Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Puasa: pembentukan keshalehan individual dan sosial

Avatar photo
49
×

Puasa: pembentukan keshalehan individual dan sosial

Share this article

Sering kali jika hampir mendekati bulan ramadhan, iklan Marjan sudah berseliweran di televisi. Kajian-kajian soal puasa banyak kembali didiskusikan. Mulai dari syarat sahnya puasa, sunnah-sunnah puasa, batalnya puasa hingga keutamaan puasa berserta seperangkat kisah-kisah didalamnya. Tak terkecuali tentang tema “pembentukan keshalehan individual dan sosial”. Dan, inilah yang akan penulis bahas.

Sengaja diberi tanda petik, karena menurut hemat penulis tema ini cukup sentral. Bagaimanapun pembahasan tentang puasa selalu mengarah pada “membentuk kepribadian yang shaleh individu dan sosial”. Kita tahu bahwa, puasa memiliki implikasi-implikasi yang sangat positif bagi pembentukan kita untuk lebih dekat pada Allah sebagai orang yang bertaqwa (shaleh indivual). Akan tetapi, pada saat yang sama, kita juga dituntut untuk menjadi warga negara yang baik (shaleh sosial).

Sudah mafhum bahwa bulan puasa adalah bulan spesial. Tidak hanya spesial bagi orang muslim, tapi spesial bagi semua agama-agama. Satu ibadah yang seperti memasuki “era new normality atau menuju kenormalan baik. Itu artinya, begitu bulan puasa datang tanpa disadari seketika perubahan-perubahan terjadi pada level yang visible (kasat mata) hingga perubahan yang sangat lembut subtil”. Tentunya pada level kejiwaan dan cara berpikir.

Secara visual misalnya, menjelang isya’ kita menyaksikan orang muslim berbondong-bondong datang ke masjid untuk shalat tarawih. Demikian juga dari berbagai penjuru kita mendengar suara-suara nidha’ (panggilan shalat). Bahkan, saat waktu sahur tiba kita mendengar seruan-seruan berbeda (yang tidak didengar pada hari sebelumnya). Itulah perubahan-perubahan yang sifatnya visual.

Menariknya, sore hari menjelang adzan Maghrib yang pada biasanya suara knalpot masih berisik, saat adzan seketika jalan sepi meredah. Sekilas ini nampak semacam satu keanehan. Jalan yang awalnya macet-kemacetan, kini berubah menjadi sepi melompong. Tentu saja ini karena berkah bulan puasa.

Penting dicatat, bahwa secara lahiriyah puasa tidak hanya membawa “kenormalan baru” pada level visual (dhahir), melainkan juga terjadi pada level batin. Artinya, perubahan juga dirasakan oleh kejiwaan. Dalam hal ini, cara kita melihat orang-orang disekitar tanpa disadari juga berubah. Tentu saja kualitas perubahan ini terjadi secara variatif antara satu orang dengan orang yang lain.

Misalnya, suasana hati begitu bulan puasa masuk tiba-tiba terdorong untuk lebih banyak membaca al-Qur’an. Diri kita yang semula tidak pernah baca al-Qur’an seakan tertuntut membacanya (khataman). Begitu pun dengan suasana pemikiran yang menjadi reflektif. Sekali lagi, ini terjadi karena perut tidak seaktif pada hari-hari biasa.

Ini selaras dengan ajaran-ajaran para sufi. Kenapa demikian? Karena perut kosong adalah salah satu syarat untuk mengkondisikan jiwa dan pikiran kita (untuk lebih atentif dan memberikan perhatian yang lebih kepada sesuatu). Jelasnya, jika perut terlalu penuh, maka perhatian kita menjadi tersendat.

Penulis tertarik dengan kisah filosof besar asal Jerman yaitu Immanuel Kant (hidup pada abad-18), yang konon mempunyai kebiasaan makan sehari hanya dua kali (makan pagi dan siang, makan malam tidak). Alasannya, ia tidak makan malam karena jika perut terlalu kenyang maka ia tidak bisa konsentrasi berpikir dan membaca.

