Selama abad pertama hijriah tasawuf belum dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri. Abad ketiga hijriah dapat diklaim sebagai awal dari adanya kesadaran untuk merumuskan “epistema” tasawuf Islam sebagai bagian dari upaya identifikasi tasawuf Islam, dengan perilaku keagamaan yang senada.
Klaim ini dikuatkan oleh fakta sejarah yang menyatakan bahwa dalam masa ini muncul nama-nama besar yang mulai tergerak untuk menulis tentang tasawuf semisal al-Muhasibi (w. 243 H), al-Kharraz (w. 277 H), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H) dan al-Junaid (w. 297 H).
Upaya perumusan epistema menjadikan tasawuf tidak lagi identik sebagai pengejawantahan sikap keberagamaan. Namun, beralih menjadi sebuah disiplin ilmu yang memuat sejumlah teori dan banyaknya terma-terma sufistik yang tersebar. Tasawuf yang sebelumnya punya kecenderungan elastis, tidak berbenturan dengan nilai-nilai normatif, selaras dengan diskursus keagamaan lainnya seperti tafsir. Tetapi, dalam abad 3 H (masa kematangan tasawuf), justru terkesan kaku dan mengambil jarak yang ironisnya diakibatkan oleh kemandirian tasawuf itu sendiri.
Perkembangan yang sangat jelas dari kekakuan tasawuf dalam masa ini adalah terjadinya perbedaan yang relatif signifikan dengan fikih. Objek kajian tasawuf, metode dan sistematika, serta tujuannya yang semula terkait erat dengan fikih mulai terpisah-pisah. Fikih oleh kalangan tasawuf hanya dilokalisir dalam ruang sempit dengan adanya labelisasi terhadapnya sebagai ilm al-Dzahir.
Sementara tasawuf dipersepsikan sebagai ilm al-Bathin yang merepresentasikan pengalaman intuisi.
Pengorbanan besar yang harus dibayar akibat kemandirian tasawuf bukan hanya sekedar keengganannya dipasung oleh kaidah-kaidah fikih. Tasawuf seolah-olah mengesankan dirinya sebagai satu kajian yang kebal hukum. Akibat dari fenomena ini, paradigma tasawuf yang berkembang tidak lagi tunggal.
Muncul satu paradigma yang moderat dengan mencoba melakukan kompromi antara dimensi esoteris dengan eksoteris, mempertemukan ranah metafisika dengan ranah rasional atau fisika. Sementara di kalangan lain, berkembang paradigma syadz yang mencoba menggambarkan relasi Tuhan dengan manusia sehingga memunculkan ungkapan-ungkapan syathahat dan konsepsi-konsepsi aneh semodel al-Ittihad dan al-Hulul.
Dalam kelompok teolog yang meyakini idealitas paradigma pertama terdapat nama-nama besar seperti Maruf al-Karkhi (w. 200 H), Abu Sulayman al-Darani (w. 215 H) dan Dzu al-Nun al-Mishriy (w. 245 H). Dari nama-nama tenar inilah, terlahir sebuah rumusan ideal tentang tasawuf Islam. Rumusan yang juga didengungkan oleh al-Harits ibn Asad al-Muhasibi (w. 243 H).
Bagi mereka, tasawuf haruslah terbangun atas nilai-nilai normatif (syariah). Pemahaman yang demikian membuat entitas tasawuf dalam benak mereka adalah ma’rifah, zuhd dan perhatian yang mendalam terhadap akhlak manusia (metode introspeksi, manhaj al-Istibthan) sebagai cermin dari kepribadiannya. Karena enggan terlepas jangkauan dimensi normatif, pemaknaan terhadap terma al-Fana menurut kalangan ini, juga harus tunduk kepada otoritas syariah.
Asumsi ini mengandaikan bahwa al-Fana merupakan satu fase, dimana manusia mampu terlepas otoritas manapun dan hanya menyisakan indoktrinasi Allah semata. Definisi terma al-Fana beserta konsepsi-konsepsi tasawuf menjadi demikian matang, dan bahkan terkesan semakin kompleks saat berada dalam sentuhan al-Junaid (w. 297 H), sekalipun merupakan penganut taat madzhab fiqh Abu Tsawr.
Diskursus mendalam terhadap terma al-Fana inilah yang memicu kentalnya nuansa-nuansa syathahat. Maraknya syathahat ternyata mampu mencuatkan kontroversi dan menjadi penyebab munculnya tuduhan atau stigma bahwa, fase al-Fana merupakan fase yang sangat rentan mengantarkan pelaku tasawuf dalam klaim inkarnasi (hulul) dan al-Ittihad yang menjadikannya menabrak rambu-rambu syariah, seperti tuduhan Ibn Taimiyah.
