Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Asal-usul Ijtihad Sahabat serta Hikmah di Baliknya

Avatar photo
164
×

Asal-usul Ijtihad Sahabat serta Hikmah di Baliknya

Share this article

Banyak yang beranggapan bahwa praktik ijtihad baru dilakukan setelah wafatnya baginda Nabi Muhammad Saw. Mereka berdalih, bagaimana mungkin seorang Sahabat melakukan ijtihad, sedangkan di tengah-tengah mereka terdapat seorang Nabi Saw yang dapat dimintai fatwa kapan saja mereka mau?.

Muhammad Ali As Sayis (w. 1396 H/1976 M) dalam kitabnya “Nas’at Al Fiqh Al Ijtihady wa Athwarih”, menyebutkan bahwasanya praktik ijtihad sudah ada sejak munculnya agama Islam itu sendiri, bahkan Nabi sendirilah yang memberi izin praktik tersebut. Hal tersebut diperkuat dengan kisah Muadz bin Jabal ketika hendak diutus menjadi delegasi ke tanah Yaman. Pada saat itu Nabi Saw bertanya kepada Muadz, dengan apa kelak ia merumuskan sebuah permasalahan, ketika permasalahan tersebut tidak dujumpai di dalam Al Quran maupun Hadis, yang seketika dijawab oleh Muadz dengan kata “Berijtihad”. Alih-alih mendapat kecaman, justru Nabi Muhammad Saw mengiyakan jawaban tersebut, bahkan sampai mengapresiasinya dengan ungkapan “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk terhadap utusan Rasulullah menuju apa yang diridhoi oleh Allah dan Rasul-nya”. 

Dari kisah di muka, mungkin masih sedikit menyisakan tanda tanya di benak kita, “Mengapa para Sahabat begitu peliknya melakukan ijtihad?.” Bukan kah di tengah mereka terdapat “Seorang Nabi, penerima wahyu ilahi yang dapat mereka tanyai kapan saja mereka mau?”.

Untuk mengurai pertanyaan di muka, sebaiknya kita terlebih dahulu mengetahui seperti apa ijtihad Sahabat di era kenabian itu. Dan apakah, ia legal dijadikan sebagai sumber hukum islam atau tidak.

Masih menurut As Sayis, secara garis besar, ijtihad Sahabat di era turunnya wahyu (Tanzil) terjadi dikarenakan dua hal:

Pertama, jauhnya jarak antara Sahabat dengan Nabi Muhammad Saw. Sebab tidak semua Sahabat tinggal berdekatan dengan Nabi Saw.

Kedua, takut hilangnya momentum. Mengingat pada saat itu, Islam merupakan agama baru yang secara otomatis dituntut memberikan solusi dengan cepat dan tepat, agar simpulannya dapat mengetuk hati orang-orang yang belum memeluk agama Islam, atau semakin meneguhkan hati pemeluknya itu sendiri.

Namun, perlu digarisbawahi, bahwa ijtihad Sahabat di masa kenabian tidak dapat mencetuskan produk hukum apa pun (At Tasyri’ Al islamy) secara mandiri – tanpa proses validasi dari Al Quran dan Hadis – sebab ijtihad tersebut pada akhirnya akan diverifikasi langsung oleh Nabi Saw. Jika benar, Nabi akan membenarkannya (Ikrar), dan jika salah, Nabi pun akan menjelaskan di mana letak kesalahannya. Lantaran, Nabi, tidak mungkin membenarkan sesuatu yang salah, dan menyalahkan sesuatu yang benar, sebab ikrar seorang Nabi menempati kedudukan Hadis.

Selain itu, ijtihad Sahabat di era kenabian mempunyai beberapa hikmah, diantaranya:

Nabi Saw ingin mengajarkan para Sahabatnya ihwal metodologi penggalian hukum (Istinbath Al hukm) dengan pendekatan dalil-dalil universal (Kulliyah) yang termaktub di dalam Al Quran dan Hadis, agar generasi setelahnya (Fakih) dapat mempraktikkannya juga dengan baik dan benar, hingga menumbuhkan bakat dalam merumuskan hukum fikih (Malakah Fiqhiyyah) yang peka terhadap realitas, serta selalu relevan di setiap tempat, waktu, dan kondisi. Sebab nas – baik berupa Al Quran maupun Hadis⎯yang menjadi sumber utama rujukan syariat Islam sangat terbatas. Sedangkan, dinamika kehidupan selalu berkembang dan berevolusi di setiap era dan zamannya – hingga hari kiamat kelak. Sehingga, tidak mungkin sesuatu yang terbatas (nas) dapat menjawab sesuatu yang tidak terbatas (problematik umat). Oleh karenanya, mayoritas ayat Al Quran atau Hadis yang berkaitan dengan hukum Islam selalu menyertakan alasan (I’llat), seta rahasia (Hikmah) dibalik pengsyariatannya.

