Menghadapi momen perayaan Natal bagi pemeluk agama Nasrani, bagaimana sikap seorang muslim bila menanggapi bingkisan hadiah yang diberikan oleh tetangga atau teman non-muslim dalam rangka perayaan Natal tersebut? Bolehkah menerima hadiah dan bingkisan dari non-muslim tersebut?
Masyarakat muslim di Indonesia dihadapkan dengan kemajemukan di seluruh elemen dalam kehidupannya. Kemajemukan dalam ras, adat, budaya, bahasa, agama dan lain sebagainya. Maka setiap individu dituntut untuk bisa cakap dalam berasimilasi menghadapi keberagaman tersebut, khususnya keberagaman dalam ranah keagamaan.
Maka bagi setiap muslim untuk mawas diri serta mengerti akan patokan syariat dalam mengatur hubungan (muamalah) antara seorang muslim dengan non-muslim.
Ulama pun memperinci hukum menerima bingkisan, hadiah, atau parcel baik berupa; makanan, sembako dan lain sebagainya—yang dihadiahkan oleh non-muslim dalam perayaan Natal ke dalam poin-poin berikut.
1. Jika hadiah atau bingkisan tersebut dikategorikan ke dalam suatu hal yang diharamkan oleh Allah swt. semisal; makanan yang terbuat dari babi, atau perkara haram lainnya, maka hukumnya: haram menerima bingkisan tersebut dengan syarat keyakinan absolut akan kebenaran hal tersebut.
Al-Imam Ibn Hajar mengingatkan hal yang wajib diwanti-wanti oleh setiap muslim, dalam tuturnya,
فائدة: ولا يحرم إلا إن تيقن أن هذا من الحرام وقول الغزالي: يحرم الأخذ ممن أكثر ماله حرام وكذا معاملته: شاذ.
“Jika ia meyakini dengan keyakinan yang absolut bahwa bingkisan (hadiah dari non-muslim) tersebut merupakan hasil dari perbuatan haram atau terbuat dari sesuatu yang haram, maka haram baginya untuk menerimanya.” (Tuhfat al-Muhtaj)
Hal tersebut sangatlah jelas, karena sesuatu jika tergolong haram, maka wajib bagi setiap muslim untuk menjauhi dan menolaknya, tanpa memandang dari mana asalnya walaupun berasal dari sesama muslim, terlebih-lebih non-muslim.
2. Jika hadiah tersebut diyakini kehalalannya, atau adanya dugaan kecil tercampur dengan sesuatu yang diharamkan, semisal dugaan tercampurnya makanan tersebut dengan sesuatu yang najis, sebelum melalui proses cleaning yang dipatok oleh syariat.
Maka, ulama pun mengemukakan bahwa hal tersebut dibolehkan dalam syariat, karena dugaan tersebut tidak cukup kuat untuk membuktikan kebenaran dan fakta dari dugaannya.
Namun al-Imam al-Ghazali berpendapat atas keharaman menerima bingkisan tersebut, serta memilih warak (berhati-hati) dan mengambil tindakan preventif guna terhindar dari makanan yang diduga najis dan keharamannya.
Al-Imam Ibn Hajar dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj menyatakan,
ولا تحرم معاملة من أكثر ماله حرام ولا الأكل منها كما صححه في المجموع وأنكر قول الغزالي بالحرمة مع أنه تبعه في شرح مسلم
“Tidak diharamkan berkorelasi (interaksi atau transaksi) dengan orang yang diduga hartanya kebanyakan merupakan hasil dari perbuatan haram. Serta tak diharamkan pula memakan hasil dari harta tersebut sebagaiamana penjelasan yang dikukuhkan dalam kitab al-Majmu’ (al-Imam An-Nawawi).” (Tuhfat al-Muhtaj)
Al-Imam Ad-Darimi salah seorang ulama dalam mazhab Syafi’i dari kalangan ‘mutaqaddimiin’ (terdahulu) pun berpendapat,
ويجوز قبول الهدية من الكافر كالمسلم.
“Diperbolehkan bagi seorang muslim menerima hadiah (pemberian) dari kafir (non-muslim), begitupula sebaliknya.” (an-Najm al-Wahhaj, 8/534).
Al-Imam Jamaluddin ar-Ramli menjelaskan status hukum pemberian kafir dalam petikan kalimatnya,
هَدَايَا الْكُفَّارِ لِلْمُسْلِمِين إِنْ أَهْدَى الْكُفَّارُ لِمُسْلِمٍ شَيْئًا ، فَإِنْ كَانَتْ فِي أَثْنَاءِ الْحَرْبِ فَهُوَ غَنِيمَةٌ ، أَمَّا مَا أَهْدَوْهُ فِي غَيْرِ الْحَرْبِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بِفَيْءٍ ، كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ بِغَنِيمَةٍ ، بَل هُوَ لِمَنْ أُهْدِيَ إِلَيْهِ.
“Adapun status dari hadiah non-muslim yang diberikan kepada muslim; jika diberikan saat kondisi peperangan maka tergolong ghonimah (harta rampasan perang), namun jika diberi ketika tidak dalam kondisi peperangan maka pemberian tersebut menjadi miliknya.” (Nihayat al-Muhtaj, 6/133).
Namun untuk diketahui bahwa hadiah atau pemberian merupakan salah satu cara menarik perhatian atau cinta seseorang. Maka bagi setiap muslim untuk waspada agar tidak sampai tersirat di hatinya rasa cinta dan ridho atas agama yang dianut orang yang telah memberinya hadiah.
Jika dirasa bahwa seorang kafir telah sering melakukan kebaikan kepadanya, serta mengirimkan hadiah, hingga timbul di hatinya rasa cinta dan ridha atas agamanya -maka wajib baginya untuk membuang jauh-jauh perasaan tersebut dalam hatinya dengan cara apapun, semisal; menolak pemberian tersebut.
Al-Imam al-Munawi ketika mengomentari sebuah hadits yang berbunyi:
جبلت القلوب على حب من أحسن إليها والبغض من أساء إليها
“Tabiat hati seseorang ialah rasa cinta kepada orang yang telah berbuat baik kepadanya, serta rasa benci kepada orang yang telah menyakitinya.”
Ia pun menyatakan, “Dengan bertumpu dengan hadits ini, sebagian ulama menyatakan kewajiban menolak pemberian non-muslim, fasik, dan pendosa, guna memangkas kecenderungan hati, dan rasa cinta kepada orang-orang tersebut. Namun jika dengan menerima pemberian itu, terdapat kemaslahatan khusunya dalam ranah agama maka hukumnya boleh.” (Faidh al-Qadir, 4/453).
Wallahu a’lam bis showab.
Referensi:
1. An-Najm al-Wahhaj, karya; al-Imam Ad-Darimi.
2. Tuhfat al-Muhtaj, karya; al-Imam Ibn Hajar al-Haitami.
3. Nihayat al-Muhtaj, karya; al-Imam Jamaluddin Ar-Ramli.
4. Fayd al-Qadir, karya; al-Imam al-Munawi al-Mishri.