Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Beratnya Menjadi Kritikus Hadits, Ini Syarat-syaratnya

Avatar photo
38
×

Beratnya Menjadi Kritikus Hadits, Ini Syarat-syaratnya

Share this article

Salah satu pembahasan penting dalam ilmu hadits adalah ilmu kritik. Titik pembahasannya adalah menguji validitas suatu hadits. Oleh karenanya ini tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang, apalagi hanya sebatas menggunakan analogi atau hawa nafsu, hasilnya akan menjadi negatif.

Dalam ilmu kritik hadits ini yang akan dikaji adalah para periwayat, apakah orang yang meriwayatkan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, atau justru terdapat celah sehingga menimbulkan kecurigaan dalam periwayatan.

Dari sini kita memahami betapa beratnya menjadi seorang kritikus hadits. Bukan apa-apa, pertaruhannya adalah nama baik seorang perawi. Jika dinilai buruk, maka orang-orang juga ikut memandang buruk, begitu juga jika dinilai baik. Semuanya di tangan seorang kritikus, dia diikuti oleh orang lain karena memang derajat kritikus ini sulit untuk digapai, dan hanya ditempati oleh orang yang sudah memenuhi syarat-syarat yang sangat ketat.

Jika periwayat hadits jumlahnya ribuan, maka kritikus ini mungkin masih bisa dihitung oleh jari. Menurut DR. Khaldun Al-Ahdab, ada dua sebab kenapa kritikus ini sangat langka. Pertama, beratnya tanggung jawab yang diemban oleh seorang kritikus. Kedua, sulitnya memenuhi syarat untuk menjadi seorang kritikus.

Syarat Menjadi Kritikus Hadits

Al-Imam Al-Hafidz Adz-Dzahabi (w. 748 H) seorang ulama yang dijuluki sebagai pemimpinya para kritikus (Imam An-Nuqad) dalam kitab Tazkirah Al-Huffadz menyebutkan hal-hal yang diperlukan untuk menjadi seorang kritikus, antara lain:

1. ‘Adalah dan ulung dalam ilmu hadits.

‘Adalah sendiri diartikan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sebagai suatu kemampuan yang kuat yang menjadikan pemiliknya untuk terus menerus bertakwa kepada Allah, serta menjaga diri dari hal yang tidak layak dari segi moral.

Syarat pertama ini adalah syarat terpenting untuk menjadi seorang kritikus. Karena orang yang sudah dinilai tidak memiliki sifat tersebut ucapannya tidak akan dipercaya, karena memiliki potensi besar berbohong dan menuduh tanpa bukti.

Imam Ibnu Hibban dalam kitab al-Tsiqat dengan tegas menyatakan, “Hal yang sangat mustahil adalah menuduh orang yang terpercaya dengan ucapan orang yang ucapannya tidak bisa dipercaya.”

Cara menilai seorang periwayat memiliki sifat ini bukanlah dengan penilaian pribadi kita sendiri, melainkan dengan melihat pandangan para ulama yang mengerti tentang biografi mereka serta selak beluk para rawi dengan detail.

Baca juga: Kejeniusan Imam Al-Bukhari Amirul Mukminin dalam Ilmu Hadits

Sebagai contoh, lihat saat Imam Adz-Dzahabi pemimpin kritikus hadits yang disebutkan di awal, dalam kitab Mizan Al-‘Itidal menulis biografi Aban bin Ishaq Al-Madani. Imam Adz-Dzahabi menilai, “Ibnu Ma’in serta beberapa yang lain menilai hadits Aban tidak bisa ditolerir. Sedangakan Abu Al-Fath Al-Azdi menilai haditsnya matruk. Adapun menurutku haditsnya masih bisa ditoleransi sebab Imam Ahmad bin Hanbal dan Al-‘Ijli menilainya sebagai perawi yang tsiqah.”

Melihat bagaimana Imam Adz-Dzahabi menilai seorang perawi kita akan menarik kesimpulan bahwa untuk menilai kita harus membaca berbagai literatur agar dapat menyimpulkan sebuah hasil.

2. Pengetahuan yang luas.

Seorang yang ingin mengkritik tentu perlu pemahaman yang dalam terhadap ilmu hadits, tapi tidak hanya itu. Kritikus harus faham berbagai macam perselisihan ulama fiqih, agar tidak mudah menyalahkan amaliah seseorang, dan dirinya lebih leluasa menerima perbedaan. Kritikus juga harus faham ilmu teologi, faham apa saja akidah yang dianggap bid’ah; seperti Mu’tazilah, Murjiah, dll. Tujuannya agar mengerti bid’ah seperti apa yang ditolak dalam periwayatan hadits.

Karena biasanya orang yang menilai kertas ujian adalah seorang guru yang telah memahami soal dan jawaban, memahami celah dan kelebihan jawaban yang ditulis oleh muridnya. Begitu juga kritikus, ia harus faham secara detail dengan apa yang diriwayatkan oleh para periwat, bacaannya harus luas sehingga tidak ada sedikitpun titik yang tertinggal.

