Kabut masih menyelimuti kota Kairo pagi itu. Saya berjuang untuk menembus bekunya puncak musim dingin bulan Januari dengan berbekal sweater dirangkap jaket tebal. Semalam Adham menghubungi saya via SMS. “Mari kita ke Mar Girgis, kita bertemu di Metro Sadat besok pagi.”, begitu pesan singkat dari Adham.
Dengan mikrobus aku sampai di stasiun el-Demerdash untuk naik Metro. Dari el-Demerdash sampai ke stasiun Sadat melewati empat stasiun, yaitu Ghamra, el-Shohadaa, Orabi, dan Naser. Metro adalah kereta kebanggaan penduduk Kairo, yaitu sebuah kereta dengan rapid transit system yang menghubungkan berbagai titik di Kairo dan kota-kota di sekitarnya.
Stasiun el-Shohadaa sendiri dulunya bernama stasiun Hosni Mubarak. Namun setelah Hosni Mubarak digulingkan melalui revolusi 25 Januari, stasiun itu diganti nama menjadi stasiun el-Shohadaa.
Suasana stasiun Sadat sudah ramai dipadati calon penumpang pagi ini. Meskipun musim dingin begitu menggigit namun tidak menyurutkan penduduk Kairo untuk beraktivitas baik untuk sekolah atau pun mencari nafkah.
Setelah menelpon dan menanyakan posisi Adham akhirnya kami bertemu. Seperti bertemu orang di Mesir pada umumnya kami beruluk salam, berjabat tangan, dan berpelukan.
“Ayo kita langsung lanjutkan perjalanan. Bapa Youssef sudah menunggu kita di el-Kanisah el-Mu’allaqah (Gereja Gantung).” Kata Adham tanpa basa-basi.
Karena saya belum keluar dari boarding pass, saya tidak perlu membeli tiket lagi. Metro dari stasiun el-Demerdash memang menuju ke arah stasiun Mar Girgis.
Baca juga: Saint Simon, Si Tukang Sol Sepatu Yang Mampu Membelah Gunung
Kami berdua pun naik kereta berikutnya. Setelah melewati stasiun Zaghloul, Sayyidah Zainab, El-Malik el-Saleh, kami sampai di stasiun Mar Girgis. Keluar dari stasiun kami disambut oleh jajaran gereja-gereja tua yang menjad salah satu situs Kristen Koptik tertua di Mesir.
Situs gereja di kawasan Mar Girgis dibangun sejak sekitar abad ke-3 atau ke-4 Masehi. Agama Kristen sendiri datang ke Mesir dibawa oleh Saint Markus, salah seorang penulis Injil (penginjil). Markus datang ke kota Alexandria tiga tahun setelah Kaisar Claudius berkuasa di Kekaisaran Romawi, atau sekitar tahun 43 Masehi. Di Alexandria dia mendirikan gereja pertama di Mesir. Gereja tersebut kini menjadi Gereja Ortodoks Koptik.
Istilah Koptik sendiri berasal dari sebutan orang Yunani kepada kota Memphis, ibu kota Mesir Kuno. Orang Yunani menyebut kota Memphis dengan sebutan “Aigyptos” yang berasal dari kata “Hikaptah” yang dalam bahasa Latin disebut “Coptic”. Akhirnya sebutan “Coptic” dipakai untuk menyebut para penganut Kristen Ortodoks Mesir.
Dari stasiun Mar Girgis, kami berdua berjalan ke arah selatan menuju gereja yang sangat ikonik di Kairo, yaitu Gereja Gantung atau dalam bahasa Arab disebut “al-Kanisah al-Mu’allaqah”. Mengapa disebut “Gereja Gantung”? Penamaan itu tidak lain karena posisi gereja tersebut memang menggantung di atas dua menara gerbang bekas benteng Romawi yang bernama Benteng Babylon. Jika dilihat dari arah gerbang depan tidak tampak gereja itu menggantung di atas menara. Tapi jika kita berjalan ke arah selatan lagi dan berbelok ke arah jalan Kasr el-Sama’e kita akan melihat jelas bangunan dua menara gerbang Benteng Babylon tempat Gereja Gantung “menggantung” di atas keduanya.
Gereja Gantung Mar Girgis sendiri dibangun di era Patriark Isaac. Pembangunannya memakan waktu dua tahun yaitu dari tahun 690 sampai tahun 692 Masehi. Gereja tersebut pernah mengalami kebakaran kemudian direnovasi sekaligus diperbesar di era Patriark Abraham yaitu pada tahun 975 sampai tahun 978 Masehi.
Baca juga: Potret Bimaristan, Rumah Sakit Islam Masa Silam
Meskipun demikian beberapa sejarawan berpendapat kemungkinan di area sekitar Gereja Gantung pernah juga didirikan gereja pada abad ke-3 atau ke-4 Masehi.
Yang akan membuat kita kagum akan struktur bangunan Gereja Gantung adalah material penyusun bangunan gereja tersebut mayoritas terbuat dari kayu.
Kami akhirnya bertemu dengan Bapa Youssef di ruang kerjanya yang berada sebelum tangga menuju ruang utama gereja. Beliau adalah pendeta di gereja tersebut.
Mengapa Adham begitu antusias mempertemukan saya dengan Bapa Youssef? Hal itu tidak lain karena aku sempat bertanya tentang kisah Saint Simon kepada Adham sewaktu di Gereja Gua Saint Simon di bukit Muqattam.
Tidak lama kami duduk dan berbasa-basi khas tradisi Mesir, seorang pelayan gereja mengantarkan teh dan manisan khas Mesir. Bapa Youssef dengan sangat hangat mempersilakan kami minum teh dan mencicipi manisan tersebut. Lalu mulailah Bapa Youssef bercerita tentang Saint Simon.
Kisah diawali dari Sultan Mu’izz Liddinillah, salah seorang penguasa Dinasti Fatimiyah yang gemar sekali mengadakan debat antar agamawan dan teolog di Mesir kala itu. Sampailah suatu waktu dia mengundang Patriark Abraham untuk berdebat tentang teologi dengan salah seorang ajudannya yang bernama Ya’kub bin Kilis. Ya’kub ini adalah seorang Yahudi yang kemudian hari masuk Islam. Otomatis dia sangat menguasai kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Pada debat sesi pertama, Patriark Abraham menang telak melawan Ya’kub. Namun Ya’kub yang hafal Injil tidak kehabisan akal. Dia mengutip sebuah ayat dari Injil Matius yang berbunyi, “‘Dia menjawab,’ Sungguh saya katakan, jika Anda memiliki iman sekecil biji sesawi, Anda dapat berkata ke gunung ini, ‘Pindah dari di sini ke sana, ‘dan itu akan bergerak. Tidak ada yang mustahil bagi Anda.” ( Matius 17:20).
Baca juga: Memotret Mezquita de Cordoba, Mengenang Sang Elang Andalusia
Ya’kub pun menuntut Patriark Abraham untuk membuktikan kebenaran agamanya dengan cara seperti yang disebutkan di dalam ayat tersebut, yaitu dengan memindahkan gunung. Ya’kub menantang Patriark Abraham untuk memindahkan gunung Muqattam.
Khalifah Mu’izz bertanya kepada Patriak Abraham, “Apa pendapatmu tentang kata ini? Apakah itu Injilmu atau bukan?”
Sang patriark menjawab “Ya, itu ada di dalamnya.” Setelah mendengar jawaban Abraham, khalifah menuntut agar mukjizat ini dilakukan oleh tangan Abraham atau dia dan semua Koptik di Mesir akan dibunuh dengan pedang. Saat itulah setelah mendengar ini, Patriak Abraham meminta waktu tiga hari untuk menyelesaikan mukjizat.
Cerita berlanjut saat Abraham mengumpulkan sekelompok biarawan, pendeta, dan tetua. Abraham menyuruh mereka semua tinggal di Gereja Gantung selama tiga hari untuk penebusan dosa. Di pagi hari ketiga, ketika Abraham sedang berdoa di Gereja Gantung, dia melihat Maria, ibunda Yesus.
Sang Perawan Suci itu menyuruhnya pergi ke pasar besar. Maria berkata kepadanya, “Di sana engkau akan menemukan seorang pria bermata satu. Di pundaknya ia membawa sebuah kendi berisi air; temui dia, karena di tangannya keajaiban ini akan diwujudkan.”
Abraham menuruti perintah Maria dan pergi ke pasar tempat dia akan bertemu dengan pria yang dibicarakan Sang Perawan Suci. Pria itu adalah Simon Si Penyamak kulit (The Tanner), yang telah mencabut matanya karena sebuah ayat dari Alkitab: “Jika mata kananmu menyebabkanmu tersandung, cungkil dan buanglah. Lebih baik kau kehilangan satu bagian darimu. Tubuhmu daripada seluruh tubuhmu dibuang ke neraka. Dan jika tangan kananmu menyebabkanmu tersandung, potong dan buanglah. Lebih baik kamu kehilangan satu bagian tubuhmu dari pada kehilangan seluruh tubuhmu ke neraka.” (Matius 5: 29–30)
Menurut cerita, Simon menyuruh Abraham pergi beserta para pendeta dan seluruh pengikutnya ke gunung Muqattam bersama Khalifah beserta semua tentaranya. Simon kemudian menyuruh Abraham untuk berseru “Ya Tuhan, kasihanilah kami,” sebanyak tiga kali dan setiap kali dia mengucapkan kalimat tersebut dia harus membuat tanda salib di atas gunung. Sang bapa bangsa mengikuti perkataan Simon dan gunung itu terangkat.