Rupanya-rupanya, tanpa disadari juga, selama bulan puasa roh kita lebih aktif. Seakan diri kita merasa lebih menjadi man and women of reflection ketimbang “man and women of action”. Maksudnya, presentasi kegiatan-kegiatan fisik lebih di kurangi ketimbang kegiatan yang bersifat rohaniah dan intelektual.

Yang tak kalah menariknya, kebiasaan 10 hari menjelang akhir puasa kita mengalami intensitas ibadah yang semakin tinggi. Misalnya banyak orang yang i’tikaf menyambut datangnya malam lailatul qadar. Akan tetapi ini hanya keshalehan yang bersifat personal. Dianggap personal karena orang hanya akan melakukan pada bulan puasa saja. Lalu bagaimana pasca bulan puasa? Apakah dia akan tetap melakukannya untuk menjadi manusia berbeda?

Syahdan, jika ditelisik lebih jauh, makna kesalehan sosial menurut penulis dimensinya banyak sekali. Salah satunya adalah sabar dalam konsep “al-hilmu”. Dalam hal ini, kalau kita diganggu dan disakiti oleh orang lain, kita tidak membalas tindakan orang itu dengan tindakan serupa (kejahatan tidak dibalas dengan kejahatan). Allah Swt. berfiman dalam al-Qur’an surah Fussilat ayat 34:

وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۗاِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ

Artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan an-tara kamu dan dia akan seperti teman yang setia.” (QS. Fussilat: 34).

Ringkasnya, membalas kejahatan orang dengan kebaikan, itu bisa menghentikan lingkaran kebencian (lingkaran setan). Karena jika kebencian dibalas dengan kebencian maka akan menimbulkan kebencian dan kebencian yang tak berkesudahan.

Benar apa kata Mahatma Ghandi (ia pernah mengkritik etika retaliasi: etika balas dendam), “jika sebuah mata harus dibalas dengan sebuah mata, hanya akan membuat seluruh dunia ini buta.” Kalau kekerasan dibalas dengan kekerasan, maka kekerasan akan tetap berkecambah dan tumbuh subur. Sebuah pembalasan pada kekerasan bakal menuntun pada rentetan kekerasan lainnya.

Sama. Dalam filsafat Jawa kita mengenal istilah mati siji mati kabeh. Artinya kalau orang berbuat kejahatan dibalas dengan kejahatan, maka akhirnya semua orang menjadi korban”. Dengan demikian, sebetulnya membalas kejahatan dengan kejahatan justru tidak akan bisa menyelesaikan satu kejahatan, melainkan menambah kejahatan menjadi lebih intensif dan variatif.

Tak hanya itu, termasuk keshalehan sosial yang penulis anggap penting adalah membela kaum mustad’afin (lemah). Paling tidak, kita meringankan beban mereka yang rentan secara ekonomi. Di sinilah, sebenarnya kesalehan sosial merupakan wujud ketaatan beribadah memberikan jalan terbaik mengatasi masalah tersebut.

Secara tak langsung, ini menegaskan bahwa Islam memandang ketakwaan seseorang tidak cukup dengan ritual yang bersifat individu seperti shalat, puasa, dan haji. Namun, lebih dari itu ketakwaan akan lebih komprehensif (kaffah) jika mengakomodasi kepentingan umum dan bermanfaat kepada lingkungannya.

Selain itu, kesalehan sosial juga mengajarkan kita untuk berempati dan bersimpati atas kekurangan yang dirasakan orang lain. Tentunya dilandasi rasa ikhlas tanpa dibatasi jumlah dan waktu tertentu. Yang tak lain, semua itu demi mengharapkan rida Allah Swt. penulis teringat sabda Kanjeng Nabi:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولَهُ

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan doa anak yang sholeh.” (HR. Muslim).

Akhiran, jika sabar dalam pengertian al-hilmu bisa diterapkan dalam pola kehidupan, maka kita akan berada dalam kehidupan yang damai dengan sosial tertata. Sebaliknya, jika kita tak bisa menerapkan dan mengendalikan, maka yang terjadi adalah rusaknya anyaman-anyaman sosial. Pun, berpuasa akan terasa lengkap jika sikap solidaritas sosial terhadap sesama masih harmonis, sehingga ketakwaan kepada Allah Swt. berlangsung lebih paripurna. Wallahu a’lam bis Shawab.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.