Jiwa masih menjadi topik yang menarik dikaji dan diteliti oleh ilmuan barat, dengan maksud mengetahui hubungan jiwa dengan perilaku melalui berbagai teori dan metodologi.
Kebanyakan dari mereka dalam mengkaji jiwa tidak berlandaskan agama. Jiwa dalam pandangan Islam sendiri telah dibahas secara mendetail oleh para ulama, filsuf dan sufi. Salah satu tokoh terkemuka Islam yang membahas kejiwaan atau psikologi ialah Ibnu Sina. Sedangkan tokoh terkemuka Barat dalam dunia psikologi sekaligus pencetus teori psikoanalisa ialah Sigmund Freud.
Baik Ibnu Sina maupun Sigmund Freud memiliki pemikiran tentang jiwa manusia secara detail sesuai latar belakang masing-masing. Ibnu Sina dengan teori psikologinya tentang jiwa dengan perspektif tasawuf, dan Sigmund Freud dengan teori psikologinya sesuai perspektif barat.
Jiwa Perspektif Ibnu Sina
Jiwa adalah kesempurnaan awal bagi jasad, unsur pertama sehingga manusia mampu bergerak. Jiwa adalah wujud rohaniah yang berbeda dengan jasad, ia merupakan wujud imater, tak berbentuk yang berada di dalam tubuh.
Ibnu Sina membagi jiwa ke dalam tiga bagian. Pertama, jiwa nabati yang memiliki tiga potensi daya (daya makan, daya tumbuh, dan daya berkembang/reproduksi). Kedua, jiwa hewani yang memiliki dua potensi daya (daya penggerak, daya tarik hasrat). Dan ketiga, jiwa insani (manusia) yang memiliki dua potensi daya (daya praktis dan daya teoritis).[1]
Ibnu Sina berpandangan bahwasanya jiwa merupakan kesempurnaan bagi fisik yang memiliki potensi kehidupan, yaitu yang akan hidup dengan pertumbuhan dan akan hidup dengan makanan. Ia juga akan hidup dengan penginderaan dan penggerakan sekaligus dalam fakultasnya (fakultas jiwa).[2] Ia juga berpendapat bahwa jiwa itu kekal, tak akan binasa setelah kematian jasad, dan tak pula hancur setelah berpisah dari jasad. Sebab, substansi jiwa manusia lebih kuat daripada substansi jasadnya, karena jiwa penggerak, pengatur, dan pengendali jasad.[3]
Lebih lanjut Ibnu Sina berpandangan bahwa substansi jiwa tidak membutuhkan jasad. Ketika jasad mati dan hancur, substansi jiwa akan terbebas dari subyek jasad. Jika jiwa sempurna karena ilmu, hikmah dan amal sholeh, maka ia akan menuju kepada cahaya ilahi, cahaya malaikat, dan golongan manusia tertinggi. Ketika itu terjadi, maka tercurahlah ketenangan dan ketentraman dalam jiwa, kemudian ia dipanggil kesisi yang paling tinggi,[4] “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai. Lalu, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. Al-Fajr: 27-30)
Jiwa Perspektif Sigmund Freud
Sedangkan Sigmund Freud memandang jiwa manusia dengan tiga tingkat, yaitu: alam sadar, alam bawah sadar dan alam prasadar. Ketiga tingkat itu merupakan penggerak yang memunculkan tingkah laku manusia. Dialektika antara kesadaran dan ketidaksadaran ini dijelaskan Sigmund Freud ke dalam tiga sistem kejiwaan, yaitu id, ego dan superego.
Purwa Atmaja Prawira di dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Kepribadian dengan Perspektif Baru”, memaparkan penjelasan Sigmund freud bahwa jiwa terdiri dari tiga sistem, yaitu id, ego, dan super ego. Dari sisi lain jiwa terdiri dari tiga sistem kesadaran, yaitu the conciousness (kesadaran), the preconsciousness (bawah sadar), dan the unconsciousness (ketidaksadaran).
Freud berpendapat bahwa pusat tingkah laku adalah the consciousness (kesadaran). Sigmund Freud menggambarkan jiwa manusia itu seperti sebuah gunung es yang berada di tengah laut. Seperti yang kita ketahui bahwa yang terlihat dari permukaan laut hanyalah sebagian kecilnya saja dari gunung es tersebut, yaitu bagian puncaknya. Begitupun juga dengan jiwa manusia yang terlihat dari luar hanya sebagian kecilnya saja, yaitu Alam Kesadaran. Sedangkan bagian terbesar yang berada di bawah permukaan laut itu tidak dapat kita lihat dari luar dan ini merupakan Alam Ketidaksadaran pada diri manusia.[5]
Antara Kesadaran dan Ketidaksadaran terdapat suatu perbatasan yang disebut Prakesadaran. Dorongan yang ada di dalam alam pra kesadaran ini suatu saat akan muncul ke dalam alam kesadaran. Bagi Sigmund Freud segala bentuk tingkah laku manusia bersumber pada dorongan-dorongan dari alam ketidaksadaran (Unconsciousness). Dialektika antara kesadaran dan ketidaksadaran ini dijelaskan Sigmund Freud dalam tiga sistem kejiwaan, diantaranya: id, ego, dan Superego.
Persamaan konsep jiwa menurut Ibnu Sina dan Sigmund Freud dalam mengatur tingkah laku manusia, antara lain adanya jiwa insani dan superego yang dapat mengarahkan manusia untuk berperilaku dengan baik sesuai norma yang berlaku di masyarakat.
Sedangkan perbedaan konsep jiwa dari kedua tokoh tersebut, di antaranya Ibnu Sina menyatakan sifat seseorang itu bergantung kepada jiwanya, sedangkan Sigmund Freud menilai bahwa sifat seseorang itu bersumber pada dorongan alam bawah sadarnya.
[1] Ibnu Sina, “Psikologi Ibnu Sina”, Terj. M.S. Nasrulloh, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2009), h. 63.
[2] Ibnu Sina, “Psikologi Ibnu Sin”, h. 62.
[3] Ibnu Sina, “Psikologi Ibnu Sina”, h. 186.
[4] Ibnu Sina, “Psikologi Ibnu Sina”, h. 187.
[5] Purwa Atmaja Prawira, “Psikologi Kepribadian dengan Perspektif Baru”, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 185-186.