Sesuai dengan syarat ini, ada sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam kitab Al-Kifayah fi ‘ilm Al-Riwayah yang bersumber dari Al-Imam Abi Al-Abbas Ahmad bin Ali Al-Abbar (w. 290 H) beliau bercerita:

Dahulu saya pernah melihat seseorang di Ahwaz (nama kota di Iran) seseorang yang baru saja membeli banyak kitab dan sudah siap duduk untuk memberi fatwa. Dia pun menyebutkan beberapa ahli hadits dan serta merta memberikan nilai, ia berkata, “Mereka itu bukan apa-apa dan tidak setara dengan apa-apa.”

Baca juga: Memahami Sabda Nabi “Inilah Sunnahku”

Mendengar itu saya terkejut dan berkata, “Kamu shalat saja tidak mumpuni, kok beraninya menilai ahli hadits seperti itu!”

“Saya?” dia berusaha meyakinkan.

“Iya, kamu.” saya memastikan. “Apa yang kamu hafal riwayat dari Rasulullah tentang bacaan shalat setelah takbiratul ihram? Apa yang kamu hafal riwayat dari Rasulullah tentang bacaan saat ruku’ dan sujud?” Saya mencoba memberikan argumentasi, dan semua pertanyaan hanya mendapatkan diam sebagai jawaban.

Saya melanjutkan, “Kenapa kamu tidak bicara dan menjawab, bukankah sudah saya bilang kalau kamu belum bisa shalat? Kamu hanya tau shalat Subuh dua rakaat dan Zuhur 4 rakaat. Lebih baik kamu diam dari pada memberikan nilai seperti itu kepada para ahli hadits.”

3. Kehati-hatian yang sangat tinggi.

Orang yang teledor memberikan penilaian, hakikatnya hanya mencaci dirinya sendiri. Kehati-hatian mereka dalam menilai tidak membuat sekat antara para kritikus dengan keluarganya. Bahkan kita akan melihat seorang ayah yang memberikan nilai pada anaknya, misal Imam Abu Daud yang menilai anaknya seorang pendusta sehingga tidak bisa diterima riwayat haditsnya. Ada juga yang memberikan nilai sesama saudaranya, misal Zaid bin Abi Unaisah yang menilai bahwa saudaranya Yahya pernah berdusta sehingga haditsnya tidak bisa diterima.

Terlihat betapa hati-hatinya para kritikus saat meriwayatkan hadits, sehingga keluarganya pun tidak luput dari penilaian. Namun sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa mereka yang menilai sudah layak dan memiliki kemampuan yang mumpuni.

4. Mengerti hal-hal yang dapat memberikan nilai baik dan nilai buruk pada seorang rawi.

Poin ini penting karena ada batasan-batasan saat menilai. Jadi tidak ada unsur fanatisme atau akal-akalan dalam memilai. Point-point secara detail dibahas dalam buku-buku jarh wa ta’dil.

5. Paham betul tentang penggunaan lafadz dalam bahasa Arab.

Bahasa Arab sangatlah luas, bahkan setiap daerah memiliki aksen dan dialek yang berbeda. Bahkan terkadang, kita akan menemukan setiap daerah memberikan definisi yang berbeda pada sebuah kata.

Misalnya kalimat (كذب), menurut Imam Ibnu Hibban, kata yang kita artikan sebagai bohong itu, menurut penduduk Hijaz digunakan saat seseorang melakukan kesalahan. Jadi jika ada yang melakukan kesalahan mereka akan mengatakan: (كذب فلان).

Baca juga: Mengenang Kesabaran Sayyidah Aisyah dalam Peristiwa Hadits Ifk

Hal ini dipraktikkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar saat menanggapi penilaian Ibnu Abi Hatim saat menulis biografi Junadah bin Marwan Al-Himshi. Beliau mengatakan:

ليس بقوي، أخشى أن يكون كذب في حديث عبد الله بن يسر.

“Dia tidaklah kuat, aku takut ia telah melakukan kesalahan (كذب) pada hadits Abdullah bin Yusr.”

Dalam Lisan Al-Mizan, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menerjemahkan kata (كذب) dengan melakukan kesalahan, bukan berbohong. Contoh yang lain akan sangat mudah kita temukan di berbagai kasus dalam penggunaan bahasa ini.

Oleh karenanya, jika kita hanya mengandalkan akal pikiran saja dalam membaca literatur klasik, kemungkinan salahnya sangatlah besar.

Dengan mengetahui syarat-syarat menjadi kritikus hadits ini, kita akan lebih bijak melihat orang-orang di luar yang dengan seenaknya menilai para perawi hadits, atau bahkan memberikan nilai pada sahabat dengan sesuatu yang tidak layak. Jika itu terjadi, kita bisa cocokkan, apakah dia telah sesuai dengan kriteria seorang kritikus? Atau hanya sebatas orang yang ingin terlihat open minded dengan banyak mengkritik tanpa dasar yang kuat?

16 November 2021.

Baca tulisan menarik lainnya tentang hadits di sini.

Kontributor

  • Fahrizal Fadil

    Mahasiswa Indonesia di Mesir, asal dari Aceh. Saat ini menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Fakultas Bahasa dan Sastra Arab. Aktif menulis di Pena Azhary. Suka kopi dan diskusi kitab-kitab turats.