Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Membantah Neo-Mujassimah tentang Diskursus Kebesaran Tuhan

Avatar photo
27
×

Membantah Neo-Mujassimah tentang Diskursus Kebesaran Tuhan

Share this article

Setiap pembicaraan apa pun tentang Tuhan selalu mengandaikan Tuhan sebagai objek. Dalam hal ini, teori ‘economy of being’ berkata bahwa membicarakan sesuatu senantiasa mengasumsikan kesetaraan antara subjek yang membicarakan dan objek yang dibicarakan.

Jika yang membicarakan adalah manusia dan yang dibicarakan adalah Tuhan, maka keduanya, dalam motif ekonomis, setara agar diskursus dapat terselenggara, dan semestinya memang demikian.

Dengan kata lain, Tuhan sebagai objek selalu diasumsikan sebagai yang ‘dapat-dibicarakan’ dan dengan demikian bukan sama sekali liyan (other) nan asing (alien). Dengan membicarakan Tuhan, secara otomatis kita membicarakan ‘konsep’ (tentang) Tuhan.

Premis-premis di atas penting demi mengetengahkan tema saya di tulisan ini, yakni mengenai klaim-klaim neo-mujassimah tentang Tuhan (baca: Allah Swt.).

Neo-mujassimah (tercakup di dalamnya banyak sekali mazhab formal dalam teologi maupun gerakan) setidaknya mengklaim tiga hal soal Tuhan berkenaan dengan (agar tema tidak melebar) ke-maha-besar-an Tuhan.

Baca juga: Apa Itu Jisim?

“Allah maha besar” adalah ungkapan yang disebut takbir yang selalu dibaca oleh orang Islam di banyak kesempatan, baik ritus maupun non-ritus. Dalam hal ini kaum mujassimah punya beberapa keyakinan yang tertuang dalam proposisi-proposisi berikut ini:

1. Allah itu maha besar dalam arti lebih besar secara ukuran dari makhluk;

2. Tetapi kebesaran Allah berbeda dari kebesaran makhluk, dan dengan demikian konsep ukuran Allah harus dibedakan dari konsep ukuran makhluk;

3. Dan Allah yang di luar arti di atas bukanlah suatu eksistensi, melainkan semata konsep.

Bantahan saya atas premis-premis di atas sebagai berikut:

PREMIS PERTAMA

Ukuran (baik muttashil maupun munfashil) adalah kategori bagi subjek yang bertubuh, berjisim. Seseorang tidak mungkin bisa membandingkan dua ukuran kecuali keduanya memiliki kategori jisim atau kategori yang terkait dengan jisim. Dua pengandaian ini barangkali bisa membantu:

1. Rumah Tono lebih besar daripada rumah Andi.

Dalam perbandingan ini, kita mempostulatkan kategori ukuran bagi benda yang kita sebut rumah. Kant menyebut kategori ini, dalam kerangka epistemologis, sebagai kategori aestetis tentang ruang. Manusia punya pengetahuan apriori tentang ruang, yang dengan pengetahuan ini manusia bisa membedakan ukuran satu benda yang menempati satu ruang dengan ukuran benda lain yang menempati ruang lain. Pengetahuan apriori tentang ruang merupakan pengetahuan bawaan yang tak perlu diusahakan.

2. Mobil Tono melaju lebih cepat dari mobil Andi.

Dalam perbandingan kedua, kita mempostulatkan ukuran kualitatif yang tidak terbendakan (kecepatan), tetapi tetap saja ukuran ini berasal dari dan mengarah kepada benda berjisim (atau berpartikel seperti cahaya).

Baca juga: Jalan Menuju Tuhan dalam Syair Jalaluddin Rumi

Manusia bisa mengetahui suatu kecepatan karena ia memiliki pengetahuan apriori tentang waktu. Tak mungkin ada perbandingan kecepatan kecuali ada waktu (langkah, jam, matahari, dan seterusnya) yang menjadi patokannya.

Jika ukuran adalah jisim atau berasal dari jisim yang menempati ruang dan waktu, maka Tuhan yang diasumsikan lebih besar dalam ukuran daripada semua makhluk, haruslah berupa Tuhan yang berjisim.

