Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Mengarungi samudera tasawuf (4): Apa itu tasawuf syar’i?

Avatar photo
37
×

Mengarungi samudera tasawuf (4): Apa itu tasawuf syar’i?

Share this article

Tasawuf selanjutnya berkembang menjadi aliran (mazhab); dan sejauh tidak bertentangan dengan Islam, maka dapat dikatakan positif. Tetapi, apabila telah keluar dari prinsip-prinsip keislaman maka, tasawuf tersebut menjadi aliran sesat, dan sering dikenal dengan sebutan mistisisme. Tasawuf ijabi atau yang dibenarkan oleh syara’ mempunyai dua corak.

Pertama, tasawuf akhlaqi, yakni yang membatasi diri pada dalil-dalil naqli atau atsar dengan menekankan pendekatan interpretasi tekstual.

Kedua, tasawuf sunni, yakni yang sudah memasukkan penalaran-penalaran rasional kedalam konstruk pemahaman dan pengamalannya. Perbedaan mendasar antara tasawuf salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil. Salafi menolak adanya takwil, sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada dalam kerangka syariah.

Sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah terpengaruh secara jauh oleh paham gnostisisme Timur maupun Barat. Terdapat beberapa pendapat tentang pengaruh luar yang membentuk tasawuf Islam. Ada yang menyebutkannya dari kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kehidupan materiil. Ada pula yang menyebutkannya dari pengaruh ajaran Hindu dan juga filsafat neoplatonisme.

Dalam Hindu misalnya, terdapat ajaran asketisme dengan meninggalkan kehidupan duniawi untuk, mendekatkan diri kepada Allah dan menggapai penyatuan antara Atman dan Brahman. Pythagoras juga mengajarkan ajakan untuk meninggalkan kehidupan materi, memasuki dunia kontemplasi.

Demikian juga teori emanasi dari Plotinus yang dikembangkan untuk menjelaskan konsep roh yang memancar dari Dzat Allah dan, kemudian akan kembali kepada-Nya. Pada konteks ini, tujuan mistisisme, baik dalam maupun di luar Islam ialah, kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung antara roh manusia dan Allah, kemudian mengasingkan diri dan berkontemplasi.

Syahdan, lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor:

Pertama reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat.

Kedua, perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-spiritual.

Ketiga, katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi oleh nalar kekerasan. Karena itu, sebagian ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan agama dengan praktik-praktik yang berlumuran darah.

Menurut Hamka, kehidupan sufistik sebenarnya lahir bersama dengan lahirnya Islam itu sendiri. Sebab, ia tumbuh dan berkembang dari pribadi Nabi Saw. Tasawuf Islam sebagaimana terlihat melalui praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis. Hanya saja, sebagian ulama belakangan justru membawa praktik kehidupan sufistik ini menjauh dari kehidupan dunia dan masyarakat.

Tasawuf kemudian tak jarang dijadikan sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial dengan, alasan tidak ingin terlibat dalam fitnah yang terjadi di tengah-tengah umat. Mereka yang memilih sikap uzlah ini sering mencari-cari pembenaran (apologi) atas tindakannya pada firman Allah. Padahal, dapat diketahui bersama bahwa, Nabi dan para sahabatnya sama sekali tidak melakukan praktik kehidupan kerahiban, pertapaan atau uzlah. Mereka tidak lari dari kehidupan aktual umat, tetapi justru terlibataktif mereformasi kehidupan yang tengah dekaden agar menjadi lebih baik dan sesuai dengan cita-cita ideal Islam.

Sebagaimana halnya fikih dan kalam, tasawuf memang sering dipandang sebagai fenomena baru yang muncul setelah masa kenabian. Tetapi tasawuf dapat berfungsi memberi wawasan dan kesadaran spiritual atau dimensi rohaniah, dalam pemahaman dan pembahasan ilmu-ilmu keislaman. Tanpa memahami gagasan dan bentuk-bentuk mistisisme yang dikembangkan dalam Islam, maka hal tersebut serupa dengan mereduksi keindahan Islam, dan hanya menjadi kerangka formalitasnya saja.

Dimensi mistis dalam tiap tradisi keagamaan cenderung mendeskripsikan langkah-langkah menuju Allah dengan imaji jalan (the path). Misalnya, di Kristen dikenal tiga jalan: the via purgativa, the via contemplativa, dan the via illuminativa. Hal serupa ada pula dalam Islam, dengan mempergunakan istilah shari’a, tariqa, dan haqiqa.

