Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Perang Iran–Israel dan Harapan Identitas Dunia yang Bergeser

Avatar photo
354
×

Perang Iran–Israel dan Harapan Identitas Dunia yang Bergeser

Share this article
Perang Iran–Israel dan Harapan Identitas Dunia yang Bergeser
Perang Iran–Israel dan Harapan Identitas Dunia yang Bergeser

‎Saya membayangkan, pada akhir dari perang antara Iran dan Israel -entah hari ini atau esok- ia bukan hanya sekadar menjadi konflik geopolitik regional, melainkan momen historis yang berpotensi mengubah identitas dunia. Banyak sarjanawan telah lama menuliskan tentang pergeseran arus peradaban dari Barat ke Timur. Asumsi ini berpijak pada kebangkitan ekonomi dan militer Asia, terutama China. Namun, lebih dari itu, perang ini tampak seperti katalis—pemicu yang diperlukan untuk menciptakan keseimbangan global (equilibrium), setelah dunia terlalu lama berada dalam dominasi tunggal.

‎Konflik, dalam paradigma ini, bukanlah sesuatu yang semata harus dihindari. Ia perlu dimunculkan, didorong hingga ke puncaknya, agar ketimpangan lama dapat diguncang dan dirombak. Keseimbangan yang dimaksud bukan hanya dalam aspek militer atau politik, tetapi juga ekonomi dan tatanan global yang lebih adil, tidak lagi berporos pada satu negara adidaya yang merasa menjadi polisi dunia.

‎Akan tetapi, saya belum melihat bahwa pergeseran ini, kelak akan ikut membawa perubahan dalam dimensi budaya dan intelektual. Di sinilah titik lemahnya. Barat terlalu hegemonik dalam membentuk selera dunia, membakukan kebenaran, dan memproduksi wacana. Bahkan Islam, dunia timur atau bahkan China sekalipun—dengan segala kekuatan alternatifnya—masih belum mampu menandinginya secara naratif dan filosofis. Ya, kita memang perlu menyadari, peradaban tidak dibangun dalam semalam.

‎Lihatlah Barat: Renaisans (Renaissance)—kebangkitan kembali nilai-nilai klasik Yunani-Romawi setelah abad kegelapan (Dark Ages)—butuh waktu hampir empat abad sejak abad ke-14 di Italia hingga menyebar ke seluruh Eropa. Ini adalah masa ketika seni, filsafat, sains, dan literatur berkembang pesat, mendorong manusia untuk keluar dari kepatuhan buta dan mulai bertanya.

‎Setelah itu, muncul fase puncak bernama Aufklärung (Pencerahan / Enlightenment) di abad ke-17–18. Masa ini ditandai dengan rasionalisme, humanisme, dan penekanan pada kebebasan berpikir, yang pada akhirnya membentuk struktur dunia modern: demokrasi liberal, sekularisme, kapitalisme, dan sistem hukum internasional.

‎Singkatnya, Renaisans Eropa butuh empat abad untuk melahirkan Aufklärung, dan butuh dua abad lagi untuk sampai pada tahap ketika ia merasa perlu dikritik, direvisi, bahkan di-reset.

‎Di sinilah, menurut saya peluang sejarah itu muncul. Perang Iran–Israel, bagaimanapun akhir dan hasilnya, adalah lonceng yang harusnya membangunkan Timur untuk mulai menyusun dirinya. Kita bisa berharap bahwa konflik ini memaksa Barat untuk melihat ke dalam: bertaubat secara intelektual, mengakui batasan modernitas yang mereka bangun sendiri. Karrna saya masih percaya, masih banyak intelektual Barat yang tidak culas. Yang mau belajar, merefleksi peradaban mereka.

‎Saat itu, dikala dunia perlahan menemukan keseimbangan politik baru—dengan China mungkin menjadi raksasa ekonomi menggantikan Amerika—akan muncul kekosongan makna dan identitas peradaban. Dan dalam ruang kosong itu, siapa yang akan mengisinya?

‎Jawabannya adalah siapa yang sanggup menawarkan tafsir kemanusiaan baru—yang tidak hanya rasional, tetapi juga spiritual, tidak hanya material, tetapi juga bermakna.

‎Inilah tugas besar Timur. Termasuk Indonesia. Kita bisa membagi peran; Ada yang menjaga turats (warisan klasik) sebagai akar dan pondasi; Ada yang menumbuhkan kesadaran dan mentalitas kemanusiaan dalam wacana publik; Ada yang mendorong penguasaan sains dan teknologi sebagai infrastruktur masa depan.


‎Dan satu hal yang jangan ditinggalkan: kisah karomah—dalam dosis yang sehat—masih sangat penting. Supaya kita tidak terjebak total dalam peradaban positivistik yang menolak hal-hal yang tak terlihat. Iran telah membuktikan bahwa berpegang pada karomah Husain tidak membuat mereka anti-filsafat, anti-logika, atau anti-sains. Asal dengan dosis yang proporsional, ia justru menjadi kekuatan moral dan eksistensial.

‎Perang ini mungkin bukan akhir. Ia bisa jadi awal bagi arsitektur dunia yang baru. Dan kita—umat yang memiliki sejarah panjang dan teks-teks suci yang penuh makna—tidak boleh hanya menjadi penonton.

‎Kita harus ikut menulis ulang dunia.
‎Mungkin bukan untuk kita, tapi untuk anak cucu kita.

‎Maka, menikahlah… dan berpikirlah.
‎Karena peradaban dibangun dan dijaga untuk tetap eksis oleh dua hal: cinta dan akal.

Kontributor

  • Mabda Dzikara

    Alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang aktif menjadi dosen di IIQ Jakarta.