Apa yang dituduhkan Ibn Taimiyah, bahwa ada korelasi yang erat antara inkarnasi dan al-Ittihad dengan al-Fana akan semakin jelas dan nampak dalam pribadi semodel Thayfur ibn Isa ibn Sarusyan atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Yazid al-Busthami (w. 361 H). Semasa dalam fase al-Fana, Abu Yazid al-Busthami melontarkan ucapan syathahatnya: “Inni Ana Allah La Ilaha illa Ana Fabud ni”.
Dalam benak Ibn Taimiyah, fase al-Fana-nya al-Busthami adalah fase yang gagal dengan menganggapnya sebagai sebuah perilaku sufistik yang tidak layak untuk diikuti karena, mengesankan al-Ittihad. Tuduhan yang lebih menyakitkan mengatakan bahwa, pernyataan al-Busthami ketika sedang berada dalam puncak ekstase sesungguhnya merupakan gejala awal dari kemunculan terma wihdat al-Wujud (pantheism).
Namun demikian, analisa berbeda diketengahkan oleh al-Taftazani. Baginya, syathahat yang terlontar dari al-Busthami sama sekali tidak mewakili madzhab pantheism. Sebab aliran ini mulai dikenal pada masa Ibn Arabi (w. 638 H).
Al-Taftazani menegaskan bahwa, syathahat-nya al-Busthami tidak lain dan tidak bukan adalah, pengalaman olah kebatinannya atau refleksi pengalaman spiritualnya yang dapat ditemui dalam setiap pribadi-pribadi teolog muslim moderat dan, tidak dimaksudkan sebagai upaya melakukan konfrontasi dengan hegemoni syariah atau fikih.
Penilaian ini nampaknya hanya semacam pengulangan dari apa yang telah disampaikan oleh Abd al-Qadir al-Jaylani, walau dalam bahasa yang sedikit berbeda. Bagi kalangan lain, fenomena syathahiyat yang tertangkap dalam pribadi al-Busthami adalah gambaran dari belum sempurnanya fase al-Fana al-Busthami.
Imbas dari intens diskursus al-Fana adalah munculnya sebuah terma asing yang menggoyahkan wilayah eksoteris. Terma dimaksud adalah al-Hulul yang pada akhirnya mengantarkan Abu al-Mughits al-Husayn ibn Manshur ibn Muhammad al-Baydhawi atau lebih dikenal dengan julukan al-Hallaj (301 H) kepada “altar eksekusi”. Tubuhnya disalib, tangan dan kakinya dipotong, lehernya ditebas dan bagian tubuh lainnya dibakar dan dilempar ke dalam Sungai Dajlah.
Pada dasarnya, apa yang menimpa al-Hallaj juga merupakan kasus serupa yang menimpa al-Busthami. Keduanya sama-sama memperoleh ekstase dan menikmatinya serta tenggelam dalam al-Fana, dengan kesungguhan hati dan segenap perasaan. Sehingga terlahir dari alam bawah sadar mereka syathahat yang mengejutkan alam sadar para fuqaha. Perbedaan fase al-Fana di antara keduanya mungkin hanya terletak pada tataran kualitasnya saja.
Sebagai figur yang secara geneologis berdarah Persia dan awalnya adalah pemeluk agama Majusi, al-Hallaj disebut banyak terpengaruh oleh budaya-budaya lain seperti, filsafat Hellenistik yang begitu dominan, pandangan hidup bangsa Persia dan kaum Syiah serta dogma-dogma Kristen. Akibat dari adanya keluasan wawasan, menjadikannya tergerak untuk mencoba menyelaraskan ajaran Islam dengan filsafat Yunani, yang diwujudkan dalam olah spiritualnya.
Dalam hal ini, kalau memang benar anggapan orientalias, bahwa al-Hallaj telah mendahului al-Ghazali dalam usahanya mempertemukan filsafat dengan agama (Islam). Dengan mendalam dan detail, al-Hallaj saat berada dalam fase al-Fana mencoba mendeskripsikan relasi manusia dengan Tuhannya. Tanpa sadar, dia menyatakan, sebagai bentuk deskripsinya, bahwa Tuhan telah berinkarnasi (tanasaukh, al-Hulul, menitis) dalam dirinya yang tertangkap dari pernyataannya, “Ana al-Haqq”.
Namun, tak jarang, dia meng-counter pendapatnya sendiri dengan menegasikan konsep inkarnasi dan meyakininya sebagai satu hal yang paradoks dengan syariah. Berangkat dari inkonsistensi konsep inkarnasinya, banyak kalangan menilai bahwa inkarnasi yang ditawarkan al-Hallaj bukanlah inkarnasi dalam pengertian yang sesungguhnya, melainkan sebagai keniscayaan dari fase al-Fana. Penilaian yang juga disampaikan oleh al-Taftazani, dan membuatnya gagal dalam memandang tasawuf Islam sebagai sebuah gugusan epistemolgi, namun hanya menampilkannya dalam wajah historis yang kental.