Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Menggali makna tasawuf dalam sungkeman saat Hari Raya Idul Fitri

Avatar photo
32
×

Menggali makna tasawuf dalam sungkeman saat Hari Raya Idul Fitri

Share this article

Setibanya di penghujung bulan Ramadhan, umat muslim di seluruh dunia akan berjumpa dengan hari raya idul fitri di keesokan harinya. Ragam varian cara dilakukan oleh berbagai umat muslim di dunia guna menyambut hari yang penuh kebahagiaan dan kegembiraan ini.

Di Afghanistan misalnya, tradisi yang berlaku ialah perang telur atau dikenal dengan Tokhm-Jangi, caranya ialah dengan berkumpulnya para lelaki di lapangan dengan membawa telur rebus dan saling memecahkan telur orang di sekitarnya. Beda halnya dengan India. Masyarakat India menyambut hari raya idul fitri dengan perayaan Chand Raat yang jatuh pada malam terakhir bulan Ramadhan. Selain itu, para wanita India akan menghiasi tangan mereka dengan Henna. Seperti dilansir liputan6.com.

Dalam tradisi masyarakat Indonesia, hari raya idul fitri merupakan hari di mana semua orang saling meminta maaf dan saling memaafkan atas kesalahan yang telah dilakukan, baik disengaja atau tidak. Tradisi yang mendarah daging ini mengharuskan anak untuk sungkeman kepada orang tua, kandung ataupun mertua. Begitu pula dengan kerabat yang lain, yang muda berkunjung kepada yang tua, dan tak ketinggalan pula para tetangga. Sungguh, tradisi yang amat memprioritaskan penghormatan.

Sungkeman bukanlah tradisi hampa tanpa makna. Tradisi dengan ungkapan “mohon maaf lahir dan batin” ini menyimpan beragam makna. Di antaranya ialah menyambung silaturrahmi, meluberkan rasa kasih sayang dan welas asih kepada sesama, hingga menumbuhkan kembali adab dan tata krama pada orang tua. Sungkeman pun turut memiliki makna dalam kacamata tasawuf.

Dalam tasawuf, ada sebuah maqam (tingkatan) awal yang harus dilewati seorang salik (orang yang bersuluk). Maqam itu menjadi stasiun pertama dan menjadi langkah awal dalam bersuluk. Ialah maqam taubat. Zainuddin al-Malibari menjelaskan dalam nadhomnya Hidayah al-Atqiya’:

مَنْ رَامَ أَنْ يَسْلُكَ طَرِيْقَ الْأَوْلِيَا # فَلْيَحْفَظَنَّ هَذِيْ الْوَصَايَا عَامِلَا

اطْلُبْ مَتَابًا بِالنَّدَامَةِ مُقْلِعًا # وَ بِعَزْمِ تَرْكِ الذَّنْبِ فِيْمَا اسْتَقْبَلَا

وَ بَرَاءَةً مِنْ كُلِّ حَقِّ الْآدَمِيِّ # وَ لِهَذِهِ الْأَرْكَانِ فَارْعَ وَ كَمِّلَا

Barangsiapa yang menghendaki berjalan pada jalannya para wali # maka bersungguh-sungguhlah menjaga wasiat-wasiat ini sebagai orang yang beramal.

Carilah pertaubatan dengan sebuah penyesalan, halnya sebagai orang yang berhenti # dan dengan keinginan meninggalkan dosa pada hal yang akan datang.

Dan pembebasan dari setiap haqqul adami (hak anak adam) # dan untuk rukun-rukun ini, jagalah dan sempurnakanlah.”

Baris pertama dari tiga bait ini menjelaskan bahwa barangsiapa yang ingin berjalan atau menempuh jalannya para wali Allah, maka sebaiknya bersungguh-sungguh dalam menjaga wasiat-wasiat yang akan disampaikan, dan diamalkan pula.

Wasiat pertama adalah taubat. Taubat secara etimologi adalah al-Ruju’ (kembali), dan secara syariat berarti kembali dari perkara yang hina dalam syariat ke perkara yang terpuji dalam syariat. Taubat merupakan wasiat pertama dan kaidah agama yang paling penting, serta tempat singgah pertama seorang salik dan asal (awal mula) dari maqam-maqam. Sebagaimana disampaikan Abu Bakr al-Dimyathi dalam kitab Kifayah al-Atqiya’.