PREMIS KEDUA

Ada perbedaan mendasar antara konsep ‘tajsim’ dengan ‘tasybih’. ‘Tajsim’ adalah konsep tentang suatu hal yang berjisim, menempati ruang dan waktu tertentu. Sementara ‘tasybih’ adalah konsep yang boleh jadi tidak mengandaikan adanya jisim.

Mengenai konsep dalam membicarakan Tuhan, setidaknya sampai detik ini, posisi yang saya ambil adalah posisi ‘via paradoksa’. Apa itu? Sikap meletakkan Tuhan di antara ‘tanzih’ dan ‘tasybih’. Penyucian Tuhan dari sifat-sifat makhluk yang tidak pantas (menghalangi kesempurnaan-Nya), haruslah dilakukan. Sementara penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya (atau lebih tepat sebaliknya) merupakan ajaran agar manusia bisa memahami Tuhannya. Tanpa keserupaan ini, jelaslah Tuhan tak mungkin dikenali. Beberapa pakar teologi menyebut keserupaan ini dengan ‘keserupaan nominal’.

Konsep ‘tajsim’ jelas akan menciderai kesempurnaan Tuhan, lantaran tak ada sifat jisim yang layak menjadi kesempurnaan eksistensi apa pun, lebih-lebih Tuhan. Jisim pasti lenyap, senantiasa berubah, tergantung, dependen, labil. Mengatakan bahwa jisim Tuhan berbeda dengan makhluk sama saja mengatakan A bukan A, karena nyatanya konsep A1(jisim Tuhan) adalah konsep A2 (jisim makhluk) per se.

PREMIS KETIGA

Kesalahan paling fatal dalam premis ketiga adalah mengatakan bahwa segala sesuatu yang tanpa ukuran (fisik) sama saja non-eksis. Agaknya kaum mujassimah tidak paham soal apa itu eksistensi.

Setiap kategori negatif adalah hasil dari pikiran manusia. Premis ini saya adopsi dari Sartre dan Badawi (dua pemikir eksistensialisme yang getol membahas ‘adam/nothingness/ketiadaan). Kategori negatif (bukan-sesuatu) adalah superfisial ditinjau dari yang-eksis. Mengatakan bahwa Tuhan yang non-ukuran adalah Tuhan yang non-eksis, dan kemudian Tuhan konseptual, merupakan penegasian yang lahir dari pikiran yang konseptual (dan dengan begitu spekulatif dalam artinya yang luas).

Membicarakan Tuhan, seperti yang sudah saya sitir di atas, adalah meletakkan Tuhan sebagai konsep. Ditambah membicarakan sifat negatif (salbiyyat) dari Tuhan; maka Tuhan yang sedang dinegasikan oleh kaum mujassimah sebagai ‘bukan-begini’ maupun ‘bukan-begitu’ tak lain lebih konseptual daripada membicarakan Tuhan secara positif.

Baca juga: Alasan Semesta Tiada Jika Tuhan Tak Esa

Maka, saya katakan:

1. Tidak ada diskursus apa pun yang tidak mempostulatkan objek kajiannya sebagai suatu konsep. Tuhan, dalam hal ini, adalah objek ilmu pengetahuan, yang tidak lain, adalah ia sebagai wujud yang niscaya (wajib al-wujud). Wujud yang niscaya, yang kita sebut Tuhan dalam percakapan sehari-hari, adalah konsep Tuhan. Ia menjadi objek pikiran.

2. Sementara itu, Tuhan sebagai objek iman sama sekali bukanlah Tuhan yang diandaikan dalam konsep. Dia-lah yang maha tak terkatakan. Dia-lah yang jauh sekaligus dekat, asing sekaligus akrab. Dia-lah yang ingin disembah seolah-olah kita melihat-Nya. Atau, jika kita tak mampu, Dia-lah yang ingin disembah oleh kita yang senantiasa yakin bahwa Dia melihat kita, di mana saja, dan kapan pun itu.

Kontributor

  • M.S. Arifin

    M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.