Rumah kediaman ulama
Tipe lembaga pendidikan ini termasuk kategori yang paling tua, bahkan yang lebih dahulu keberadaannya sebelum halaqah di masjid Rasulullah SAW, dan para sahabat menjadikan rumahnya sebagai markas gerakan pendidikan yang terfokus pada aktivitas pengajaran aqidah dan pesan-pesan Allah SWT, dalam al-Quran untuk disampaikan kepada masyarakat.
Ketika wahyu pertama diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, maka untuk menjelaskan dan mengajarkan kepada para sahabat, Nabi SAW mengambil rumah Al-Arqam bin Abi Arqam sebagai tempatnya, disamping menyampaikan ceramah pada berbagai tempat.
Pada masa awal Islam, proses pendidikan Islam dilaksanakan secara informal, maksudnya proses pendidikan itu berlangsung di rumah-rumah. Dan di rumah itulah Nabi Muhammad Saw menyampaikan dan menanamkan dasar-dasar agama serta mengajarkan Al-Quran kepada mereka. Hal ini berlangsung kurang lebih 3 tahun. Namun sistem pendidikan pada lembaga ini masih berbentuk halaqah belum memiliki kurikulum. Sedangkan sistem dan materi- materi pendidikan yang akan disampaikan diserahkan sepenuhnya kepada Nabi SAW. Pada hakikatnya lembaga pendidikan di rumah ini telah diterapkan sebelum Kuttab dan makktab dan pada waktu itu rumah yang pertama dijadikan tempat pertemuan untuk menyampaikan ajaran agama adalah rumah Al-Arqam bin Abi Arqam.
Pada perkembangan selanjutnya rumah para ulama’ terkenal yang menjadi tempat kegiatan belajar dan mengajar adalah rumah Ibnu Sina, Al-Ghazali, rumah Ali Ibnu Muhammad, rumah Al-Fashihih, rumah Ya’kub Ibnu Killis, rumah Wazir Khalifah Al-Aziz billah Al-Fatimi, Rumah Abu Muhammad Ibnu Hattim Al Razi Al Hafiz dan rumah Abi Sulaiman Al Sajastani.
Rumah-rumah para ulama’ di atas dijadikan sebagai tempat pusat pembelajaran pada waktu itu dengan pertimbangan bahwa, rumah sebenarnya dapat digunakan untuk membicarakan hal-hal yang bersifat khusus. Saat itu juga ituasi guru yang mengajar agak terbatas, misalnya terlalu sibuk, lelah, umur suda tua dan lain-lain. tak hanya itu, ada anggapan bahwa mendatangi guru untuk belajar lebih baik dari pada guru mendatang muridnya untuk mengajar.
Toko-toko buku
Pada awal pemerintahan dinasti Abbasiyah di Baghdad, lembaga pendidikan Islam dalam bentuk toko-tok buku telah bermunculan dipusat-pusat kota, selain sebagai agen komersialisasi berbagai buku ilmiah, juga menjadi pusat pembelajaran umat Islam melalui metodediskusi mengenai isi buku yang dicari atau ditawarkan. Kemudian lembaga-lembaga pendidikan ini menyebar dengan cepat ke seluruh wilayah kekuasaan Islam saat itu.
Mengutip pendapat al-Yaqubi, Hitty menjelaskan bahwa pada masa itu, sekitar tahun 891 M terdapat pusat pertokoan yang berjejer lebih dari seratus toko buku dalam satu jalan. Beberapa toko buku itu merupakan stan (kamar) yang lebih kecil ukurannya dari surau, tetapi terdapat juga kamar yang lebih besar yang berfungsi sebagai pusat penelitian hasil karya seni dan menjadi taman wacana bagi pengembara ilmu yang datang dari berbagai wilayah Islam. Toko buku selain sebagai tempat menjual buku juga digunakan sebagai pusat diskusi tentang berbagai karya sastra oleh para cendekiawan dan pujangga.
Selama masa kejayaan Dinasti Abbasiyah , toko-toko buku berkembang dengan pesat seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Pada mulanya toko-toko kitab tersebut berfungsi sebagai tempat berjual beli kitab-kitab yang telah ditulis dalam berbagai ilmu pemgetahuan yang berkembang pada masa itu. mereka membeli dari para penulisnya kemudian menjualnya kepada siapa yang berminat untuk mempelajarinya.
Saudagar-saudagar buku tersebut bukanlah orang-orang yang semata-mata mencari keuntungan dan laba, akan tetapi kebanyakan mereka adalah sastrawan-sastrawan cerdas, yang telah memilih usaha sebagai pedagang kitab tersebut, agar mereka mendapat kesempatan yang baik untuk membaca dan menelaah, serta bergaul dengan para ulama dan pujangga-pujangga. Mereka juga menyalin kitab-kitab yang penting dan menyodorkan kepada mereka yang memerlukan dengan mendapat imbalan.
Dengan demikian toko-toko kitab tersebut telah berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempat berjual beli kitab saja, tetapi juga merupakan tempat berkumpulnya para ulama, pujangga dan para ahli ilmu lainnya, untuk berdiskusi, berdebat tukar fikiran dalam berbagai masalah ilmiah. Jadi sekaligus berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan dalam rangka pengembangan macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam. Pemilik buku biasanya berfungsi sebagai tuan rumah dan kadang-kadang berfungsi sebagai pemimpin studi tersebut. Ini semua menunjukkan bahwa betapa antusias umat Islam masa itu dalam menuntut ilmu.
