Agama adalah suatu sistem kepercayaan dan pengetahuan yang sampai saat ini masih mendominasi dan mengatur eksistensi kehidupan umat manusia. Agama dipandang sebagai instrumen ilahiah untuk memahami dan mengatur dunia.
Negara sekuler sekalipun, tidak bisa menafikan peran dan fungsi agama. Negara-negara Barat yang berlandaskan pada prinsip sekulerisme yang sering diartikan bahwa negara harus dipisahkan dari pengaruh agama, dalam kenyataan historisnya tidaklah demikian.
Pada titik ini dapat dimengerti apa yang dinyatakan oleh Bernard Lewis, “Its purpose was not to establish and enforce religion as a new state doctrine, but rather to preclude the state from any involvement in doctrine and to prevent the upholders of any doctrine from using the coercive powers of the state”. Sekulerisme memang tidak ditujukan untuk memapankan dan menguatkan agama sebagai sebuah doktrin kenegaraan baru, melainkan lebih untuk membatasi campur tangan negara dalam mengurusi doktrin keagamaan, dan menjaga para pemimpin agama dari penyalahgunaan kekuasaan negara.
Dengan demikian nyata bahwa kaitan agama dengan negara memang sesuatu yang universal dan tak terelakkan. Pada satu sisi, agama adalah sistem nilai untuk kebahagiaan umat manusia berdasarkan keimanan kepada Tuhan. Di sisi lain, negara atau sistem politik pada umumnya juga diciptakan untuk mengatur pencapaian kesejahteraan rakyatnya. Di sinilah benang merah hubungan agama dan politik ditemukan.
Kenyataan ini menjadi sangat penting dalam masyarakat beragama, khususnya masyarakat muslim. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa Islam secara doktrin dan realitas kesejarahan merupakan agama dengan prinsip syumuliyah (paradigma holistik), yakni totalitas ajaran yang meliputi keseluruhan aspek kehidupan manusia. Ajaran Islam tidak hanya menyangkut aspek transendental-ketuhanan saja (habl min Allah), melainkan juga mengurusi hal-hal yang menyangkut masalah kemasyarakatan dan tertib sosial (habl min al-nas). Dua sumber pokok umat Islam, kitab suci Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, selalu menyajikan tentang egalitarianisme, toleransi, supremasi hukum, hak dan kewajiban, al-amr bi al-ma’ruf dan nahy an al-munkar, juga yang lainnya.
Hassan Hanafi dengan sangat tepat mengilustrasikan Islam sebagai sebuah kesatuan yang utuh: “the unification of Law and Love, State and Religion, Kingdom of Earth and Kingdom of Heavens”. Ditinjau dari segi makna holistik ini, tak terbantahkan lagi, Islam dari sejak zaman klasik pun selalu dikaitkan dengan politik dan ketatanegaraan. Tradisi politik pertama Nabi yang menyangkut prinsip-prinsip politik Islam yang sering dirujuk adalah al-Sahifah al-Madinah (Piagam Madinah), suatu piagam yang dibuat oleh Nabi untuk mengatur kehidupan masyarakat Madinah yang majemuk terdiri dari beberapa sukubangsa (Aus, Khazraj, dsb) dan agama (Yahudi, Islam, dan sisa-sisa pemuja berhala).
Tentang bagaimana bentuk hubungan Islam dengan negara (sistem politik), maka para ahli hukum Islam pun dari sejak zaman klasik telah berusaha berijtihad merumuskannya Inti dari filsafat politik Islam, yang selama ini terumuskan adalah konsep negara serta fungsinya untuk menjaga agama (baca: syari’ah).
Konsep Politik Islam Klasik
Patut digarisbawahi bahwa adanya ketegangan (sekaligus perpecahan) umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW bermula dari masalah politis, yaitu faktor siapa yang akan menjadi pengganti dan penerus Nabi Muhammad SAW sebagai pemegang otoritas dan kekuasaan atas umat Islam, dan faktor siapa pula yang berwenang menetapkan pemimpin pengganti Nabi tersebut. Muncullah berbagai kelompok politik dalam tubuh umat Islam dengan penafsiran dan sekaligus justifikasinya masing-masing.
