Gerhana Matahari maupun Gerhana Bulan merupakan dua fenomena alam yang sangat menakjubkan. Menakjubkannya tidak lain karena munculnya yang sangat jarang dan karena mampu mengubah kondisi alam menjadi berbalik 180 derajat sebagaimana awalnya.
Gerhana Matahari mampu merubah kondisi siang menjadi seperti malam gelap karena adanya bulan yang menutupi cahaya matahari. Fenomena ini mampu menimbulkan beragam reaksi dari makhluk hidup di bumi, terutama manusia itu sendiri. Dan ragam reaksi tersebut secara tidak langsung menciptakan sebuah ruang keilmuwan yang terus dikaji hingga sekarang.
Dengan sifatnya yang terus ingin tahu, manusia mencoba berbagai cara untuk bisa mengetahui terjadinya gerhana. Bahkan dalam catatan sejarah, perkembangan alat prediksi gerhana sudah dimulai dari zaman prasejarah, yakni dengan ditemukannya situs bernama Stonehenge (pola lingkaran batu tegak yang berada di dalam lingkup tembok tanah) yang diklaim mampu memprediksi terjadinya gerhana.
Kemudian ditemukannya mekanik bernama Antikythera, sebuah alat yang mampu melacak gerhana dengan menggunakan kombinasi tiga siklus pergerakan bulan, yaitu siklus sinodis, anomali dan drakonis. Siklus sinodis adalah orbit bulan dari new moon ke new moon berikutnya yang memerlukan waktu sekitar 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik. Siklus anomali yaitu orbit bulan dari perige (jarak terdekat) ke perige berikutnya sekitar 27 hari 13 jam 18 menit 33 detik. Sedangkan siklus drakonis adalah orbit bulan dari titik node ke titik node berikutnya sekitar 27 hari 5 jam 5 menit 36 detik. Tiga siklus inilah yang membentuk harmoni terjadinya siklus saros pada tiap 18 tahun 11 hari 8 jam dan digunakan sebagai satu metode termudah melacak gerhana.
Kemudian ketika Islam hadir dengan motivasi keilmuwannya yang sangat luas mampu memandu peradaban manusia menjadi lebih baik. Beragam alat bantu pun bermunculan untuk bisa mengetahui kapan gerhana bisa terjadi meski untuk tahun yang jauh ke depan.
Pada abad ke-9, ilmuwan muslim berhasil membuat alat bernama Equatorium, yaitu sebuah instrumen yang dikonsep untuk menghitung posisi planet di masa lampau maupun masa mendatang.
Dalam beberapa literature Islam, ada beberapa sumber yang pernah dimiliki peradaban Islam namun belum dipublikasikan. Semuanya dikatakan sebagai deskripsi awal tentang penjelasan kondisi gerhana. Teks pertama ditulis oleh Ali ibn Isa (abad ke-9) yang mendeskripsikan astrolabe khusus untuk simulasi fase bulan dan gerhana. Teks berikutnya menjelaskan instrumen yang serupa namun dengan design yang berbeda yang ditemukan oleh Muhammad bin Muhammad Nastulus al-Asturlabi pada tahun 893/894 CE.
Teks Ali ibn Isa berjudul Risala fi ibtal sina’at ahkam al-nujum, namun tidak diketahui manuskripnya. Kitab lainnya adalah Risala fi ma’rifat al-‘amal bil-safiha al-qamariyya wal hujra al-kusufiyya. Kedua teks di atas berisi tata cara penggunaan instrumen untuk prediksi gerhana. Disebutkannya lagi, instrumen yang dibuat oleh Ali ibn Isa tersebut hanya untuk visualisasi bukan kalkulasi (perhitungan), sehingga tingkat presisinya tidak terlalu dipikirkan (akurasi kasar). Sedangkan informasi instrumen gerhana milik Muhammad ibn Muhammad Nastulus al-Asturlabi tercatat pada sebuah manuskrip tunggal yang tersmipan di Mumbai, India dengan judul Epistle on The Practice of Using the Plane Lunar Astrolabe. Kitab ini hanya menjelaskan penggunaan instrumen tidak sampai pada konstruksinya. Nastulus sendiri dikenal sebagai pembuat astrolabe handal bahkan Al-Biruni menyebutnya sebagai penemu konsep piringan gerhana.
Pada awal abad ke-10, ada ilmuwan bernama al-Sufi (903–986 CE) yang membuat sebuah buku tentang astrolabe. Bukunya menjelaskan tentang instruksi bagaimana cara menemukan gerhana menggunakan tabel astronomi dan astrolabe standar. Kemudian ilmuwan bernama al-Biruni (973 – 1048 CE) membuat sebuah buku tentang astrolabe yang dua bagian babnya menjelaskan tentang kotak bulan dan piringan gerhana. Pada uraian piringan gerhana, al-Biruni menyebut tiga ilmuwan islam yang dinobatkan sebagai penemu piringan gerhana, yaitu: Nastulus al-Asturlabi, al-Hasan ibn Muhammad al-Adami dan Utarid ibn Muhammad al-Hasib. Kitab yang disusun al-Biruni ini lebih detail dan presisi dari pada karya milik Nastulus.
