Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Epistemologi Islam perspektif pemikir Maghribi (1): Ibn Hazm dan kritik metodologi

Avatar photo
36
×

Epistemologi Islam perspektif pemikir Maghribi (1): Ibn Hazm dan kritik metodologi

Share this article

Salah satu hipotesa penting dari pemikir Islam asal Maroko, Muhammad Abid al-Jabiri tentang pemikiran yang pernah hidup di bagian Barat Islam adalah bahwa ia, paling tidak secara epistemologis, tidak terkait dengan pemikiran Islam yang pernah hidup di wilayah Timur. Hal ini, menurut al-Jabiri dapat dibuktikan dengan dua alasan, pertama, tidak adanya warisan pra Islam.

Baik di Andalusia maupun Maroko, yang keduanya saling terkait sejak masa penaklukan sampai keruntuhan Granada, tidak pernah mengalami fase kebangkitan sistem kepercayaan yang sesungguhnya sebelum Islam, sebagaimana kasus yang terjadi di syiria, Irak, dan beberapa wilayah tertentu di negeri Mesir, kedua, fakta bahwa wilayah Andalusia dan Maghrib mencapai kemerdekaan (independensi) dari, dan secara ideologis melakukan konflik dengan, pemerintahan Dinasti Abbasiyyah dan Dinasti Fathimiyyah. Fenomena ini kemudian menciptakan pelbagai kompetisi kebudayaan secara konstan.

Pendapat al-Jabiri (yang demikian itu sejalan dengan analisa yang diberikan oleh Oliver Leaman tentang kemandirian pemikiran filasafat Ibn Rusyd (sebagai yang mewakili belahan Barat Islam). Menurut Leaman, Filsafat Islam yang masuk ke dunia (Timur) Islam telah diwarnai oleh tafsir Neoplatonisme sebagai jembatan untuk memahami ide-ide dasar Aristoteles.

Ketika sampai pada wilayah (Barat) Islam, terjadi pemisahan yang tegas antara pendapat asli Aristeotels dan pendapat Neoplatonisme. Dan itulah yang dilakukan oleh Ibn Rusyd. Karena itu, ketika Ibn Rusyd membela filsafat dari serangan al-Ghazali, ia tidak sedang membela Ibn Sina, melainkan sedang mengembalikan keaslian pikiran-pikiran Aristoteles untuk dikembangkan di dunia Barat Islam. Artinya, Ibn Rusyd tidak sedang memindahkan model pemikiran Timur.

Syahdan, pada abad pertengahan, Islam pernah mencapai kejayaan di dunia Barat, yaitu ketika kekuasaan Islam berpusat di Cordova, Spanyol. Cordova merupakan pusat peradaban yang telah melahirkan tokoh-tokoh besar Islam, seperti Ibn Rusyd, Ibn Bajjah, Ibn Masarrah, Ibn Arabi, Ibn Hazm, al-Syathibi, dan sejumlah tokoh lainnya. Al-Jabiri mengatakan bahwa, para tokoh tersebut telah berhasil membangun sebuah tradisi nalar kritis yang ditegakkan di atas struktur berpikir demonstratif (nizham al-Aql al-Burhani) yakni struktur berfikir yang kemudian dikenal dengan epistemologi burhani.

Fondasi epistemologis pemikiran Islam Andalusia menemukan eksistensi dan karakteristiknya di periode akhir kekuasaan Umayyah. Aliran-aliran pemikiran itu berhutang besar kepada gerakan ilmiah hasil kebijakan Khalifah Abd al-Rahman al-Nashir dan puteranya al-Hakam al-Musthanshir Billah (961-976 M) dengan proyek kebudayaannya. Setelah satu abad kemudian, proyek kebudayaan baru kelihatan wujud karakteristiknya setelah munculnya Ibn Hazm (Nama lengkapnya Abu Muhammad Ali Ibn Hazm (384-456/994-1063) lahir di Cordova dimana ayahnya adalah seorang wazir bagi Walikota al-Manshur Ibn Abi Amir).

