Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Kesejarahan situasi politik jelang pewahyuan Al-Quran (bagian 2)

Avatar photo
34
×

Kesejarahan situasi politik jelang pewahyuan Al-Quran (bagian 2)

Share this article

Supremasi kaum Quraisy di dunia perniagaan, dalam kenyataannya, memiliki fondasi religius. Mereka berdiam di dalam suatu kawasan yang dipandang suci seluruh suku Arab. Suku-suku ini bahkan rela meregang nyawa mempertahankan gagasan tentang kesucian Makkah.

Lebih jauh, mereka juga merupakan penjaga Ka’bah, dengan batu hitam (hajar aswad) beserta segala berhala di dalamnya, yang merupakan tempat suci yang diziarahi orang dari berbagai penjuru Arabia Barat.

Jadi, Ka’bah jelas merupakan tempat suci yang memiliki posisi sentral bagi suku-suku di Arabia Barat, dan hal ini tentunya sangat menguntungkan bagi aktivitas niaga yang Meskipun kata tajir (pedagang) tidak digunakan di dalam al-Quran dan kata tijarah (perniagaan) hanya disebutkan dalam sembilan kesempatan, perniagaan merupakan tema sentral dalam kehidupan yang tercermin dalam perbendaharaan kata yang digunakan kitab suci tersebut. Salah satu seorang sarjana Amerika beragama Yahudi, C.C. Torrey, yang melakukan penelitian tentang hal ini, sampai kepada kesimpulan bahwa istilah-istilah perniagaan digunakan kitab suci tersebut untuk mengungkapkan butir-butir doktrin yang paling mendasar, bukan sekadar kiasan-kiasan ilustratif. Tak hanya itu, ia juga menganalisis terma-terma perniagaan dalam kategori kategori berikut: terma-terma matematik (hisab, al-hasib, ahsha) takaran dan ukuran (wazana, mizan , tsaqula, mitsqal), pembayaran dan upah (jaza, tsawwaba, tsawab, waffa, ajr, kasaba), kerugian dan penipuan (khasira, bakhasa, zhalama, alata, naqasha), jual-beli (syara, isytara, ba’a, tijarah, tsaman, rabiha), serta pinjam-meminjam dan jaminan (qardl, aslafa, rahin).

Ungkapan-ungkapan dari dunia perniagaan memang menghiasi lembaran-lembaran al-Quran dan digunakan untuk mengungkapkan ajaran-ajarannya yang asasi. Hisab, suatu istilah yang lazim digunakan untuk perhitungan untung-rugi dalam dunia perniagaan, muncul di beberapa tempat dalam al-Quran sebagai salah satu nama bagi Hari Kiamat (yawm al-hisab), ketika perhitungan terhadap segala perbuatan manusia dilakukan dengan sangat cepat (sari’ al-hisab). Sementara kata hasib (pembuat perhitungan, penghitung) dinisbatkan kepada Tuhan dalam kaitannya dengan perbuatan manusia.

Gagasan utama yang mendasari perhitungan ilahi adalah kitab, yang merekam segala perbuatan baik dan buruk manusia. Timbangan akan dipasang di Hari Perhitungan dan seluruh perbuatan manusia akan ditakar. Setiap orang akan bertanggungjawab atas segala perbuatan yang telah dilakukannya. Perbuatan baik dan direstui akan memperoleh imbalan atau upah; sebaliknya, perbuatan buruk dan dikutuk akan diganjar azab neraka. Kata-kata kerja kasaba (memperoleh keuntungan, berusaha, berbisnis), jaza (membayarkan, memberi upah, ganjaran,), ajara (memberi upah, membayar nilai kontrak, imbalan), serta berbagai bentuk konjugasinya, sering digunakan al-Quran dalam konteks-konteks mokra thus semacam ini.