Selang beberapa abad, instrumen Equatorium mampu dikembangkan lebih baik pada abad ke-14 oleh Jamshid al-Kashi (1380 – 1429), ilmuwan muslim yang bekerja di Observatorium milik Ulugh Beg di Samarkand. Dia mengembangkan instrumen tersebut sehingga bisa menentukan posisi lintang Bulan dan Matahari sebenarnya, jarak, serta equation planet.
Al-Kashi mampu menjelaskan dengan rinci satu konsep piringan (komponen) instrumen untuk memecahkan masalah geometri yang digunakan untuk menghitung nilai magnitude dan durasi gerhana. Namun sangat disayangkan, instrumen–instrumen gerhana tersebut sangat jarang diketahui cara penggunaannya bahkan bisa dikatakan banyak umat Islam yang tidak mengetahuinya, termasuk belum sampai ke Indonesia.
Barulah pada tahun 2019, melalui penelitian bidang ilmu falak. Penulis yang saat itu merupakan mahasiswa pascasarjana ilmu falak di UIN Walisongo Semarang mengembangkan instrumen gerhana yang pernah dibuat oleh ilmuwan Perancis bernama Philippe De La Hire. Dalam pengembangannya, penulis mampu menjadikan kualitas instrumen gerhana tersebut menjadi lebih baik secara penggunaanya serta lebih mudah dipahami dan cepat digunakan. Alat itu penulis namakan dengan Volvelle Inovasi karena memang bersumber dari Volvelle milik ilmuwan Perancis abad ke-16 bernama Philippe De La Hire. Menurut penulis, instrumen gerhana ini merupakan satu-satunya yang ada di Indonesia.
Gambar 1 : (Kiri) Instrumen Volvelle karya Philippe De La Hire dalam bukunya berjudul Tabulae Astronomicae Ludovici Magni Iussu Et Munificentia Exaratae.
Volvelle Inovasi sebagaimana pada gambar di bawah merupakan hasil pengembangan total yang dijadikan tema penelitian tesis dengan judul Inovasi Volvelle Philippe De La Hire dalam Penentuan Waktu Gerhana. Terdiri dari enam komponen, yaitu ; piringan kalender, piringan hari, piringan pasaran, piringan bulan, piringan epoch dan ruler atau penggaris. Fungsi utama instrumen ini adalah untuk prediksi gerhana matahari dan bulan dengan cara yang sangat cepat dan mudah. Sangat cepatnya karena pengguna hanya perlu melakukan dua langkah putar untuk bisa mengetahui seluruh gerhana dalam suatu tahun. Hingga detik ini, Volvelle Inovasi sudah dikembangkan menjadi empat macam sebagaimana gambar berikut.
Gambar 2 : Instrumen Volvelle Inovasi yang khusus digunakan untuk prediksi gerhana. dikembangkan oleh penulis.
Definisi keempat instrumen gerhana di atas adalah:
Pertama, Volvelle Inovasi Basic merupakan instrumen awal yang berhasil dibuat pada tahun 2019. Fungsinya untuk prediksi gerhana selama satu tahun dan mampu digunakan untuk kalender hingga tahun 2100 M.
Kedua, Volvelle Inovasi Koreksi merupakan instrumen yang digunakan untuk mengoreksi (memperhalus) data jam gerhana yang dihasilkan oleh Volvelle Inovasi Basic.
Ketiga, Volvelle Inovasi SSE merupakan kepanjangan dari Special Solar Eclipse yang bisa dipahami bahwa insrumen ini khusus digunakan untuk prediksi gerhana matahari. bedanya dengan Volvelle jenis pertama adalah pada fitu jenis gerhana dimana hanya terdapat di jenis ketiga ini.
Keempat, Volvelle Inovasi SLE merupakan pengembangan terakhir yang dibuat pada tahun 2021. Merupakan kepanjangan dari Special Lunar Eclipse yang bisa dipahami bahwa instrumen ini khusus untuk prediksi gerhana bulan. Memiliki fitur jenis gerhana.
Demikianlah deretan instrumen gerhana yang pernah dimiliki oleh peradaban Islam pada dari awal hingga abad pertengahan. Bisa kita simpulkan bahwa ilmuwan muslim terakhir yang terlacak memiliki instrumen gerhana adalah Jamshid al-Kashi pada abad ke-14 kemudian muncul kembali pada 2019. Namun demikian, dari semua jenis di atas, kiranya Volvelle ini yang masih eksis dan mudah dipelajari serta digunakan saat ini. Dan menjadi penerus estafet instrumen prediksi gerhana dari Indonesia.