Lalu, mengapa Islam yang notabenenya menjadi syariat terakhir dan kekal hingga akhir zaman nanti, sumber utama hukumnya (Al Quran dan Hadis) hanya sebatas dalil universal saja? Mengapa Islam tidak hadir sekaligus dengan dalil parsialnya, sehingga para Fukaha, mulai era Sahabat, Tabiin, dan para pendiri Mazhab tidak perlu repot-repot melakukan ritual ijtihad?

Perlu diketahui, dalam syariat Islam – secara garis besar – dalil terbagi menjadi dua. Ada dalil universal (Kully) dan ada dalil Parsial (Juz’i). Keduanya memiliki katakteristik yang berbeda satu sama lainnya.

Dalil Kully sendiri, memiliki karakteristik stabil (Tsabit), dalam artian maslahatnya selalu ada dan tidak akan berubah dalam kondisi atau situasi apa pun. Sementara itu, dalil Juz’i karakteristiknya bersifat dinamis, dalam artian, nilai kemaslahatannya ditentukan oleh realitas saat seorang Fakih merumuskan hukum itu sendiri. Oleh karenanya, nilai maslahatnya selalu berbeda di setiap era, bergantung dengan kondisi manusia, adat istiadat, serta tempat dan waktunya. Bisa jadi, hukum yang dulunya dilarang sebab tidak wujudnya maslahat, berubah sebab wujudnya maslahat di era saat ini atau pun yang akan datang – sebagaimana hukum-hukum dalam permasalahan kontemporer.

Oleh sebab itu, dalam menentukan sebuah hukum fikih, seorang Fakih, selain dituntut memiliki kecerdasaan intelektual yang mumpuni, cakrawala yang luas, serta kecakapan dalam membaca dan memahami nas, ia juga dituntut tanggap dan cermat dalam menganalisis fenomena kehidupan– sebagaimana yang telah diajarkan oleh Generasi Fukaha Abad pertama – hingga ia selalu kontinu dalam merumuskan hukum fikih yang selalu relevan dengan zaman (Fiqh Sadid). Bahkan Ibn Al Qayyim (w. 751 H/1350 M) dalam kitabnya “A’lam Al Muwaqqi’in” mengatakan: “Barang siapa yang memberikan fatwa hanya bermodalkan menukil dari pelbagai kitab, tanpa memandang perbedaan urf (adat istiadat), tempat, waktu, dan kondisi, niscaya ia termasuk orang yang sesat dan menyesatkan, serta termasuk tindakan kriminal terhadap agama itu sendiri”.

Hampir senada dengan pendapat Ibnu Al Qayyim di atas, Pemikir modern Muhamad Abduh (w. 1323 H/1905 M) juga mewanti-wanti agar para Fukaha tidak menjadikan kitab fikih mereka sebagai asas berpikir dalam merumuskan hukum fikih. Sebab, hal tersebut dapat menyebabkannya berpaling dari Al Quran dan Hadis, serta terjebak dengan apa yang terjadi (isi) di dalamnya (kitab fikih). Sehingga mereka merasa bahwa apa yang ada di dalamnya wajib diamalkan, dan menyebabkan mereka lalai dengan kondisi dan tempat di mana mereka hidup sekarang.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ijtihad dalam islam merupakan sebuah prinsip yang bersifat konstan yang selalu ada di setiap era dan zamannya, bahkan praktek tersebut sudah ada sejak era kenabian. Sekian.

Sumber:

At Turmudzi, Muhammad bin Isa, Sunan At Turmudzi, Musthofa Al Baby Al Halaby, Kairo.

Al Jauziyyah, Ibn Al Qayyum, I’lam Al Muwaqqi’in An Rabb Al ‘Alamin, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.

Ibn Ruyd, Bidayah Al Mujtahid wa Nihayah Al Muqtashid, Dar Al Hadits, Kairo.

As Sayis, Muhammad Aly, Nas’ah Al Fiqh  Al Ijtihady wa Athwarih, Majma’ Al Buhuts Al islamiyyah, Kairo.

Muhammad Hamdy Zaqzuq, Al Fikru Ad diny wa Qadhaya Al Ashry, Majelis Hukama Al Muslimin, Kairo.

 

 

Kontributor

  • Abul Ala Nawawi

    Santri Lirboyo yang sedang tabarukan di Universitas al-Azhar. Seorang Nakama dan Madridista yang suka menikmati senja. Dapat dihubungi melalui IG: @abungnawawi.