pulang ke sektor. Hari-hari itu, biaya transportasi sungguh harganya berlipat-lipat naik tak seperti tarif biasa. Ini semua karena orang butuh kendaraan. Kami berhasil mencari kendaraan sewa dan selamat kembali ke Al Kiswah tower 1. Puncak musim haji yang biasa disebut Armuzna, singkatan dari Arafah, Muzdalifah dan Mina, telah terlewat. Kami bagian akomodasi kembali bertugas seperti semula, menyiapkan segala sesuatu untuk jamaah yang kembali ke pemondokan.