Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Islam Nusantara: Jembatan antara ‘Yang Global’ dan ‘Yang Lokal’

Avatar photo
47
×

Islam Nusantara: Jembatan antara ‘Yang Global’ dan ‘Yang Lokal’

Share this article

Dalam pembukaan acara Istighotsah Menyambut Ramadhan dan Pembukaan Munas Alim Ulama NU, tahun 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta, Mantan Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj memberikan sambutan tentang Islam Nusantara dengan berkata, “Islam Nusantara memiliki karakter Islam yang ramah, anti radikal, inklusif dan toleran bukan “Islam Arab” yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara.” (BBC, 2015).

Dari pernyataan Said Aqil ini lah kemudian wacana seputar “Islam Nusantara” ramai dibicarakan dan muncul di berbagai media.

Islam Nusantara yang disampaikan oleh Said Aqil merupakan kelanjutan dari Pribumisasi Islam gagasan Gus Dur, yang juga mantan Ketua Umum PBNU, melalui wawancara lisan dengan Abdul Mun’im Saleh–dimuat di dalam buku Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989).

Menurut Gus Dur, Pribumisasi Islam adalah upaya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, bukan upaya meninggalkan norma ‘Islam’ demi budaya ‘lokal’, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan menggunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash (ketetapan hukum Islam yang bersumber dari Quran dan Sunnah).

Jadi, Islam Nusantara yang dimaksudkan di sini bukan merupakan oposisi dari Islam Arab, karena dasar dari gagasan Islam Nusantara adalah kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum agama. Meskipun, menurut Gus Dur bahaya dari proses arabisasi—proses mengidentifikasikan diri dengan budaya Arab—adalah tercabutnya kita dari akar budaya Indonesia. Kembali kepada pernyataan Said Aqil, bahwa ‘Islam Arab’ yang dimaksud olehnya adalah satir terhadap fenomena arabisasi.

Seperti yang dikatakan Gus Dur (1989), “Sebutan ‘saudara-saudara’, ‘kelompok’ atau ‘kolega’ diganti dengan ‘ikhwan’. Istilah ‘sembahyang’ yang telah berabad-abad dipakai di negeri ini yang sebenarnya telah berkonotasi Islam, walaupun kata itu sendiri berasal dari ‘nyembah Sang Hyang’, diganti dengan ‘shalat’, sambil berpendirian bahwa sembahyang bukanlah shalat. Dan ‘langgar’ pun diubah menjadi ‘mushala’. Hal-hal yang bersifat ’embel-embel’ malahan menjadi perhatian pokok.”

Memang, posisi Indonesia terhadap Mekah adalah posisi periferal terhadap sentral. Dalam posisi ini, Indonesia adalah pihak resipien atau penerima dalam setiap perubahan pemikiran keislaman. Pengaruh-pengaruh dari wilayah Islam lain sampai ke Indonesia juga melalui Mekah. Namun, salah besar jika Muslim Indonesia hanya menerima secara pasif.

Sebagaimana dinyatakan van Bruinessen (1999), “Indonesia is not passive recipient in this process—the new influences were incorporated into existing religious and cultural patterns and thereby to some extent modified.” Pendapat tersebut bisa menjadi pintu masuk untuk mengukur seberapa jauh kreativitas Muslim Indonesia dalam membentuk keislamannya sendiri. Sebagai contoh ada beberapa variasi Islam Nusantara seperti Islam Jawa, Islam Sasak, Islam Ara, Islam Wetu Telu dan sebagainya. Sayangnya, gagasan Islam Nusantara ini direndahkan, dianggap sebagai ajaran Islam yang tidak murni dan melenceng dari ajaran ‘asli’ ‘yang global’ oleh sebab itu perlu dipurifikasi atau ‘dimurnikan’.

Pandangan semacam ini, misalnya, bisa kita temukan pada Deliar Noer dalam bukunya Gerakan Modern Islam di Indonesia (1996). Noer mengklasifikasikan Islam Indonesia menjadi Islam tradisional dan modern. Menurutnya, Islam tradisional adalah Islam rendah karena wajah sinkretisnya. Sinkretisme selalu digunakan untuk menilai kerendahan Islam tradisionalis. Menurutnya, sinkretisme kalangan tradisionalis tersebut dikarenakan ketidaktahuannya terhadap ajaran Islam yang benar. Karena itulah mereka tidak bisa mengamankan Islam dari serangan berbagai unsur luar yang menodai kesucian Islam.

Bagi Noer (1996), Islam sejati adalah Islam sebagaimana yang ada di tanah asalnya. Islam sejati haruslah Islam yang bisa dibedakan secara pasti dengan tradisi lokal. Seluruh upaya untuk mendialogkan keduanya tertolak berdasarkan pandangan itu. Tampak jelas bahwa pandangan di atas tidak mengindahkan adanya kemungkinan proses negosiasi antara tradisi ‘lokal’ dan Islam yang ‘global’. Konstanta dasar yang selalu dipakai adalah pilihan hitam-putih, Islam global atau tradisi lokal, sehingga keberadaan Islam hanya bisa dikenali jika ia bisa mengganti tradisi setempat. Ketika Islam berdialog dengan tradisi lokal, penilaian yang segera muncul adalah Islam sedang dimanipulasi oleh tradisi lokal.

