KH. Afifuddin Muhajir, seorang kiai dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah, merupakan sosok ulama unik yang punya wawasan luas dalam pemikiran fikih kebangsaan yang meneguhkan pilar kebhinekaan bangsa yang pluralistik seperti Indonesia.
Analisis pemikiran Kiai Afif, sapaan akrabnya, bersumber dari dalam khazanah klasik pesantren. Sebab, ia adalah pendekar tradisi keilmuan pesantren yang dikenal dengan kitab kuning. Kiai Afif merupakan seorang pakar Nahwu, Sharraf, Fikih, Ushul Fikih dan lain-lain.
Beberapa kesimpulan pemikiran fikih Kiai Afif, diantaranya, pertama, Kiai Afif mampu menghadirkan fikih sebagai problem solving bangsa, terutama pemikirannya tentang Pancasila, Islam Nusantara. Kontekstualisasi fikih menjadi manhaj diupayakan oleh Kiai Afif dalam menghadirkan fikih di tengah pluralitas bangsa. Kedua, fikih harus mampu membawa kemaslahatan riil bagi umat. Pemikiran tentang zakat pertanian yang mendukung pemikiran Imam Hanafi adalah buktinya. Hal ini terungkap dalam kitab Kiai Afif, yaitu Fath al-Mujib al-Qarib. Ia mengomentari bahwa pemikiran Imam Hanafi lebih berpihak kepada mustahiq, khususnya fakir-miskin.
Ketiga, fikih harus mampu berintegrasi dengan negara. Pemikirannya tentang ini ada dalam karyanya, Fikih Tata Negara. Spirit fikih yang menekankan keadilan, kemaslahatan rakyat, dan akuntabilitas harus menjiwai aparatur negara dalam menjalankan pemerintah agar terhindar dari korupsi, kolusi, dan berbagai penyimpangan menuju tegaknya keadilan dan kemaslahatan rakyat.
Pada Muktamar NU di Jombang tahun 2015, Kiai Afif menjadi konseptor tiga paradigma istinbath hukum di lingkungan NU, yaitu bayani, qiyasi, dan maqashidi. Rumusan ini ditentang oleh para ulama lain. Namun, berkat paparan hebatnya, akhirnya musyawirin dari seluruh Indonesia setuju (taslim) dengan pemikiran Kiai Afif.
Sebagian kiai merasa keberatan karena dalam praktik bahtsul masail di pesantren dan NU, konsep tandzirul masail bin nadhairiha (menyamakan status hukum masalah yang belum disebutkan dalam kitab dengan status hukum masalah yang sudah dijelaskan dalam kitab karena persamaan alasan) sudah cukup untuk menjawab masalah yang muncul. Sehingga, rumusan istinbath maqashidi tidak dibutuhkan. Kiai Afif menjawab i’tiradh para kiai dengan mengutip bahwa teks dalam kitab-kitab fikih sehingga peserta taslim dengan jawaban tersebut. Kiai Afif sering mengatakan:
لوكان الشافعي حيا لقال كذا وكذا
“Jika Imam Syafi’i masih hidup, pasti ia akan berkata ini dan itu (yang sesuai dengan realitas kontemporer).”
Kiai Afif berhasil tampil meneruskan estafet pemikiran fikih sosial yang dikembangkan oleh KH. MA. Sahal Mahfudh yang dikenal faqih ushuli. Karya-karya Kiai Afif, baik yang berbahasa Arab maupun Indonesia adalah buktinya. Salah satunya adalah kitab Fath al-Mujib al-Qarib, penjabaran dari kitab matan Taqrib. Karyanya yang lain adalah Membangun Nalar Islam Moderat. Dalam buku Membangun Nalar Islam Moderat, Kiai Afif menawarkan beberapa gagasan menuju fikih moderat, diantaranya:
Pertama, memadukan nushususy syari’ah dengan maqashidusy syari’ah secara berimbang. Kedua, memadukan teks dan konteks, yaitu mengombinasikan nash dan realitas sosial. Ketiga, memadukan tafsir dan ta’wil. Keempat, memadukan dalil primer (al-Qur’an dan hadits) dan sekunder (qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, dan lain-lain). Keenam, memadukan keumuman redaksi dan kekhususan situasi.
Karya kritis transformatif ini menjadi legacy pemikiran yang tidak habis dikaji dari generasi demi generasi, sepanjang masa yang menyimpan mutiara pengetahuan dahsyat. Para santri bisa membaca, memahami, dan membandingkan karya-karya Kiai Afif dengan karya-karya ulama lain, baik dari dalam negeri atau luar sehingga, maka akan terjadi percakapan intelektual menarik yang sangat produktif bagi pengembangan diskursus keilmuan pesantren dan bangsa.
Syahdan, ushul fikih menjadi distingsi pemikiran Kiai Afif. Pemikiran fikih dan ushul fikihnya terlihat dalam karya dan berbagai forum ilmiah, seperti bahtsul masail, diskusi, dan sejenisnya. Di antara pemikiran ushul fikih Kiai Afif adalah: tentang ijtihad, mashlahah, dan istihsan.
