Dewasa ini, modernitas telah mengimplikasikan adanya kekosongan atau keterasingan dari dimensi spiritualitas. Modernitas yang memang dibangun dari penolakan terhadap spiritualitas mulai tampak dipertanyakan kembali. Di masa kontemporer sekarang ini, ketika godaan kekayaan materiil demikian dominan, bahkan (kesalehan agama pun kerap kali hanya menjadi salah satu instrumen atau sekedar) jubah asesoris bagi keunggulan dan kesuksesan hidup duniawi. Wacana kehidupan sufistik tampak semakin relevan.
Tasawuf, dengan pendidikan sufistiknya, masih dipercaya mampu menjadi alternatif solutif untuk mengantar manusia menemukan jalan menuju keridhaan Allah. Allah telah menggariskan mengenai siapa sejatinya manusia yang sukses hidupnya di dunia ini, dan sebaliknya siapa yang gagal. Kata kuncinya terletak pada kesanggupan untuk memelihara jiwa agar tidak tergadai menjadi budak syahwat dengan melalaikan Allah.
Ibn al-Qayyim menyatakan, bahwa Allah menyifatkan manusia yang mati hatinya laksana bangkai (mayyit). Adapun yang mampu menghidupkannya adalah roh makrifat, tauhid, ibadah, serta cinta-Nya. Sementara Nabi Muhammad Saw juga menganalogikan manusia yang lalai dari mengingat Allah dengan hal serupa, yaitu tak lebih halnya seonggok bangkai.
Demikianlah, praktik kehidupan sufistik. Jika pengertiannya dikembalikan kepada ikhtiar pembersihan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat budi, serta menekan segala bentuk ketamakan dan kerakusan, juga memerangi syahwat yang berlebih dari keperluan untuk kesentosaan diri, dalam al-Qur’an dan as-Sunnah mempunyai dasar pijakan dan petunjuk yang kokoh.
Meski demikian, hal yang sesungguhnya lebih utama dari pada pemaparan dalil-dalil argumentatif, yang normatif maupun rasional, tentang absahnya perilaku sufistik dalam kehidupan umat Islam. Adalah penghayatannya secara aktual dalam praktik hidup sehari-hari di masyarakat. Ada yang mengatakan bahwa, Sufisme sesungguhnya adalah perkara pengalaman aktual atas realitas, dan bukannya sesuatu hal yang lantas dapat dipahami melalui sekedar penjelasan teoritis.
Lalu bagaimana sebenarnya makna tasawuf?
Sudah mafhum bahwa, istilah sufi mulai dikenal pada abad II Hijriah, tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu Hasyim al-Kufi. Pendapat lain menyebutkan bahwa, tasawuf baru muncul di dunia Islam pada awal abad III hijriah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang tokoh asal Persia. Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena faktor pemberian (mawhibah) dan keutamaan dari-Nya.
Tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini kemudian menjadi suatu asas dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam. Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al-Muhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H). hungga akhirnya, tasawuf semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada abad IV H dengan sistem ajaran yang semakin mapan. Belakangan, al-Ghazali menegaskan tasawuf atau hubb Allah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam.
Syahdan, pada abad 4 dan 5 H inilah konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para fuqaha. Umumnya, kaum sufi dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang dikembangkannya dipandang oleh para fuqaha‖ sebagai kafir, zindiq dan menyelisihi aturan-aturan syariat. Konflik ini terus berlanjut pada abad berikutnya, terlebih lagi ketika corak falsafi masuk dalam tradisi keilmuan tasawuf dengan tokoh-tokohnya seperti, Ibn al-Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad 4 H.
Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam dunia tasawuf, yaitu antara tasawuf amali (praktis) dan tasawuf nadzari (teoritis). Tasawuf praktis atau yang disebut juga tasawuf sunni atau akhlaki adalah bentuk tasawuf yang memagari diri dengan al-Qur’an dan al-Hadits, secara ketat dengan penekanan pada aspek amalan, dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat. Sedangkan tasawuf teoritis atau juga disebut tasawuf falsafi, cenderung menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat dengan ketasawufan.
Diantara tokoh yang dianggap sebagai pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243 H/858 M), al-Junaid Baghdadi (w. 298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Thalib al-Makki (386/996), al-Qusyaeri (465/1073), dan al-Ghazali (505/1112). Sedangkan, tokoh yang sering disebut sebagai penganut tasawuf falsafi adalah Abu Yazid al-Bustami (261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani (525/1131), al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dan Ibn Arabi.
Diprediksi, kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi terhadap kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai. Tetapi secara umum, tasawuf pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur pemikiran: pertama, gagasan tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan urban dan kemewahan. Kedua, masuknya gnostisisme Helenisme yang mendukung corak kehidupan pertapaan daripada aktif di masyarakat; dan ketiga, masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi penghormatan pada sikap anti-dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme.
Terdapat tiga sasaran antara dari tasawuf: pertama pembinaan aspek moral; kedua ma’rifatullah melalui metode kasyf al-Hijab; dan ketiga bahasan tentang sistem pengenalan dan hubungan kedekatan antara Allah dan makhluk. Dekat dalam hal ini dapat diartikan: merasakan kehadiran-Nya dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah Allah.
Pendekatan historis kemudian mengklasifikasikan tasawuf menjadi dua tingkatan, yaitu: tasawuf sebagai semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat muslim, dan tasawuf yang tampak melekat bersama masyarakat melalui bentuk-bentuk kelembagaan, termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak semata-mata berimplikasi pada penyebaran syiar Islam, melainkan juga berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah.
Karena itu, banyak di kalangan sahabat yang dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan fenomena kemewahan tersebut, muncul reaksi dari beberapa sahabat seperti, Abu Dzar al-Ghifari, Said bin Zubair, Abd Allah bin Umar sebagai bentuk protes dari perilaku hedonistik yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.