Karena itu, membincangkan corak pemikiran (mode of thought) Ibn Hazm, Ibn Rusyd, al-Syathibi, dan Ibn Khaldun sebagai para pemikir Islam yang datang dari wilayah Maghribi yang sering disebut-sebut oleh al-Jabiri di berbagai karyanya (Beberapa karya yang dimaksud adalah antara lain, Takwin al-Aql al-Arabi, dengan judul, bidayah jadidah, Nahnu wa al-Turats, dengan judul, masyru qirah jadidah li falsafah Ibn Rusyd, dan pada al-Turats wa al-Hadatsah, dengan judul Qurthubah wa madrasatiha al-fikriyah), merupakan bagian integral untuk menemukan basis epistemologis yang berkembang di wilayah Magrib dan Andalusia.

Ibn Hazm dan kritik metodologi

Salah satu kitab karya Ibn Hazm.

Ibn Hazm sering dianggap sebagai ulama fikih yang literalis (zhahiri) dan seorang polemikus yang tangguh. Ia adalah juru bicara dinasti Umayyah dan pembela proyek ideologis kebudayaannya yang berarti pada saat yang sama berhadapan dengan dua dinasti besar, Fathimiyah dan Abbasiyah. Secara epistemologis, dinasti Fathimiyyah mewakili metode irfani dan Abbasiyyah (yaitu mazhab Hanafi, Syafi’i, tradisi kaum Muktazilah, dan Asy’ari) yang mewakili metode bayani.

Menurut al-Jabiri, peranan Ibn Hazm dalam hal ini adalah melakukan rekonstruksi terhadap metode bayani dengan memberikan landasan burhani dengan membuang seluruh pengaruh irfani Syi’ah maupun tasawuf. Yang dimaksud dengan landasan burhani adalah metode penalaran Aristotels beserta segenap pandangan-pandangan ilmiah filsafatnya.

Seperti diketahui, bahwa setidaknya ada tiga prinsip bayani, yaitu pertama prinsip infishal (keterputusan, diskontinuitas). Prinsip ini dibangun dari teori atomisme (al-jauhar al-fard). Teori ini mengatakan bahwa segala sesuatu dan semua peristiwa di alam semesta secara substansial bersifat terputus-putus. Artinya, dunia adalah wilayah yang terpisah yang tidak memiliki kaitan di antara entitasnya kecuali jika Tuhan menghendaki.

Implikasi dari teori ini adalah adanya penyangkalan terhadap hukum sebab-akibat. Dengan prinsip ini, maka, secara logika, sangat mungkin bagi Tuhan untuk mengumpulkan dua hal yang bertentangan. Misalnya, perumpamaan antara kain dengan api tanpa ada proses pembakaran.

Pendapat seperti itu misalnya disampaikan oleh al-Ghazali yang mengatakan bahwa hubungan sebab akibat tidaklah pasti (dlaruri) melainkan berdiri sendiri. Yang dimaksud ini bukanlah itu dan itu bukanlah ini. Eksistensi yang satu tidak mengharuskan eksistensi dari yang lain. Al-Ghazali mencontohkan keadaan antara haus dan minum, kenyang dan makan, pembakaran dan kontak dengan api, cahaya dan terbitnya matahari dan lain-lain. Keterkaitan itu hanya bisa terjadi karena satu faktor, takdir Allah. Menurutnya, Allah berkuasa untuk menciptakan rasa kenyang tanpa makan, menghilangkan rasa dahaga tanpa minum. (lihat Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972), Cet. Ke-5, h.139-140).

Dalam persoalan ini Ibn Hazm menolak prinsip yang berbasis pada atomisme yang berakibat pada pengingkaran hukum kausalitas. Menurutnya, hukum-hukum kausalitas dan kebiasaan diciptakan sendiri oleh Allah. Ia menciptakan dan mengaturnya dalam bentuk yang membuatnya tidak akan berubah-rubah dan tidak akan bertukar sesuai dengan yang diakui oleh orang yang berakal. Di sini jelas, bahwa Ibn Hazm mengembalikan persoalannya pada jalan pikiran Aristotels yang menyatakan bahwa substansi adalah tubuh dan tubuh adalah substansi.