Tentang ijtihad
Ilmu ushul fikih adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dalam memahami Islam. Dalam ilmu ushul fikih, kajian tentang ijtihad tidak terlewatkan. Meskipun belum mencapai derajat ijtihad, mengkaji ijtihad tidak masalah, sebagaimana santri mengkaji zakat dan haji, tetapi belum wajib berzakat dan berhaji. Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk menetapkan اخراج الأحكام من النصوص (hukum syara berdasarkan istinbath: mengeluarkan hukum dari nash-dalil-sumbernya). Ijtihad ini dikhususkan bagi orang yang mampu memenuhi syarat ijtihad, bukan kepada sembarang orang. Dalam hal ini ijtihad ada beberapa macam, diantaranya:
Pertama, ijtihad bayani. Ijtihad bayani adalah mengeluarkan hukum dari nash (استنباط الأحكام من النصوص). Ijtihad bayani dapat dilakukan dengan beberapa cara: pertama, memahami kaidah-kaidah bahasa, seperti amar, nahyi, muthlaq, muqayyad, mujmal, mubayyan, mafhum, manthuq, majaz, haqiqah, kinayah, dan lain-lain. Kedua, mengetahui sebab turunnya al-Qur’an (سبب النزول) dan (سبب الورود) sebab turunnya hadits. Ketiga, mengaitkan sebagian nash dengan sebagian yang lain (ركن النصوص بعضها ببعض). Contohnya adalah firman Allah SWT:
أحلت لكم بهيمة الأنعلم إلا ما يتلى عليكم
Artinya:“Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 1)
Ayat ini dikaitkan dengan ayat:
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله
Artinya:“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. al-Ma’idah [5]: 3)
Jadi yang dimaksud إلا ما يتلى عليكم adalah bangkai, darah, dan seterusnya. Contoh yang lain adalah sabda Nabi Muhammad Saw:
فان كل بدعة ضلالة
“Setiap bid’ah (hal baru dalam semua hal) adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Hadits ini dikaitkan dengan hadits berikut ini:
من احدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Siapa yang membuat hal baru dalam masalah kami ini, yang tidak termasuk di dalamnya, maka ia ditolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jadi, yang dimaksud bid’ah dalam hadits pertama adalah bid’ah dalam masalah Agama, bukan bid’ah ekonomi, teknologi, politik, dan lain-lain.
Keempat, menghubungkan nash dengan maqashidusy syari’ah (ربط النصوص بالمقاصد). Misalnya hadits nabi yang menyebutkan:
لا يبولن احدكم في الماء الدائم
“Sungguh janganlah salah satu kamu semua kencing di air yang diam (tidak mengalir).” (HR. Bukhari)
Jika dipahami secara tekstual maka yang dilarang adalah kencing di air yang tidak mengalir, sedangkan buang air besar tidak dilarang. Namun, jika dihubungkan dengan maqashidusy syari’ah, maka bisa dipahami maksud hadits adalah larangan pencemaran air sehingga segala hal yang mencemari air, seperti buang air besar, juga dilarang.
Kelima, takwil, yaitu memahami nash dengan makna marjuh (tidak unggul) karena ada dalil. Dalam teori, tafsir didahulukan (التفسير مقدم علي التاءويل): Misalnya dari takwil:
يد الله فوق أيديهم
Artinya: “Tangan Allah di atas tangan mereka.” (QS. al-Fath [48]: 10)
Kata يد الله tidak dimaknai dengan organ tubuh (tangan), karena Allah Swt berbeda dengan makhluk (مخالفة للحوادث), sehingga kata dimaknai dengan kekuasaan atau kekuatan Allah Swt (القوة، القدرة).
Kedua, ijtihad qiyasi. Qiyas adalah menyamakan status hukum peristiwa yang belum ada nash-nya dengan sesuatu yang sudah ada nash-nya karena persamaan illat (legal reason)(احتمال فرع باءصل لعلة جامعة بينهما). Misalnya, menyamakan hukum bir (salah satu minuman keras yang dikenal di Indonesia) dengan khamar (arak) yang sudah punya status hukum berdasarkan nash. Di dalam al-Qur’an Allah Swt berfirman:
يأيها الذين ءامنوا إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطن فاجتنبوه لعلكم تفلحون – إنما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة والبغضاء في الخمر والميسر ويصدكم عن ذكر الله وعن الصلوة فهل أنتم منتهون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya, setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang. Maka, berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. al-Ma’idah [5]: 90-91)
Para ulama menetapkan illat haramnya khamar adalah memabukkan (الاسكار). Maka, segala sesuatu yang memabukkan hukumnya haram, seperti khamar (كل مسكر حرام كالخمر للاسكار).
Ketiga, ijtihad maqashidi. Maqashidusy syari’ah adalah mewujudkan secara sungguh-sungguh kemaslahatan manusia dunia dan akhirat, lahir dan batin. Kemaslahatan adalah mendatangkan kemanfaatan dan menolak kerusakan.
مقاصد الشريعة: تحقيق مصالح الناس دنيا واخري
ظاهرا وباطنا والمصالح : جلب المنافع ودرء المفاسد
Maqashidusy syari’ah lahir dari penelitian ulama terhadap nash-nash syariat (نصوص الشريعة). Setelah nash-nash yang ada diteliti secara mendalam, maka ulama menemukan bahwa nash-nash tersebut mempunyai tujuan, bukan lahir di tempat hampa tanpa tujuan. Maqashidusy syari’ah ada yang primer yang dinamakan induk maqashid. Induk maqasid ada lima: menjaga agama (حفظ الدين), menjaga harta (حفظ المال), menjaga jiwa (حفظ النفس), menjaga akal (حفظ العقل), menjaga keturunan (حفظ النسل).