Ungkapan-ungkapan dari dunia perniagaan lainnya yang lazim digunakan dalam masyarakat niaga Makkah, seperti menjual, membeli atau barter dan transaksi pada umumnya, juga digunakan al-Quran untuk mengungkapkan gagasan-gagasan keagamaan Islam yang mendasar. Dalam al-Quran surah 9:111, Lebih jauh kata bay dibeberapa tempat dalam al-Quran juga dihubungkan dengan pengadilan akhirat, dan disebutkan pada hari itu tidak ada transaksi (2:254; 14:31).

Beberapa ilustrasi istilah perniagaan-teologis yang dikemukakan di atas hanya merupakan sebagian kecil dari ungkapan-ungkapan al-Quran yang memiliki sentuhan erat dengan dunia bisnis Makkah. Terdapat berbagai konteks lainnya di dalam al-Quran, di mana istilah- istilah perniagaan lain telah digunakan untuk mengekspresikan ajaran-ajaran mendasar kitab suci tersebut. Bahkan, dalam konteks Madaniyah, istilah-istilah semacam itu juga sering digunakan dalam bagian-bagian al-Quran yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan hukum bagi kaum Muslimin. Kata mizan (timbangan), misalnya, digunakan dalam 6:15-152: Katakanlah: Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu …Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan (mizan) dengan adil. Demikian pula, kata ajr (imbalan), digunakan dengan makna mahar perkawinan dalam 4:24-25; 5:5; 33:50; dan 60:10. Sementara dalam 65:6, ujur diperintahkan untuk diberikan kepada wanita-wanita dalam masa iddah yang menyusui anak.

Namun, di tengah-tengah masyarakat niaga ini, sebagaimana halnya dalam masyarakat-masyarakat niaga pada umumnya, muncul masalah-masalah akut bertalian dengan pergolakan sosial. Praktek-praktek perekonomian yang tidak etis dan cksploitatif, selain memperlebar jurang pemisah antara yang kaya dan miskin, juga telah mengancam kohesi sosial masyarakat Makkah. Al-Quran menyinggung kecurangan yang dilakukan pedagang-pedagang Makkah dalam takar-menakar dan timbang-menimbang, serta praktek riba yang merupakan fenomena umum di Makkah maupun Madinah. Sementara eksistensi sejumlah orang tertindas, serta neraka perbudakan dan orang-orang sewaan juga memiliki andil dalam memperlebar kesenjangan sosial di Makkah. Sekalipun orang-orang Makkah Secara konstan sibuk dalam aktivitas niaganya, mereka tetap mempertahankan ciri pengembaraannya.

Baru beberapa generasi mereka meninggalkan kehidupan nomadik untuk menetap di Makkah, dan rentang waktu yang belum begitu lama ini tentu nya belum dapat mengubah karakter tersebut. Kesibukan rata-rata orang Arab dalam dunia bisnis bisa juga dikaitkan dengan pandangan dunia nomadik mereka tentang kehidupan. Orang-orang yang menaruh perhatian pada kebudayaan Arab, mengenal dengan baik realisme sederha yang mencirikan weltanschauung pagan Arab. Realisme bertalian secara intim dengan iklim padang pasir yang kejam.

Bagi orang Arab, dunia yang fana ini merupakan satu-satunya dunia yang eksis. Eksistensi di luar batas dunia merupakan hal yang nonsen. Konsepsi tentang eksistensı yang secara khas, mencirikan pandangan dunia pagan Arab ini direkam dalam berbagai bagian al-Quran. Dalam 45:24 disebutkan: Mereka berkata: Kehidupan kita hanyalah di dunia ini, kita mati dan kita hidup serta tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa. Kemungkinan akan dibangkitkannya manusia dalam kehidupan mendatang sama sekali merupakan konsepsi yang asing dan berada di luar benak orang-orang Arab. Selain penegasan pagan Arab tentang eksistensi satu-satunya di dunia ini, dalam 6:29 juga dikemukakan penolakan mereka terhadap eksistensi di luar dunia: Kehidupan kita hanyalah di dunia ini, kita sama sekali tidak akan dibangkitkan.

