Begitu membuka situs Green Iftar, kita langsung disuguhi sebuah video yang diawali ucapan berbahasa Indonesia: “Buka puasa Anda mencemari laut kami.”
Bagi yang aware dengan isu-isu ekologi sama sekali tidak akan terkejut dengan kalimat serupa di atas, bahkan untuk menjelaskan kenapa bisa demikian siapa saja tidak membutuhkan banyak ilmu.
Tujuan utama puasa bukan untuk menyelamatkan lingkungan, memang, atau bahkan sama sekali tidak diarahkan ke sana, namun jika pelaksanaannya justru memperparah masalah lingkungan tentu tidak pantas dibiarkan begitu saja. Bukan lapar dan dahaga yang memperburuk lingkungan, melainkan budaya konsumtif ketika berbuka serta hura-hura berlebihan menyambut lebaran yang selalu menjadi biang kerok setiap Ramadan.
Kampanye buka puasa ramah lingkungan ala sejumlah aktivis Muslim di London semangatnya layak diapresiasi serta ditindaklanjuti
Lingkungan saat ini tengah mengalami masa-masa kritis, Ramadan yang senantiasa digaungkan sebagai bulan pengendalian diri seharusnya mampu urun solusi. Bukan sebaliknya.
Laporan Penilaian Keenam Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change’s [IPCC] Sixth Assessment Report) memberikan pernyataan yang dirilis pada 28 Februari lalu, bahwa umat manusia kemungkinan besar akan mengalami berbagai bencana ekologis dalam beberapa dekade mendatang, hal ini tidak lain lain lantaran suhu diperkirakan akan mencapai titik kritis 1,5 derajat Celcius.
Puasa dorong perbaikan laku dengan lingkungan
Bulan puasa seharusnya menjadi alarm umat muslim untuk tidak hanya meremajakan gairah spiritual dalam keadaan perut kosong serta memadatinya dengan salat-salat sunah, namun juga sebagai ajang untuk lebih mampu memperbaiki laku sosial serta meningkatkan interaksi bajik terhadap alam lingkungan.
Cendekiawan muslim kesohor Yusuf al-Qardhawi dalam risalah berjudul Ri’ayah al-Biah fi Syari’ah al-Islam (Pelestarian Lingkungan dalam Perspektif Syariah Islam) menekankan jargon berbunyi “addinu mu’amalah” yang dapat diterjemahkan sebagai “agama adalah hubungan timbal balik”, terhadap siapa dan apa saja, termasuk lingkungan. Segala kebaikan yang diperoleh dari luar diri kita selayaknya kita balas dengan kebaikan berlipat-lipat. Manusia seyogyanya berterima kasih kepada alam yang telah menyusuinya sepanjang hayat, bukan merusaknya.
Meski jargon tersebut bukan hasil nukilan dari suatu ayat Al-Quran maupun ucapan mulia Nabi Muhammad, semangat serta esensi yang dikandungnya dapat dijumpai dalam berbagai nilai dan ajaran Islam.
Dalam sebuah hadis riwayat Abu Hurairah, Baginda Rasul bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan dusta dan bertindak cela, maka Allah tidak menghiraukan amalannya dalam menahan makan dan minum.” (Bukhari 1903)
Hadis tersebut secara tersirat menyampaikan pesan bahwasannya memenuhi kewajiban ritual tidaklah cukup jika seseorang tidak menjaga laku sosialnya dengan baik. Menariknya, di sini Syekh Qardhawi mencatat bahwa hal yang sama juga berlaku dalam kaitannya interaksi terhadap alam berikut unsur-unsur yang dikandungnya.
Pelestarian lingkungan, dalam berbagai bentuknya, dari reboisasi hingga pemanfaatan sumber daya alam secara adil dan bijaksana musti dimaknai sebagai tindakan yang mengantarkan seseorang lebih dekat kepada Sang Khalik. Tanpa semangat menjaga keseimbangan alam, Syekh Qardhawi berpendapat, kualitas laku spiritual seseorang layak dipertanyakan.