Perpustakaan
Salah satu ciri penting pada masa Dinasti Abbasiyah adalah tumbuh dan berkembangnya dengan pesat perpustakaan-perpustakaan baik perpustakaan yang sifatnya umum didirikan oleh pemerintah, maupun perpustakaan yang sifatnya khusus didirikan oleh para ulama atau para sarjana. Bait Al Hikmah adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid dan berkembang pesat pada masa Al-Ma’mun, adalah salah satu contoh dari perpustakaan dunia Islam yang lengkap, yang berisi ilmu agama dan bahasa Arab.
Di dalamnya terdapat bermacam-macam buku ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu serta berbagai buku terjemahan dari bahasa Yunani, Persia, India, Qibti dan Aramy. Perpustakaan dikatakan sebagai lembaga pendidikan karena sebagaimana diketahui, bahwa pada masa itu, buku-buku sangat mahal harganya, ditulis dengan tangan, sehingga hanya orang-orang kaya saja yang bisa memiliki secara pribadi. Oleh karena itu, bagi masyarakat umum pencinta ilmu, tentu memanfaatkan perpustakaan ini sebagai sarana memperoleh ilmu pengetahuan, dan untuk selanjunya di kembangkan.
Majelis
Lembaga pendidikan Islam dalam bentuk majelis sastra mulai populer berkembang secara formal sejak masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah, tetapi keberadaannya telah dimulai sejak masa Khulafaur Rasyidin. Di lembaga ini, umat Islam belajar tentang berbagai syair, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Persia yang berhubungan dengan agama Islam dan kondisi kehidupan sosial-budaya masyarakat secara menyeluruh.
Pada masa Abbasiyah, selalu diadakan perdebatan dan diskusi tentang keahlian bersyair diantara sastrawan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk juga perlombaan diantara para seniman dan pujangga, khususnya dalam bidang kaligrafi Al-Quran dan arsitektur. Lembaga pendidikan ini menjadi salah satu corong pemerintah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang seni dan budaya umat Islam sehingga mampu menghasilkan karya seni dan budaya yang menakjubkan saat itu.
Majelis yang dimaksud adalah suatu majelis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk mermbahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Majelis ini bermula sejak zaman Khulafa Ar-rasyid, yang biasanya memberikan fatwa dan musyawarah serta diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pada masa itu. tempat pertemuan padamasa itu adalah mesjid. Setelah pada masa khalifah Bani Umayyah tempat majelis tersebut dipindahkan ke istana, dan hanya dihadiri oleh orang orang tertentu saja. Bahkan pada masa khalifah Abbasiyah, majelis sastra ini sangat menjadi kebanggaan, khalifah yang memang pada umumnya khalifah-khalifah Bani Abbas ini sangat menarik perhatian pada perkembangan ilmu pengetahuan. Salon sastra yang berkembang di sekitar para khalifah yang berwawasan ilmu dan para cendekiawan sahabatnya, menjadi tempat pertemuan untuk bertukar pikiran tentang sastra dan ilmu pengetahuan.
Pada masa Harun Ar-Rasyid majelis sastra ini mengalami kemajuan yang luar bisa, karena khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan yang cerdas, sehingga khalifah aktif didalamnya. Di samping itu pada masa tersebut dunia islam memang diwarnai oleh perkembangan ilmu pengetahuan sedangkan Negara dalam keadaan aman. Pada masa beliau juga sering diadakan perlombaan antara ahli-ahli syair, perdebatan antara fuqaha dan juga sayembara antara ahli kesenian dan pujangga.
Pada masa perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan Islam mengalami zaman keemasan majelis berarti sesi dimana aktifitas pengajaran atau diskusi berlangsung seiring dengan perkembangan pengetahuan dalam Islam. Majelis digunakan untuk kegiatan transfer keilmuan dari berbagai ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya. Setidaknya ada 7 macam majelis yang dapat diketahui yaitu:
Pertama, Majelis al-Hadits. Majelis ini biasanya diselenggarakan oleh ulama atau guru yang ahli dalam bidang hadits. Ulama tersebut membentuk majelis untuk mengajarkan ilmunya kepada murid-murid. Kedua, Majelis At-Tadris. Majelis ini biasanya menunjukkan kepada majelis selain dari pada hadits, seperti majelis fiqih. Majelis nahwu, atau majelis kalam. Ketiga, Majelis al-Munazharoh. Majelis ini dipergunakan sebagai sarana untuk membahas perbedaan mengenai suatu masalah oleh para ulama’.
Keempat, Majelis al-Muzakaroh. Majelis ini merupakan inovasi dari murid-murid yang belajar hadis. Majelis ini diselenggarakan sebagai sarana untuk berkumpul dan saling mengingat dan mengulangi pelajaran yang sudah diberikan sambil menunggu kehadiran guru. Kelima, Majelis al-Adab. Majelis ini adalah tempat untuk membahas masalah adab yang meliputi puisi, silsilah dan laporan sejarah bagi orang orang terkenal. Keenam, Majelis al-Fatwa dan Majelis al-Nazar. Majelis ini merupakan sarana pertemuan untuk mencari keputusan suatu masalah di bidang hukum kemudian difatwakan. Disebut pula majelis al-Nazar karena karakteristik Majelis ini adalah majelis tempat perdebatan diantara ulama-ulama fikih.