Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Wahyu dan akal: Sudut pandang Ibnu Rusyd dan Ibnu Taimiyah (2)

Avatar photo
38
×

Wahyu dan akal: Sudut pandang Ibnu Rusyd dan Ibnu Taimiyah (2)

Share this article

Dari klasifikasi dalam tulisan sebelumnya, agaknya jawaban yang diberikan Ibnu Rusyd jelas, bahwa pertentangan antara akal dan wahyu tidak terjadi apabila akal dipahami sebagai al-burhan.

Namun demikian, Ibnu Rusyd tetap mengakui adanya kemungkinan pertentangan antara ahl al-burhan dan teks wahyu. Solusi yang terbaik menurutnya adalah, seperti cara pengambilan hukum Fikih. Dalam kesempatan tertentu, pengetahuan tentang al-mawjud tidak disebutkan dalam wahyu, dan dalam teks yang lain disebutkan. Jika tidak disebutkan maka harus disimpulkan darinya seperti qiyas dalam Fikih.

Jika pengetahuan itu disebutkan, dan makna dzahirnya bertentangan dengan hasil pemikiran demonstratif, maka diselesaikan dengan dua cara; pertama, dengan interpretasi secara majazi (alegorik) atau kiasan makna dzahir itu sesuai dengan aturan-aturan bahasa Arab yang berlaku, yaitu dengan menerjemahkan arti suatu ekspresi, dari yang bersifat metaforikal kepada pengertian yang sesungguhnya, kedua, dengan mencari semua makna dzahir dalam al-Qur’an yang bersesuaian dengan interpretasi alegorik, atau yang mendekati makna alegorik itu.

Akan tetapi untuk mentakwilkan secara majazi makna ayat dzahir, pada alternatif pertama Ibnu Rusyd tidak hanya bersandar pada aturan-aturan bahasa Arab saja, tetapi juga menetapkan aturan berdasarkan pada kejelasan simbol dan benda yang disimbolkan untuk menentukan, apakah sesuatu ayat dzahir boleh ditakwilkan atau tidak. Jika makna dzahir suatu ayat adalah seperti arti yang dimaksudkan (al-ma’na al-mawjud fi nafsihi), ayat itu tidak perlu ditakwilkan. Jika dzahir ayat-ayat itu adalah simbol-simbol belaka dan bukan arti yang sesungguhnya dari dzahirnya ayat-ayat itu, maka otomatis harus ditakwilkan sesuai dengan kesesuaian antara simbol (al-mitsal) dengan benda yang disimbolkan (al-mumatstsal).

Jika simbol dan benda yang disimbolkan dapat mudah diketahui, maka setiap orang boleh mentakwilkannya. Tapi jika simbol dan benda yang disimbolkan sulit diketahui, atau jika benda yang disimbulkan dapat dipahami dengan mudah tapi simbol-simbol ayat itu tidak dapat begitu saja diketahui, maka ayat-ayat ini hanya boleh ditakwilkan oleh yang berilmu dan tidak boleh diungkapkan kepada orang awam kecuali dengan penjelasan yang berbeda.

Ibnu Rusyd tidak menjelaskan lebih jauh tentang standar pengetahuan al-mitsal dan al-mumatstsal atau kriteria untuk membenarkan kebenaran pengetahuan tentang kedua hal itu. Nampaknya asas yang digunakan Ibnu Rusyd dalam takwil adalah Bahasa Arab yang merujuk kepada kebiasaan (adat lisan al-Arab) dan kejelasan simbol serta benda yang disimbolkan, terutama adalah kemampuan akal memahami maknanya dengan menggunakan metode demonstratif. Akan tetapi, standar bahasa Arab dengan simbol-simbol itu tidak dikaitkan dengan bahasa sebagai simbol suatu konsep yang dijelaskan Nabi dan dipahami oleh para sahabat dan tabi’in. Demikian pula proses takwil yang dijelaskan, seakan-akan menggambarkan bahwa pengetahuan ahl al-burhan adalah taken for granted itu benar. Ini bermakna bahwa, kebenaran wahyu perlu dikaji ulang dan tidak memberikan ruang untuk menjelaskan proses bagaimana seharusnya pengetahuan demonstrasi dikaji ulang.

Pandangan tersebut dapat dipahami sebagai mendahulukan akal daripada wahyu, yaitu pandangan yang bertentangan dengan pemikiran salaf, seperti al-Ghazali, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah atau lainnya. Dengan membatasi makna perkataan al-rasikhun fi al-ilm, berarti Ibnu Rusyd memberikan otoritas mentakwilkan makna batin al-Qur’an kepada filosof, tanpa mempertimbangkan otoritas Nabi dan para sahabat. Hal ini membahayakan kemutlakan kebenaran wahyu.