Kedua, prinsip tajwiz (keserbamungkinan). Prinsip ini mengikuti prinsip yang pertama dengan menyandarkan pada kekuasaan mutlak Tuhan. Ketiga, prinsip qiyas (analogi) yang berfungsi sebagai perangkat metodologis dalam tradisi bayani yaitu menganalogikan satu cabang hukum dengan hukum asal sebagaimana berlaku dalam fikih. Atau, dalam tradisi kalam, menganalogikan dunia Ketuhanan yang transenden dengan dunia kemanusiaan yang riil (istidlal bi al-Syahid ala al-ghaib).

Dalam persoalan qiyas, Ibn Hazm memiliki pandangan sendiri. Baginya, qiyas harus berlaku dan dibenarkan dalam konteks satuan unsur-unsur yang punya jenis yang sama dan sepadan. Karena itu, ia menolak model qiyas yang diberlakukan dalam fikih dan kalam karena ia menganalogikan antara satu wujud dengan wujud lainnya, yang berbeda jenis dan karakter hanya karena alasan keserupaan atau kemiripan di antara keduanya.

Jelaslah, bahwa yang dikritik oleh Ibn Hazm terhadap ketiga prinsip di atas adalah landasan-landasan berfikir yang digunakan oleh kalangan fuqaha dan ahli kalam yang kesemuanya membentuk proyek kebudayaan dan ideologi kekuasaan dinasti Abbasiyyah.

Selain kritiknya terhadap metode bayani, Ibn Hazm juga mengkritik prinsip epistemologi yang digunakan oleh ideologi kekuasaan kekhalifahan Fathimiyyah yang bertumpu pada metode irfani. Dalam soal ini ia mengatakan bahwa Islam adalah agama yang zhahir (eksoteris) yang tidak ada aspek bathin (esoteris) di dalamnya.

Ia adalah agama yang tegas dan terbuka yang tidak ada rahasia di dalamnya. Semuanya adalah burhan dan tidak ada satupun keraguan di dalamnya. Salah satu kerumitan yang terdapat pada metode irfani adalah pengakuan terhadap ilham sebagai cara memperoleh pengetahuan. Karena masing-masing bisa saja mengaku memperoleh ilham dan membatalkan ilham yang lain.

Ibn Hazm berpendirian bahwa tidak ada cara untuk memperoleh pengetahuan kecuali dengan dua cara, pertama melalui data-data primer dari nalar dan indera, kedua melalui dari premis-premis yang dihasilkan dari penalaran dan penginderaan atas data primer tersebut. Meskipun demikian, Ibn Hazm menyadari peranan akal ketika dihadapkan pada masalah-masalah syari’ah, tepatnya antara yang terjangkau oleh akal dan yang tidak terjangkau olehnya. Seperti jumlah raka’at dalam shalat, pengharaman atas babi, akal tidak memiliki peranan baik untuk mengukuhkan maupun untuk membatalkan.

Dengan demikian, dalam konteks hukum, Ibn Hazm berpegang pada tiga sumber hukum, al-Qur’an, al-Sunnah, dan dalil akal. Sedangkan qiyas yang digunakan dalam tradisi bayani seperti yang berlaku dalam fikih dan kalam dianggap tidak valid. Sebaliknya, Ibn Hazm menganjurkan penggunaan qiyas jami’ atau silogisme yang didasarkan pada logika Aristotelian.

Atas dasar itulah, maka literalisme Ibn Hazm bukanlah literalisme-tekstualis yang meninggalkan kebebasan akal, melainkan justru sebagai bentuk kritik rasionalis dimana, satu sisi berpegang teguh pada teks agama pada kasus-kasus yang disinggung agama. Namun di sisi lain membuka peluang dan kebebasan bagi akal untuk berkiprah di luar jangkauan teks agama.

 

Referensi:

1. Al-Jabiri, Eropa dan Kita.

2. Al-Jabiri, al-Turats Wa al-Hadatsah.

3. Shahid al-Andalusi, Thabaqat al-Umam.

4. Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.