Pada masa al-Khulafa’ Ar-Rasyidun-suatu periode kekhilafahan yang biasa dijadikan rujukan masa keemasan saja, umat Islam setidaktidaknya telah terbagi ke dalam tiga kelompok politik; Syi’ah, Khawarij dan Sunni. Terutama Syi’ah dan Sunni, keduanya mempunyai signifikansi politik tertentu di dunia Islam, bahkan sampai era kontemporer.
Doktrin politik yang berkembang di dunia Sunni adalah Khilafah. Ini berbeda dengan di dunia Syiah yang mengenal konsep Imam. Imam al-Mawardi (975-1059 M) merupakan teoritikus yang terkenal melalui tulisannya al-Ahkam al-Sultaniyyah (hukum tata negara) yang secara eksplisit menjelaskan tentang konsep Khilafah. Ia menegaskan bahwa mengangkat pemimpin politik bagi umat dengan peran sebagai khilafah al-nubuwwah fi khirasah al-din wa siyasah al-dunya (penggantian misi Nabi untuk menjaga agama dan mengatur masalah keduniaan) merupakan sebuah kewajiban.
Dalam bahasa politik yang berbeda, Ibnu Taymiyah (1263-1329 M) melihat hubungan agama (Islam) dengan politik ini secara fungsional. Keberadaan kepemimpinan politik dalam Islam semata-mata sebagai amanah an yahkum bi al-adl (amanah untuk menegakkan hukum dengan adil). Ibnu Taymiyah menyebutkan tentang kewajiban adanya kepemimpinan politik ini disebabkan karena la qiyama li al-din ill biha (tidak akan tegak agama tanpa keberadaan negara). Untuk mengatur kemaslahatan dunia, maka mau tak mau sebuah negara diperlukan. Untuk memilih pemimpin politik ini, menurut al-Mawardi, perlu adanya Ahlu al-Ikhtiyar. Yakni, semacam lembaga perwakilan yang bertugas untuk menyeleksi calon-calon pemimpin itu (Ahl Imamah) bagi umat. Dengan demikian, dalam paradigma politik Sunni sangat ditekankan proses musyawarah (syura) yang diharapkan bisa melahirkan suatu kesepakatan politik (ijma’). Dalam tradisi politik Sunni, lembaga syura ini lebih dikenal dengan nama Ahl al-Hall wa al-Aqd.
Tidak cukup dengan adanya ijma’ dalam proses syura, yakni kesepakatan-kesepakatan politik antara para wakil rakyat, tradisi politik Sunni juga menekankan kemestian adanya pengakuan dari umat Islam (rakyat) itu sendiri terhadap kepemimpinan seorang khalifah atau kepala negara. Pengakuan politis ini disebut al-bay’at’. Apabila seorang khalifah telah ditetapkan, maka ia pun mesti membaiat umat. Kesediaan umat untuk dibaiat oleh khalifah menunjukkan bentuk persetujuan politiknya untuk taat dan diperintah oleh yang bersangkutan.
Di kalangan Syiah pun rumusan teori politik Islam tentang ketatanegaraan juga berlangsung. Kaum Muslim Syiah merumuskan teori Imamah, yang menunjukkan Islam sebagai din wa dawlah (agama dan negara). Kemestian bagi seorang imam adalah mendapat predikat (sampai pada tingkat ismah), yakni kesucian dari dosa. Dalam istilah yang lebih terkenal adalah ma’sum, terjaga dari dosa, suatu kategori yang dipercayai hanya bisa dimiliki oleh para keturunan Nabi (ahl bayt dari garis keturunan Ali). Justru konsep ismah inilah sumber legitimasi untuk menjadi imam, yang memimpin agama sekaligus negara.
Bagian 2: Dilema Politik Islam di Era Modern
Bagian 3: Proses Syariah dalam Negara Modern