Praktik kesufian sebagaimana dipahami secara umumdewasa ini memang menuntut disiplin laku-laku atau amalan-amalan yang merupakan proses bagi para salik menemukan kesucian jiwanya. Salik adalah istilah yang diberikan kepada para pencari Allah, yaitu orang-orang yang berusaha mengadakan pendekatan (taqarrub) untuk mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.

Jalan spiritual yang ditempuh para sufi tidaklah mudah. Dalam tradisi kesufian, tingkatan-tingkatan spiritual digambarkan dalam analogi titik pemberhentian (station atau maqam) yang antara sufi satu dengan lainnya sering terdapat perbedaan pendapat. Station ini antara lain: taubat, zuhud, sabar, tawakkal, ridha, mahabbah, ma’rifah fana, ittihad dan hulul. Selain maqam, tradisi sufi mengenal apa yang disebut dengan hal (ahwal).

Adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari Allah atas riyadhah atau disiplin spiritual yang dijalaninya. Suatu situasi kejiwaan tertentu terkadang terjadi hanya sesaat saja. Adakalanya juga relatif cukup lama, bahkan jika hal tersebut sudah terkondisi dan menjadi kepribadian, maka hal inilah yang disebut sebagai ahwal.

Beberapa ahwal yang banyak dianut oleh kalangan sufi rumusannya sebagai berikut: muraqabah, khauf, raja’, Syauq, Uns, tuma’ninah dan musyahadah. Allah dalam surat al-Nisa: 77 berfirman, “Katakanlah, kesenangan didunia ini hanya sementara dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa.”

Dalam wacana kesufian, takhallian al-Radzail atau membersihkan diri dari perbuatan tercela merupakan langkah awal untuk membersihkan hati seseorang. Sedangkan tahalli bi al-fadail atau menghiasi diri dengan sifat-sifat luhur adalah, tangga berikutnya untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu tajalli. Jadi tarekat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syariat. Ini sebuah pengandaian olah kalangan sufi bahwa, sesungguhnya sekolah tasawuf adalah cabang dari dogma agama.

Dari sini menarik jika dipertanyakan, bagaimana sebenarnya karakteristik zuhud? Kita tahu, pertama: Zuhud ini berdasarkan ide untuk menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari azab neraka. Ide ini berakar dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkena dampak berbagai kondisi sosial politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.

Kedua adalah, bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis zuhud. Zuhud ini mengarah pada tujuan moral.

Ketiga, adalah otivasi zuhud ini ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara itu, pada akhir abad kedua Hijriah, di tangan Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa takut terhadap azab-Nya.

Keempat, menjelang akhir abad 2 Hijriah, sebagian zahid khususnya di Khurasan dan pada Rabi’ah al-Adawiyyah ditandai dengan memperdalam membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawufatau sebagai cikal-bakal para sufi abad ketiga dan keempat Hijriah. Al-Taftazani lebih sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’ dan nasik (bukan sufi).

Syahdan, suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam Islam. Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad ke-3 Hijriah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H) dengan meletakkan al-Sufy di belakang namanya. Pada masa ini para sufi telah ramai membicarakan konsep tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal.

Jika pada akhir abad ke-2 Hijriah ajaran sufi berupa kezuhudan, maka pada abad ketiga ini orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’) dan menjadi satu dengan Tuhan. Sejak itulah muncul karya-karya tentang tasawuf oleh para sufi pada masa itu seperti al-Muhasibi (w. 243 H), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H), dan al-Junaidi (w. 297 H). Oleh karena itu, abad 2 Hijriah dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf.

Munculnya aliran-aliran zuhud pada abad ke-1 dan ke-2 H sebagai reaksi terhadap hidup mewah khalifah dan keluarga serta pembesar–pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia dan Persia.

Pada akhir abad ke-2 Hijriah peralihan dari zuhud ke tasawuf sudah mulai tampak. Pada masa ini juga muncul analisis-analisis singkat tentang kesufian. Meskipun demikian, untuk membedakan antara kezuhudan dan kesufian sulit dilakukan karena umumnya para tokoh kerohanian pada masa ini adalah orang-orang zuhud. Oleh sebab itu menurut al-Taftazani, mereka lebih layak dinamai zahid dari pada sebagai sufi. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Referensi:

Jalaluddin Rahmad, Reformasi Sufistik: Pustaka Hidayat.

Abdul Hadi, Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri. Jakarta Paramadina.

Harun Nasution, Pertemuan antara Filsafat dan Tasawuf dalam Peradaban Islam dalam Miqat.

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta Bulan Bintang

Hamka, Tasawuf Modern. Jakarta: Penerbit Panjimas

Hamka, Tasawuf perkembangan dan Pemurniaannya.

Muhammad Damami, Tasawuf Positif. Yogyakarta: Fajar Pustaka

Abu Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.