Hal serupa disampaikan oleh Abi Ishaq al-Matbuli dalam wasiatnya, yang ditulis oleh Abdul Wahhab al-Sya’rani dalam kitabnya al-Minah al-Saniyah. Wasiat itu ialah untuk beristiqomah dalam bertaubat. Wasiat ini juga merupakan wasiat pertama dari al-Matbuli, sehingga ada kolerasi antara wasiat yang disampaikan al-Malibari dalam nadhomnya dengan wasiat al-Matbuli. Kolerasinya ialah menunjukkan betapa pentingnya bertaubat dan langkah awal yang harus dilakukan ialah bertaubat, hingga wasiat untuk taubat menempati posisi pertama dalam wasiat al-Matbuli dan al-Malibari.

Berbicara soal taubat, tentu tak akan lepas dari haqq Allah dan haqq al-Adami. Sebab seorang hamba pasti berinteraksi secara vertikal dan horizontal. Vertikalnya ialah interaksi dengan Allah SWT, apakah dia taat atau maksiat, sedang horizontalnya adalah interaksi sosial dengan sesama makhluk.

Oleh karena itu, para ulama menjelaskan bahwa bertaubat atas maksiat terbagi menjadi dua, yaitu maksiat yang hanya antara hamba dan Allah, dan maksiat yang berkaitan dengan haqq al-Adami. Bila hanya berkaitan dengan haqq Allah, maka memiliki tiga syarat:

  1. Berhenti dari maksiat
  2. Menyesali atas perbuatan maksiat itu.
  3. Berkeinginan kuat untuk tidak kembali kepada maksiat itu.

Sedang jika berkaitan dengan haqq al-Adami maka memiliki empat syarat:

  1. Berhenti dari maksiat
  2. Menyesali atas perbuatan maksiat itu.
  3. Berkeinginan kuat untuk tidak kembali kepada maksiat itu.
  4. Pembebasan dari hak sang pemilik. Maksudnya ialah, meminta pembebasan atas apa yang telah dilakukan kepada orang yang dimaksiati. Semisal mencuri sebuah harta, maka syarat keempatnya ialah mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya. Misal lain bila maksiatnya berupa menggunjing (gosip), maka meminta maaf dari orang yang digunjing.

Syarat-syarat inilah yang dimaksudkan dalam baris kedua dan ketiga dari tiga bait nadhom di atas. Bila ada satu dari sekian syarat taubat ini tak terpenuhi, maka taubatnya tidak sah, seperti dijelaskan oleh al-Nawawi dalam al-Riyadl al-Shalihin. Oelh sebab itu, al-Malibari melantunkan dengan “Teruntuk rukun-rukun ini, jagalah dan sempurnakanlah”.

Oleh karena itu, kiranya tradisi sungkeman di hari raya idul fitri, yang mana saling memohon maaf dan saling bermaafan satu sama lain, merupakan momentum yang sangat berharga. Karena pada saat itulah, kita bisa bertaubat kepada Allah SWT atas segala maksiat yang berhubungan dengan haqq al-Adami, dengan sesama anak cucu Adam. Sehingga, sungkeman ini menjadi media kita untuk benar-benar kembali kepada Allah SWT.

Dengan demikian, marilah kita memaksimalkan momentum saling bermaafan dalam tradisi sungkeman “mohon lahir dan batin” saat hari raya idul fitri, dengan dibarengi rasa benar-benar menyesali. Agar dosa kita atas sesama anak cucu Adam benar-benar terselesaikan dan tertuntaskan, dan kita benar-benar bara’ah min kull haqq al-Adami, sehingga sah taubat kita dan kembali pada 0-0. Kembali kepada fithrah kita. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

Kontributor

  • Abdus Somad

    Seorang santri di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya, mahasiswa aktif di STAI Al Fithrah Surabaya, Wakil Ketua HIMAPRODI (Himpunan Mahasiswa Program Studi) Akhlak Tasawuf STAI Al Fithrah Surabaya, Wakil Ketua UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Isyqolby (‘Usysyaq al-Lughah al-‘Arabiyah) STAI Al Fithrah Surabaya dan Sekretaris MKPI (Majlis Kebersamaan Dalam Kajian dan Pembahasan Ilmiah) Putra di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya.