Scroll untuk baca artikel
Talaqqi Akbar
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Benarkah Agama Islam Menomorduakan Wanita?

Avatar photo
60
×

Benarkah Agama Islam Menomorduakan Wanita?

Share this article

Merambaknya sebuah konten pada media sosial membuat standar kehidupan merujuk kepada para Influencer yang status sosialnya sangat tinggi dan belum tentu memahami agama dengan baik dan benar. Menyebabkan pijakan hidup bukan kepada syariat, melainkan kepada akal dan hasrat, padahal untuk mengetahui sesuatu itu baik atau tidak harus melalui ketetapan syariat (baca:agama), berbeda dengan Mu’tazilah – sekte sesat zaman dahulu – yang menggunakan akal untuk menentukan sesuatu itu baik atau tidak. Dengan metode seperti ini, akan melahirkan perspektif-perspektif yang relatif sehingga tidak layak untuk dijadikan pedoman kehidupan. Apa dampak yang akan terjadi ketika menerapkan konsep kehidupan seperti itu? Salah satu dampaknya adalah terjadinya kerusakan yang krusial antar sesama tanpa membicarakan dengan argumen yang baik dan akal yang sehat.

Dan lagi-lagi yang disalahkan adalah agama dan sudut pandang para ulama. Suara yang senantiasa digaungkan dalam hal ini adalah “lelaki yang patriarki” merujuk kepada keseteraan gender. Jika keseteraan gender yang dimaksud adalah menjadikan kewajiban serta hak lelaki dan perempuan dalam satu posisi yang sama, maka ini adalah sebuah pemikiran yang salah. Karena, Allah telah meletakkan peran lelaki dan wanita sesuai dengan porsinya. Tapi, kita tidak membahas tentang patriarki di sini, kita akan membahas kesetaraan. Untuk menjawabnya mari kita uraikan sedikit demi sedikit:

Pertama, keseteraan telah diberlakukan sedari dahulu. Bahkan agama telah mengangkat derajat wanita untuk dihormati hak-haknya. Kemuliaan wanita tidak dikesampingkan begitu saja, maksudnya wanita tidak dinomorduakan atau dikerdilkan oleh agama. Kehormatan ini diberlakukan pula untuk para lelaki secara merata, jadi lelaki dan wanita memiliki sebuah kehormatan di hadapan Allah apabila mereka bertakwa. Sesuai dengan firman-Nya:

اَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ۝١٣

Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti. (QS al-Hujurat: 13)

Maka, sudah jelas bahwa lelaki dan perempuan itu setara, yang membedakan kehormatannya menurut Allah adalah jika mereka bertakwa sesuai dengan ayat di atas tanpa ada kelebihan dan kekurangan.

Kedua, dahulu pada zaman Jahiliyyah bahwa perempuan tidak mendapatkan warisan sama sekali, meskipun mereka (perempuan) anaknya si Mayyit. Yang mendapatkan adalah anak laki-laki bahkan orang lain yang bukan sedarah, dahulu ini disebut dengan Tahaluf atau Mu’aqadah. Ketika islam datang, diberlakukan lah untuk wanita mendapatkan kepemilikan harta, maka apabila wanita mempunyai otoritas kepemilikan harta, maka wanita mendapatkan hak waris.

Ketiga, dalam kasus kesetaraan ini, misalnya ahli waris lelaki mendapatkan bagian 2x lipat lebih besar daripada perempuan, berangkat dari pemaham ayat sepenggal saja kemudian menghukumi bahwa agama tidak adil dan mereka menuntut kesetaraan. Padahal persoalan tersebut berlaku untuk ahli waris anak laki-laki, saudara sekandung, dan saudara sebapak. Mereka menyatakan bahwa agama selalu menomorduakan wanita. Pada realitanya, lelaki tidak selalu mendapatkan bagian 2x lipat lebih besar daripada perempuan, adakalanya lelaki mendapatkan bagian yang setara dengan perempuan, bahkan lelaki juga bisa tidak kebagian harta warisan. Seperti seorang ayah (berarti lelaki) mendapatkan bagian yang sama, bahkan bisa lebih kecil dengan bagian seorang ibu (berarti perempuan) yaitu seorang ibu bisa mendapatkan 1/3 jika si Mayyit tidak mempunyai anak atau saudaranya tidak lebih dari 1, dan ibu bisa mendapatkan 1/6 apabila si Mayyit mempunyai anak perempuan. Dan ini lah, bagian ayah dan ibu itu setara, sama-sama mendapatkan 1/6. Karena, jika si Mayyit mempunyai anak laki-laki dan perempuan maka seorang ayah mendapatkan 1/6. Bahkan, dalam pembagian ahli waris untuk saudara dan saudari seibu itu setara, yakni mereka mendapatkan 2 bagian; adakalanya mendapatkan 1/3 atau 1/6. Bukan kah ini sebuah kesetaraan dan keadilan? Lalu, apakah ini masih menomorduakan wanita?

Secara ringkasnya:

  • Dalam kehidupan kita suka mengejar perhatian atau validasi orang lain ketimbang perhatian Tuhan.
  • Bahwa agama islam tidak mendiskriminasi wanita dan tidak menyudutkan wanita agar menjadi manusia kelas dua.
  • Islam mengangkat derajat wanita bukan menjatuhkannya dan memberlakukan keadilan serta keseteraan antara lelaki dan wanita dengan menyatakan bahwa seorang hamba – baik ia lelaki maupun wanita – itu bisa mulia menurut Allah jika ia bertakwa.
  • Allah tidak memandang kemuliaan dan kehormatan seorang hambanya melalui gender, melainkan dari takwanya kepada Allah Sang Pencipta alam semesta.
  • Dan ini merupakan sebuah peraturan yang telah ditetapkan oleh syariat.

Disarikan dari kitab al-Mar’at baina Thugyan al-Nizham al-Gharbiy wa Lathaif al-Tasyri’ al-Rabbaniy, karangan Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi – semoga Allah merahmatinya -.

Kontributor

  • Habib Muhammad Jinan

    Mahasiswa asal Jakarta yang sedang menempuh jenjang pendidikannya di fakultas Syariah Islamiyah, universitas al-Azhar, Kairo. Suka membaca untuk menjalani kehidupan. Bisa dihubungi melalui Instagram: @jjinan_

Talaqqi Akbar