Selain pandangan Noer sebagai seorang muslim modernis, ada juga pandangan dari seorang antropolog ternama, Cliford Geertz dalam studinya mengenai Islam di Jawa (1981). Menurutnya ada tiga variasi Islam di Jawa, yaitu Islam Santri, Priyayi dan Abangan. Islam Santri adalah tipikal dari Great Tradition, sedangkan Islam Priyayi dan Abangan merupakan bagian dari Litle Tradition yang memiliki banyak unsur distorsif dari Islam arus utama. Kategorisasi yang dilakukan Geertz ini tentu menciptakan atmosfir ketegangan yang tidak ada habisnya, bahkan terus menerus direproduksi.

Pandangan Ricklefs (1984) barangkali satu contoh sempurna bagaimana reproduksi pandangan Geertzian memperoleh bentuk yang begitu menyeluruh dan lengkap. Bagi Ricklefs, Islam di Jawa sebenarnya baru dimulai pada akhir abad ke-19, yaitu ketika terjadi gerakan reformasi Islam untuk memurnikan Islam dari unsur-unsur lokal. Sebelumnya, Islam hanyalah sebuah identitas palsu untuk membungkus praktik-praktik kepercayaan Jawa pra-Islam. Ricklefs berangkat dari konstanta awal bahwa yang terjadi di Jawa bukanlah proses islamisasi, tapi jawanisasi, yaitu penjawaan setiap unsur yang datang dari luar, termasuk Islam.

Ricklefs dengan alur pemikirannya memandang hanya Muslim modernis yang mampu melepaskan keislamannya dari tradisi lokal yang berhak menyandang identitas Muslim. Sementara, Muslim tradisionalis tidak layak untuk disebut sebagai Muslim yang sesungguhnya. Konsekuensinya Muslim tradisionalis kemudian lebih memilih bergandengan dengan kaum Abangan daripada dengan Muslim modernis. Alur pemikiran Ricklefs begitu sempurna untuk menghakimi Islam Jawa. Dia bergerak ke belakang untuk menemukan legitimasi historis kemudian melakukan penghakiman.

Wacana keislaman semacam ini memang dipengaruhi sangat kuat oleh modernisme. Sama seperti studi agama pada umumnya, Islam dianggap sebagai cahaya yang memancar dari suatu pusat yang menerangi wilayah-wilayah lainnya yang pada gilirannya dianggap pinggiran. Pusat tersebut tidak lain adalah reperesentasi dari kebenaran Islam. Hal ini disebabkan karena secara paradigmatis, modernisme melihat kebenaran sebagai sesuatu yang tunggal, utuh dan universal, sedangkan eksistensi di luarnya adalah fakta yang distorsif dan karenanya perlu distandarisasi dengan ukuran-ukuran modern.

Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya decentering atau dekonstruksi, khas posmodern yang lebih sesuai untuk menilai keragaman yang ada di Indonesia. Wacana keislaman yang bercorak oposisi biner khas modernis, hitam-putih, perlu ditinjau ulang, sebab didominasi kebenaran tunggal, logosentris dan hegemonik. Klaim bahwa Islam pusat yang ada di Arab lebih otentik, lebih murni dan asli, sementara Islam yang berdialog dengan tradisi kultural lebih rendah dipengaruhi kuat oleh semangat modernisme.

Parameternya jelas, semakin sesuai dengan simbol-simbol Arab, semakin otentik dan “islami”–superior. Sebaliknya, semakin sinkretis dengan kepercayaan dan tradisi kultural, semakin tidak “islami” dan tidak ideal–inferior. Padahal, Islam tidak pernah membangun relasi oposisional dengan tradisi kultural di nusantara. Islam hadir di nusantara dan menjadi Islam Nusantara dengan tetap memegang prinsip Islam sendiri.

Islam Nusantara menjadi unik karena beragamnya manifestasi keislaman. Ia menjadi jembatan yang menghubungkan antara budaya atau tradisi nusantara ‘yang lokal’ dengan Islam sebagai suatu ajaran agama ‘yang global’. Kedua unsur memiliki ruang yang sama sehingga keduanya membentuk bangunan tersendiri melalui proses akulturasi yang kompleks, sehingga klasifikasi pusat-pinggiran atau superior-inferior tidak berlaku lagi.

Referensi:

Affan, H. (2015). Polemik di balik istiIah ‘Islam Nusantara’. BBC News Indonesia.  Link di sini

Geertz, C. (1981). Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Noer, D. (1996). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.

Ricklefs, M. C., (2013). Mengislamkan Jawa, terj. FX Dono Sunardi & Satrio Wahono. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Turner, B. (2000). Teori-Teori Modernitas dan Postmodernitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Van Bruinessen, M. (1999). Global and local in Indonesian Islam. Japanese Journal of Southeast Asian Studies37(2), 158-175.

Wahid, A, R. (1989) Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M.

Kontributor

  • Hasan Labiqul Aqil

    Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Kajen Pati. Sekarang sedang menempuh program magister di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.