Demikian pula, pengetahuan para filosof tentang realitas (wujud), yang diperoleh dari metode demonstrasi belum dapat dikatakan final. Dalam masalah doktrin ketuhanan atau konsep tentang Tuhan, misalnya, filsafat Yunani masih mengandung pertentangan dan berbeda dari konsep dalam al-Qur’an. Jika Ibnu Rusyd membahas lebih detail konsep akal tanpa membatasi pada metode demonstrasi filsafat Yunani, maka kesesuaian akal dan wahyu dapat dipahami lebih jelas.

Dalam konteks kesesuaian wahyu dan akal itulah, model pemikiran Ibnu Taimiyah relevan untuk disandingkan dengannya. Prinsip kesesuaian Ibnu Taimiyah yang berarti tanpa pertentangan tercemin dari judul kitabnya yang menggunakan perkataan muwafaqat dan dar ta’arud. Meskipun implikasi makna perkataan ini hampir sama dengan perkataan ittishal dalam pandangan Ibnu Rusyd, tapi prinsip-prinsip yang digunakan berbeda, terutama dalam memahami makna akal (aql ) dan dalam menjabarkan wahyu (al-naql, al-sam’i). Prinsip-prinsip Ibnu Taimiyah ini dapat dipahami secara lebih jelas dari komentar dan jawabannya terhadap masalah yang dibahas oleh filosof dan mutakallimun, khususnya Fakhruddin al-Razi, yaitu; bagaimana penyelesaiannya jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu.

Menarik dari kesemua pembahasan Ibnu Taimiyah, sekurang-kurangnya terdapat tiga prinsip utama yang dimaksud untuk menjawab masalah itu dan membangun prinsip kesesuaian antara akal dan wahyu. Ketiga prinsip itu ialah sebagai berikut; Pertama, bahwa rasional atau tradisional bukanlah sifat yang boleh menentukan sesuatu itu benar atau salah, diterima atau ditolak. Ia hanyalah metode atau jalan untuk mengetahui sesuatu. Jika sesuatu itu berasal dari tradisi (al-sam’i), semestinya ia bersifat rasional, sifat tradisional tidak bertentangan dengan sifat rasional. Syariah terkadang bersifat tradisional dan terkadang rasional; bersifat tradisional (sam’iyyan) jika ia menetapkan dan menunjukkan sesuatu, dan bersifat rasional jika ia memperingatkan dan menunjukkan sesuatu hal.

Kedua, jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, maka prioritas diberikan kepada wahyu dan menolak akal. Akal tidak mungkin diberi prioritas, karena melalui akal kebenaran wahyu dibuktikan. Jika akal diberi prioritas sedangkan akal itu sendiri boleh berbuat salah, maka ia tidak boleh menjadi alat untuk menentukan kebenaran. Di sini wahyu akan dianggap mengandung kesalahan. Prinsip ini masih bersifat umum dan tidak termasuk pertentangan antara pengetahuan tradisional (wahyu) dan rasional (akal).

Ketiga, jika pertentangan terjadi antara proposisi akal dan wahyu, maka harus dikaji apakah proposisi itu qath’i atau dzanni. Jika kedua-dua proposisi itu qath’i, maka tidak mungkin terjadi pertentangan, dan jika kedua proposisi itu dzanni maka dipilih proposisi yang lebih pasti (rajih). Jika proposisi yang dihasilkan akal lebih pasti (qath’i), maka prioritas diberikan kepada proposisi akal daripada proposisi dari pengetahuan wahyu (al-sam’i) dan sebaliknya. Tapi proposisi akal diutamakan bukan karena ia berasal dari akal, tapi karena sifat qath’i-nya itu.

Secara umum pandangan Ibnu Taimiyah menolak prinsip akal sebagai asas wahyu dan asas bagi menentukan kebenaran wahyu yang berarti mendahulukan akal daripada wahyu. Alasannya, karena keberadaan wahyu berasal dari Nabi (al-sam’i) dan bukan dari akal. Meskipun kebenaran wahyu dapat menetapkan adanya (tsubut) wahyu. Kebenaran wahyu tidak mungkin bergantung pada pengetahuan yang diperoleh akal, sebab sifat dapat dipahami atau diketahui oleh akal bukanlah sifat lazim sesuatu benda. Seandainya kebenaran wahyu itu tidak diketahui atau dibuktikan oleh akal sekalipun, tetap memiliki sifat kebenaran. Karena itu, semua pengetahuan akal tidak dapat dijadikan sebagai asas bagi wahyu atau dalil bagi kebenarannya.

 

Baca juga:

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.