Konsepsi pesimistik, sekalipun dipandang realistik, tentang kehidupan di muka bumi ini memiliki implikasi yang jauh menjangkau dalam kehidupan padang pasir. Pengejaran terhadap kenikmatan semu duniawi yang dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penjarahan kafilah-kafilah dagang dan suku-suku lemah, hingga praktek-praktek ekonomi yang eksploitatif dan tidak bermoral, merupakan fenomena umum di Arabia. Jika kehidupan hanya terbatas di dunia ini  dan suatu ketika masa (dahr) secara pasti akan membinasakan manusia, maka solusi paling realistik adalah hedonisme. Bahkan, dalam konsepsi pagan Arab, penumpukan kekayaan dalam rangka pengejaran kesenangan duniawi, dipandang bisa memberikan kehidupan abad (khulud, kepada manusia di dunia).

Syahdan, bahwa orang Arab memiliki pertalian yang erat dengan padang pasir dan tetap berusaha mempertahankan ciri kehidupan nomadiknya. Pijakan utama kehidupan dipadang pasir adalah penggembalaan dan pengembangbiakan ternak, terutama Unta yang memiliki daya tahan tinggi dilingkungan seperti itu. Dengan menjual kelebihan Unta atau menerima upah sebagai pinjaman kafilah-kafilah dagang, kaum pengembara bisa membeli kurma dan oase-oase dan bahkan barang mewah seperti khamr (anggur). Pada musim penghujan atau musim semi, banyak lembah dan ngarai yang ditumbuhi sayur-mayur secara berlimpah ruah tetapi berumur pendek, yang darinya unta-unta memperoleh makanan serta cairan untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

meskipun demikian, curah hujan di Arabia tidak teratur, dan kaum pengembara mesti mengubah geraknya selaras dengan perubahan iklim. Ketika sayur-mayur musim semi telah menghilang, pengembara harus pergi ke daerah-daerah terpencil lainnya yang memiliki mata air dan semak belukar yang masih tetap hijau.

Kejamnya kehidupan di padang pasir turut mendominasi tamsilan al-Quran di berbagai tempat. Kejadian di Hari Kiamat, misalnya, digambarkan laksana gunung-gunung yang berubah menjadi tümpukan pasir yang beterbangan (73:14), suatu gambaran yang intensitasnya melebihi badai padang pasir yang mesti dihadapi para pengembara. Situasi semacam ini juga ditamsilkan al-Quran sehubungan dengan perbuatan orang-orang kafir. Dalam 14:18 dikatakan: bahwa amalan-amalan mereka seperti debu pasir yang beterbangan dihempas angin ribut. Gambaran lainnya tentang perbuatan orang kafir adalah amalan mereka laksana fatamorgana yang dari jauh terlihat seperti sumber air, tetapi ketika mereka sampai disana tidak terdapat sesuatu pun kecuali Allah (24:39). Sementara gambaran yang bertalian dengan minimnya curah hujan di Arabia (yang dengannya tanah-tanah mati menjadi hidup) bisa ditemukan dalam berbagai konteks al-Quran lainnya.

Lantaran tekanan populasi yang berkesinambungan terhadap persediaan makanan, perjuangan untuk mempertahankan eksistensi melawan saingan-saingan tidak pernah berakhir. Untuk menghadapi musuh dan tolong-menolong melawan keganasan alam, orang-orang Arab menyatukan dirinya ke dalam kelompok yang biasanya didasarkan pada pertalian darah.

Tetapi, untuk tujuan tertentu, kelompok-kelompok kecil bergabung dengan kelompok-kelompok lainnya dan membentuk suatu qawm (suku). Suku-suku berdasarkan tujuan dan kepentingan tertentu, terkadang bergabung dengan suku-suku lainnya untuk membentuk federasi suku-suku. Setelah hijrah ke Madinah, Nabi terlihat membentuk federasi kesukuan semacam itu berdasarkan Piagam Madinah.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.