Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tanya Jawab

Apakah Menjadi Sunni Harus Berakidah Asy’ari?

Avatar photo
54
×

Apakah Menjadi Sunni Harus Berakidah Asy’ari?

Share this article

Sahabat Sanad Media yang berbahagia. Beberapa hari yang lalu ada pertanyaan yang masuk ke meja redaksi.

Pertanyaan: 
Apakah akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah harus berakidah Asy’ari? Bukannya yang terpenting itu bertauhid ya Ustadz?

Jawab:  

Tarik ulur dalam memperebutkan label Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai “sekte yang selamat” dalam sebuah hadis Nabi Saw., sejatinya sudah berlangsung semenjak Islam datang. Meski ketika ditelusuri, Aswaja dekade ini hanya mengerucut pada 3 sekte besar di dunia Islam. Karena ternyata yang mau secara bangga dan terang-terangan mengaku sebagai Aswaja hanya kaum teolog Asy’ari, Maturidi, dan Atsari (pengikut imam Ahmad bin Hambal).

Bukan tanpa alasan bila kita memasukkan Asy’ari-Maturidi dalam satu gerbong yang sama, mengingat perbedaan antara keduanya tak menyentuh inti teologi yang dikembangan kedua aliran ini. Ulama mengindentifikasi bahwa perbedaan keduanya hanya pada 13 masalah teologis yang bersifat parsial: 3 permasalah maknawi (terminologis) dan 10 sisanya bersifat lafdzi (etimologis).

Tradisi yang diwariskan oleh Nabi Saw. memang bersifat sangat umum dan karakternya multi-tafsir. Ketika ditanya tentang “siapa kelompok yang selamat?” Nabi Saw. menjawab singkat “Mereka yang berpegang teguh pada ajaranku dan para sahabatku”, dalam riwayat yang lain “Mereka adalah kelompok mayoritas umat”.

Tak ada yang meragukan bahwa Aswaja— dalam pengertian etimologis hadis Nabi Saw.— menjadi sebuah nama istimewa yang harum mewangi. Stigma sebagai representasi penerus sah “generesi terbaik” (kaum salaf) perlu dikonsepsi secara jernih sehingga tak menimbulkan kekacauan.

Identifikasi Metode Aswaja

Secara umum, Aswaja menjadikan 4 sumber pengambilan hukum keagamaan dari Al-Qur’an, hadis Nabi Saw., Ijma (konsensus ulama) dan qiyas (analogi). Ini kemudian mengeluarkan sekte yang mengurangi (seperti Muktazilah yang tidak mengakui Ijma’ sebagai sumber hukum atau mazhab Hasyawiyah-Dzahiri yang mengingkari teori qiyas) atau menambah dan mengurangi (seperti Syiah yang memiliki sumber hukum Al-Qur’an, hadis dan ucapan para imam). Atau yang sering melabrak ijma seperti Taimiyyin (pengikut Ibn Taimiyah-Wahhabiyah).

Keempat unsur di atas tak hanya dijadikan sumber hukum tapi juga sumber ideologi dan etika (bertasawuf). Karena bangunan agama Islam yang terdiri dari tiga unsur: iman, islam, dan ihsan memang tak bisa ditawar.

Keseimbangan Akal dan Teks

Keimanan perspektif Aswaja harus merujuk secara langsung pada wahyu dan pembenaran akal sekaligus. Dominasi salah satunya tak bisa merepresentasikan Aswaja. Keduanya harus seimbang meski sulit diwujudkan.

Metode ulama salaf—sebagai presentasi Aswaja— terungkap dalam empat poin: pertama, menyeimbangkan akal dan teks. Keseimbangan yang dimaksud tak bisa diprosentase secara matematis 50-50, yang penting keseimbangan itu 50 persen ke atas. Kedua, tak berlebihan dalam melakukan takwil dengan tetap merelasikannya dengan kesepakatan gramatika bahasa yang dibakukan dan tak menerjang syariat. Ketiga, menerima semua dalil wahyu: Al-Qur’an, Ijma’, hadis mutawatir (hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang/perawi dan tak mungkin berbohong), menolak hadis ahad (hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi) dalam teologi. Keempat, berpegang teguh pada syariat tanpa memutar balik furu’ (cabang agama) menjadi induk/pokok agama.   