Sebagai bahan refleksi, sebuah data menyebutkan bahwa selama bulan (yang seharusnya) suci ini tidak kurang dari 10.000 ton makanan setiap harinya terbuang. Diperkirakan sekitar 15 sampai 25 % dari semua makanan yang terbeli demi keperluan berbuka maupun sahur berujung ke keranjang sampah. Seseorang boleh saja berkilah, terutama muslim Indonesia, bahwa apa yang dilakukannya bukan tindakan konsumtif, melainkan membantu ekonomi para penjaja menengah ke bawah…
Ah, untuk mengatasi perekonomian mereka apakah harus dengan merusak ekologi bersama?
Seperti yang diketahui bersama, limbah makanan adalah masalah sehari-hari di luar bulan Ramadan. Datangnya bulan Ramadan seharusnya mampu menguranginya, namun maaf, harus saya katakan justru memperparah masalah. Lebih paradoksnya lagi, hal ini berlangsung pada bulan di mana harga bahan makanan melonjak tinggi. Sebut saja minyak, daging, sayuran, tepung, dan lain sebagainya.
Sementara di tempat penampungan sampah, sekali lagi maaf, limbah hasil karya kita mulai melepaskan gas metana sebagai bahan bakar inti yang menghidupkan ‘mesin’ pemanas global, plastik sekali pakai dari menu takjil juga sangat berperan memperparah masalah.
Data dari Bank Indonesia dari tahun ke tahun pun demikian, hampir bisa dipastikan selama sebulan menahan nafsu ini justru perputaran uang jauh lebih marak dibanding bulan-bulan lainnya. Sebuah hal yang mengindikasikan bahwa konsumerisme dan nafsu berbelanja justru menemukan momentumnya. Ambil contoh pada April tahun lalu, misalnya peredaran uang melonjak tinggi sesuai pola musim Ramadan dan menjelang lebaran yaitu sebesar 6.957,3 triliun atau tumbuh sebesar 11,5% lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya. Demikian pula kira-kira yang terjadi pada Ramadan-Ramadan sebelumnya, kali ini, dan mungkin tahun-tahun mendatang.
Apa kaitan hal di atas dengan lingkungan? Otomatis sampah yang diproduksi juga melambung tinggi. Limbah semakin membuncah. Plastik semakin membukit. Metana semakin mengudara. Kiamat bertambah dekat.
Untuk menanggulangi hal-hal tersebut, kampanye Green Iftar (Buka Puasa Hijau [Ramah Lingkungan]) oleh aktifis muslim di London sejak Ramadan beberapa tahun lalu layak diapresiasi semangatnya, dielaborasi, dan ditindaklanjuti. Tujuan utama mereka tidak lain adalah mendidik segenap umat muslim untuk berbuka secukupnya dengan memilih menu yang tidak hanya ekonomis, namun juga ramah lingkungan, efektif, ideal, tidak merusak, serta sejalan dengan etika Islam.
Termasuk di antaranya dapat memilih mana bahan yang memiliki potensi mengurangi emisi karbon, penggunaan air secara bijaksana, menyajikan menu dengan sedikit lemak hewani, menghindari kantung plastik sekali pakai, serta berbagi dengan mereka yang membutuhkan.
Pemerintah serta segenap umat Islam di Indonesia agaknya perlu mempertimbangkan hal ini untuk kemudian diselaraskan dan diamalkan sebagai panduan protokol masjid, penginapan, atau institusi-institusi umum yang menyelenggarakan buka puasa sepanjang Ramadan. Dengan demikian pula diharapkan dapat lebih eco-friendly pada bulan-bulan yang lain.
Sekali lagi saya tekankan, kiranya penting bagi kita bertanya setidaknya pada diri sendiri setiap selepas membaca doa buka puasa: “Bagi krisis yang tengah dihadapi lingkungan, apakah puasa saya terhitung solusi, atau malah sebaliknya?”