Baca juga: Pajaro Negro, Musik dan Budaya Bersolek di Eropa
Setelah mukjizat dilakukan di hadapan Khalifah, Patriark Abraham pergi ke arah kiri dan ke kanan mencari Simon. Tetapi dia telah menghilang dan tidak ada yang dapat menemukannya. Khalifah berpaling kepada Abraham dan berkata, “Wahai Patriark, saya telah mengakui kebenaran iman Anda.”
Untuk memperingati mukjizat ini, Gereja Ortodoks Koptik Mesir menjalankan puasa tiga hari sebagai tambahan sebelum dimulainya Puasa Kelahiran sebelum Hari Raya Natal.
Begitulah kisah Saint Simon Si Tukang Sol Sepatu, tokoh yang disucikan oleh para penganut Kristen Koptik Mesir. Mungkin semacam waliyullah dalam kepercayaan Islam.
Simon sendiri hidup menjelang akhir abad kesepuluh dan banyak orang Kristen Koptik di Mesir terlibat dalam kerajinan tangan di masa-masa itu. Saint Simon bekerja di penyamakan, kerajinan yang dikenal di sana sampai hari ini. Profesi ini melibatkan pengrajin lain yang bergantung hidup pada usaha penyamakan kulit ini.
Saint Simon memiliki beberapa gelar yang berkaitan dengan kulit: Tukang samak kulit (The Tanner), Tukang Sepatu, dan Pembuat Sepatu.
Selama tahun 1989–91, para pendeta dan arkeolog Koptik mencari peninggalan dari Si Penyamak Kulit dan Santo abad ke-10, Saint Simon. Simon tampaknya dimakamkan di pemakaman al-Habash di Kairo Lama. Namun, saat mencari relik Simon, kerangkanya justru ditemukan di Gereja Ortodoks Koptik Perawan Suci, Babylon El-Darag saat ada pengerjaan restorasi.
Kerangka Simon ditemukan pada 4 Agustus 1991 sekitar satu meter di bawah permukaan gereja. Yang paling menarik ketika menemukan kerangkanya adalah rambut di kepalanya masih utuh dan belum hancur. Rambut yang utuh hanya ada di bagian belakang tengkoraknya dan disimpulkan bahwa pria itu botak di depan dan rambut tebal di belakang kepalanya.
Di gereja tempat kerangka Simon ditemukan tersebut ada lukisan yang menggambarkan Patriark Koptik Abraham dan seorang penyamak kulit berkepala botak membawa dua kendi air. Pria berkepala botak kemungkinan besar adalah Simon karena dia dikenal sering membawa kendi air untuk diberikan kepada orang miskin. Lukisan itu selanjutnya menggambarkan beberapa karakteristik kerangka yang ditemukan.
Baca juga: Princess Fatma dan Tongkat Sihir
Di sebuah gereja di dekatnya ditemukan sebuah pot dan diperkirakan berumur lebih dari 1000 tahun. Dipercaya bahwa periuk tanah liat ini adalah bejana yang digunakan Simon untuk membawa air ke orang-orang miskin. Guci itu sekarang disimpan di Gereja Saint Simon di Muquattam, Kairo.
Berakhirlah cerita Bapa Youssef. Penasaran saya tentang kisah Saint Simon terobati. Saya dan Adham pun pamit dan keluar dari Gereja Gantung Mar Girgis. Kami tidak langsung pulang. Kami lalu masuk ke sebuah gerbang di sebelah utara Gereja Gantung.
Di antara Gereja Gantung dan gerbang tersebut ada sebuah sisa bangunan menara benteng Babylon miliki penguasa Romawi. Di balik gerbang itu ada pelataran luas dan cukup teduh dengan pohon-pohon besar tumbuh di tepian pelataran. Di sebelah kanan pelataran itu ada tangga menuju sebuah gereja. Gereja itu memiliki arsitektur yang unik yaitu berbentuk seperti tabung. Sementara di luar gereja ada bendera negara Yunani.
Menurut Adham itu adalah gereja untuk mengenang seorang pahlawan dalam kepercayaan Kristen Ortodoks yang bernama Saint George atau dalam bahasa Yunani disebut Georgeus. Dari nama Georgeus inilah komplek gereja ini di sebut oleh orang Mesir dengan sebutan Mar Girgis.
Please login to comment