Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Syekh Nuruddin Al-Raniri, Wayang dan Dewa Ruci

Avatar photo
36
×

Syekh Nuruddin Al-Raniri, Wayang dan Dewa Ruci

Share this article

Suatu ketika, Syekh Nuruddin al-Raniri, ulama Aceh asal India abad ke-17 yang menjadi mufti era Sultan Iskandar Tsani (1636-1641) mengeluarkan fatwa, bahwa tidak saja bentuk wayang dhegul (tiga dimensi) yang dilarang, tapi menurutnya juga cerita dalam pewayangan mengandung banyak kemusyrikan.

Alasannya ialah dalam hikayat atau epos wayang tersebut sangat ditonjolkan peranan dewa-dewa Hindu yang bertentangan dengan akidah Islam. Pendapat ini ia sampaikan di antaranya diambil dari pendapat gurunya, yaitu Sayyid Umar Abu Hafs bin Abdullah Basyeiban yang di India lebih dikenal dengan Sayyid Umar Al-Idrus, khalifah Tariqah Al-Idrus Ba Alawi di India.

Walaupun Syekh Nuruddin berasal dari Rander Gujarat India, namun ia mampu mendapat kepercayaan yang penuh dari salah satu Sultan Aceh. Syekh Nuruddin diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Ranir, India, dan wafat pada 21 September 1658. Pada tahun 1637, ia datang ke Aceh, dan kemudian menjadi penasehat kesultanan di sana hingga tahun 1644.

Ketika resmi menjadi mufti, ia pun menyanggah pendapat dan paham wujudiyah Hamzah Fansuri, dan menulis beberapa kitab. Beberapa di antaranya adalah Asrar Al-Arifin (Rahasia Orang yang Mencapai Pengetahuan Sanubari), Syarab Al-Asyiqin (Minuman Para Kekasih), dan Al-Muntahi (Pencapai Puncak).

Di samping itu, ia juga menulis Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja), Shiratal Mustaqim (Jalan yang Lurus), Darul Fawaid fi Syarah Al ‘Aqaid, Fawaid Al-Bahiyah dan menyanggahajaran Hamzah melalui polemik-polemik terbuka dengan para pengikut wujudiyah.

Baca juga: Seni Rupa Zaman Nabi

Salah satu yang menjadi teman polemik yang keras, menurut penelitian Ahmad Daudy dalam bukunya Allah dan Manusia dalam konsep Syekh Nurrudin Al-Raniniri adalah ulama lokal Aceh, yaitu, Syekh Syaif Arrijal, yang dikenal sebagai pengagum dari Hamzah Fansuri.

Termasuk, salah satu perdebatannya adalah terkait wayang. Dikisahkan, saat berpolemik itu, ia membawa wayang kulit dari Jawa, dan bukan wayang dhegul dari India. Kemudian sedikit menyetir hikayat wayang lakon Dewa Ruci (Nawa Ruci), karya Sunan Kalijaga.

Selain Syekh Nurrudin kaget melihat bentuk modifikasi wayang yang sudah berubah, ia juga kaget saat Syekh Syaif kemudian menqiyaskan kisah pertemuan Werkudara dan Dewa Ruci di tepi samudra itu menyerupai Nabi Musa ketika bertemu dengan Nabi Khidir (QS. Al-Kahfi: 60-80).

Keduanya dalam pandangan Ar-Razi, dalam Tafsir Al-Kabir-nya, adalah titik pertemuan antara nalar kritis-logika dengan nalar intuisi-irfani. Kisah yang menempatkan manusia dalam posisi insan al-kamil.

Baca juga: Polemik Menulis Al-Quran dengan Aksara Latin

Cerita selanjutnya, selain ada permasalahan pribadi dengan Sultanah Safiatuddin, konon dari banyaknya polemik soal hukum Islam di masanya itulah yang membuat ia pulang ke negaranya, India, setelah mengabdi 14 tahun di Aceh.

Hal lain, yang perlu ditegaskan di sini, ternyata dalam satu epos hikayat wayang di atas, tersimpan banyak kearifan, misalnya ketika kita membaca naskah Dewaruci dan Nawaruci, karya agung Kanjeng Sunan Kalijaga. Jadi tahulah kita, kenapa santri (cantrik) perlu memakai sarung, baju berkera dengan lengan panjang sampai ke pergelangan tangan dan kepala ditutup kopyah.

Ajaran itu disisipkan oleh Kanjeng sunan dengan lakon murid Sena Werkudara yang sedang berguru kepada kiyai Durna untuk menguasai ilmu kasunyatan sejati. Perlunya memakai busana santri itu lantaran nasehat Dewa Ruci (Ruhhul Ilahiyah) sebagai tanda bahwa ia adalah cantrik (salik) yang sedang (berupaya) menguasai sinar suci (tinarbuka; ilmu hakikat dan ma’rifat).

Sarung adalah simbol paninggal, penutup aurat terpenting, karena ia berada di antara kelamin dan perut, maka tak cukup hanya sampai bokong jahitannya, bahkan di bagian perut sarung perlu dibebat dengan rapat, itu artinya nafsu kelamin dan perut begitu kuat, karenanya perlu dibebet berulang-ulang sampai kencang, seperti bebetan sarung, agar orang hidup tak tenggelam dengan urusan kelamin dan perut, dan baju perlu berkerak (baju rukmakala) artinya sadar akan bahaya materi.

Kenapa baju? Karena baju adalah lambang kemewahan, dan cantrik perlu awas dan waspada untuk memakai atau menggunakannya. Baju tersebut harus berlengan panjang sampai pergelangan tangan (baju alumah), sebab tangan adalah simbol keperkasaan, kemauan dan kehendak, maka ia tak bisa dibiarkan telanjang dan menjadi penyebab alumah (amarah, membunuh dan berbuat curang).

Tentu saja kopyah atau supiah ditaruh di atas kepala sebagai simbol bahwa orang tersebut pikiran dan hatinya telah suci dan mencapai kasunyatan (mutmainnah.) Dalam berbusana ini Kanjeng Sunan mengapresiasi busana paguron lokal Hindu-Budha, tapi dengan beberapa perubahan, seperti disebutkan, bahwa bagi para calon Sulinggih (Pandita, Bhiksu/ Wiku).

Seperti disebutkan dalam naskah Silakrama tentang Satyabrata dan Amari Wesa, seorang Wiku dalam berpakaian pun harus mengikuti aturan seperti menggunakan kain yang dilipat sampai dada (sampet), memakai baju kain selendang atas (wedihan) dan bagian bawah (dodotan), tanpa jahitan, tanpa kerah dan tanpa lengan panjang, memakai ikat kepala (aketu agung).

Jadi, melihat karya seni menurut Sayed Hossen Nasr, tidak sekadar melihat obyek, tetapi melihat fungsinya. Zaman Nabi, seni patung pernah dilarang, karena memang untuk disembah, begitu juga alat musik, sebagai sarana sihir. Tapi ketika Islam dalam kejayaan (Abbasiyah), tak sedikit ulama terkemuka justru mendirikan akademi-akademi musik dan seni rupa. Ini karena fungsi seni telah berubah, selain masuk dalam cabang ilmu filsafat, fungsinya jutsru untuk mempertajam batin manusia.

Wallahu’lam bishawab.
Bantul, 18 Februari 2022

Kontributor

  • Aguk Irawan

    Seorang sastrawan, budayawan, juga pengasuh pondok pesantren kreatif Baitul Kilmah, Bantul, Yogyakarta.