Karakter Umum Aswaja

Islam meliputi akidah, syariat, dan etika-moral. Ulama Aswaja kemudian menyebar dalam masing-masing bidang keilmuan Islam. Ada yang konsentrasi membangun akidah yang sesuai dengan kaum salaf. Para teolog Aswaja ini kemudian menguraikan akidah kaum salaf hingga membentuk sebuah epistemologi ilmu yang utuh, dan di waktu yang sama mereka ikut berkonstribusi membentengi umat Islam dari ideologi destruktif yang berusaha menyelinap masuk.

Beberapa ulama mutaakhirin (yang muncul belakangan) seperti imam Ad-Dardiri (w. 1258 H) menyelidiki konsep teologi yang dibangun ulama-ulama sebelumnya hingga sampai pada kesimpulan bahwa yang paling mendekati kriteria metodologis di atas adalah mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali) dalam syariat, sekte Asy’ari, Maturidi dalam akidah dan suluk sufi ala Al-Juneid dan Al-Ghazali.

DR. Said Faudah, teolog kenamaan abad ini, menolak secara tegas untuk memasukkan Ibn Taimiyah dan pengikutnya ke dalam keluarga Sunni. Menurutnya, terlalu berisiko untuk menyebut mereka sebagai bagian dari keluarga Aswaja, mengingat taksonomi tiga pilar tauhid (tauhid uluhiyah, rububuyah, asma-sifat) yang digagasnya benar-benar berbeda dengan konsep salaf.

Aswaja Moderat dan Anti Takfir

Demi menyempurnakan konsepsi Aswaja dan upaya menghadirkan kembali kesadaran dan nilai luhurnya, ada baiknya penulis menegaskan sebuah teladan yang terekam dalam sepak terjang ulama Sunni-Aswaja. Kekerasan dan teror pemikiran dalam keluarga Sunni secara umum tak pernah dibenarkan. Bahkan saat mereka didukung oleh pihak penguasa, semisal ketika dinasti Saljuk (1038-1157 M) berkuasa di Timur Islam, atau saat dinasti Murabithun (1056-1147 M) berkuasa di Barat Islam, atau saat Ayyubiyah (1174-1342 M) menguasai kawasan Syam dan Mesir.

Beberapa lembaga pendidikan yang secara resmi mengadopsi mazhab Sunni sebagai ideologi tak pernah mencekoki pelajarnya dengan takfir: sebut saja Al-Azhar di Mesir, Qarawin di Maroko, Zaitunah di Tunisia, Darul Mustafa di Yaman, dan hampir semua pesantren di Indonesia.

Kesesuaian teologi Asy’ari-Maturudi dengan tabiat manusia dan masyarakat muslim umumya menjadikan Aswaja diterima oleh mayoritas (As-Sawad Al-A’dzam). Mazhab Maturidi yang sedikit asing bagi warga Islam Indonesia sebenarnya berkembang pesat di kawasan Transaxonia, Turki, Afganistan, India dan sekitarnya.

Meski secara kuantitas pengikut Asy’ari-Maturidi sudah memenuhi salah satu kriteria umum Nabi Saw. sebagai kelompok mayoritas, tapi Aswaja tak lantas semena-mena dalam memberi label lawan ideologisnya. Pengkafiran dihindari sebisa mungkin, meskipun terkait induk agama (ushul). Jadi siapapun yang suka takfir (mengafirkan) maka tidak mewakili Aswaja.

Dari uraian di atas menjadi penting bagaimana bertauhid saja tidak cukup. Sebab moderatisme Islam, keseimbangan memahami agama, dan praktik beragama hanya bisa terlaksana tatkala seseorang belajar Islam metode ala Aswaja (Asy’ari-Maturidi). Ini sudah dibuktikan ribuan tahun, lintas generasi dan negara, ratusan ulama di seluruh dunia dan jutaan umat Islam: Aswaja yang moderat dan anti takfir. Yang disebut sebagai mayoritas (as-sawad al-a’dzam) hanya tergambar dalam diri Aswaja.

Ustadz Abdul Mun’im Cholil, Lc. MA.
(Tim Ahli Akidah & Tasawuf Sanad Media)

Kontributor

  • Redaksi Sanad Media

    Sanad Media adalah sebuah media Islam yang berusaha menghubungkan antara literasi masa lalu, masa kini dan masa depan. Mengampanyekan gerakan pencerahan melalui slogan "membaca sebelum bicara". Kami hadir di website, youtube dan platform media sosial.