Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tanya Jawab

Muazzin atau Imam, Mana yang Lebih Utama dalam Mazhab Syafi’i?

Avatar photo
21
×

Muazzin atau Imam, Mana yang Lebih Utama dalam Mazhab Syafi’i?

Share this article

Jika kita membaca kitab-kitab fikih mazhab Syafi’i maka akan kita dapati betapa banyak masalah furu’iyyah yang telah dibahas dan dipaparkan keutamaan dan hukumnya oleh para Ashhab dan Mujtahid al-Mazhab.

Tidak jarang kita temui adanya perbedaan pendapat dari beliau-beliau tentang suatu masalah. Di antaranya adalah tentang keutamaan Azan-Iqamah dan mengimami.

Dipaparkan oleh Ibnu al-Qarahdaghi dalam al-Manhal al-Nadhdhâkh fî iIkhtilâf al-Ashyâkh fî al-Fiqh al-Shâfi’i, bagi Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H.) Azan disertai dengan Iqamah itu lebih utama dibanding mengimami namun tidak jika sekedar Azan saja atau Iqamah saja. Yakni menurut Ibnu Hajar, mengimami itu lebih utama dibanding Azan yang tidak disertai oleh Muazzin untuk Iqamah. Sedangkan Imam al-Ramli (w. 1004 H.) berpendapat bahwa Azan saja itu lebih utama dari pada mengimami.

Sebagaimana dalam al-Hâwi li al-Fatâwâ, Imam Suyuthi (w. 911 H.) menyebutkan bahwa Imam al-Nawawi (w. 676 H.) berpendapat bahwa Azan lebih utama dari pada mengimami. Namun Imam ar-Rafi’i (w. 623 H.) berpendapat bahwa mengimami lebih utama dari pada Azan.

Dalih dari keutamaan mengimami adalah bahwa shalat yang mana di situ Imam adalah menjadi bagian pentingnya adalah maksud utama sedangkan Azan hanyalah wasilah shalat. Dalam pasal mengimami dibutuhkan syarat yang lebih rumit dibanding syarat muazzin, sebab ia berkaitan langsung dalam shalat, berbeda dengan Azan yang ada di luar shalat.

Keutamaan mengimami juga sebab merujuk pada bagaimana baginda saw melaksanakan ibadah ini tanpa mewakilkannya pada sahabat lain kecuali sebab uzur syar’i. Begitu juga para Khulafaurrasyidin yang melakukan hal serupa sebagaimana baginda saw. Mereka tidaklah melakukan sesuatu kecuali pada perkara yang bersifat utama. Dan tidaklah orang yang berhak menjadi imam kecuali yang bersangkutan telah dipandang paling cakap secara ilmu dan umur.

Syeikh az-Zubaydi yang menerangkan Ihyâ’ Imam Ghazali (w. 505 H.) dalam Ithâf as-Sâdah menceritakan, para sahabat saling menolak untuk menjadi imam sebab melekat pada diri seorang imam adalah penjamin resiko. Dan tidaklah melekat sebuah resiko kecuali pada hal-hal yang mengandung keutamaan.

Mengimami adalah perkara agung dan sebuah wilâyah (penguasaan). Sebagaimana Imam Syafi’i yang berkata dalam al-Umm (1/141-142):

ولا أكره الإمامة إلا من جهة أنها ولاية، وأنا أكره سائر الولايات

“Dan tidaklah saya membenci menjadi imam kecuali sebab ia termasuk sebuah wilâyah, dan saya benci segala wilâyah.”

Maqâlah di atas juga disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatâwâ al-Kubrâ. Oleh karena itu mayoritas Ashhab asy-Syafi’i berpendapat akan keutamaan mengimami dari pada Azan. Dan menurut Syeikh Zaubaidi dalam Ithâf, para ulama muta’akhirin sempat takjub tentang sikap Imam Nawawi yang lebih mengutamakan Azan yang sifatnya ibadah sunnah dibanding mengimami yang melekat pada shalat jamah yang sifatnya fardu kifayah.

Kemudian, dalih bahwa Azan itu lebih baik dari pada mengimami adalah QS. Fushshilat: 33 dan Hadis sayyidah Aisyah riwayat Imam Bukhari:

لَوْ يعْلمُ النَّاسُ ما في النِّداءِ والصَّفِّ الأَولِ. ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يسْتَهِموا علَيهِ لاسْتهموا علَيْهِ

“Andaikata para manusia mengetahui betapa agung pahala azan dan menempati saf pertama (saat shalat), kemudian mereka tidak menemukan cara untuk memperolehnya itu kecuali dengan cara mengadakan undian, niscaya mereka akan melakukan undian itu…”

Juga hadis Abu Hurairah ra. riwayat Abi Daud dan Ahmad:

الْإِمَامُ ضَامِنٌ، وَالْمُؤَذِّنُ مُؤْتَمَنٌ، اللَّهُمَّ أَرْشِدِ الْأَئِمَّةَ، وَاغْفِرْ لِلْمُؤَذِّنِينَ

“Seorang Imam adalah penjamin dan muazzin adalah pemegang amanah, Ya Allah berilah petunjuk kepada para imam (shalat) dan ampunilah para muazzin.

Sebuah amanah itu lebih tinggi dari pada sebuah penjaminan, sebagaimana ampunan itu lebih tinggi dibanding sebuah petunjuk. Alasan kenapa Baginda saw dan para Khulafaurrasyidin tidak melakukan Azan. Hal ini sebab beliau-beliau mempunyai banyak tugas yang mempersempit kesempatan untuk melakukannya. Hal ini dapat kita pahami bagaimana sayyiduna Umar ra berkata:

لولا الخلافة لأذنت (اي لكنت مؤذنا(

“Andai bukan karena kesibukan tugas kekhalifahan, niscaya saya akan azan.”

والله أعلم بالصواب

Kontributor

  • Bakhrul Huda

    Kord. Akademik Ma'had Jami'ah UINSA Surabaya dan Tim Aswaja Center Sidoarjo.