Scroll untuk baca artikel
Talaqqi Akbar
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Relokasi Warga Gaza ke Negara Tetangga; Ide Pembangunan atau Pengusiran?

Avatar photo
54
×

Relokasi Warga Gaza ke Negara Tetangga; Ide Pembangunan atau Pengusiran?

Share this article

Beberapa waktu lalu Presiden Amerika terpilih Donald Trump memberi usulan untuk memindahkan warga Gaza ke Indonesia. Usulan ini menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat Indonesia sendiri. Mereka yang setuju dengan usulan ini beranggapan ide tersebut sebagai solusi kemanusiaan. Namun, mereka yang kontra usulan tersebut mencurigai adanya maksud terselubung di balik kemanusiaan. pada minggu ini beberapa media memberitakan adanya perubahan rencana yang semula direlokasi ke Indonesia beralih ke Mesir dan Yordania.

Secara umum, Trump berdalih bahwa relokasi ini bertujuan agar memudahkan pembangunan. Dilansir dari Sindo News.com (27/1/2025) Trump mengatakan: “Saya tidak tahu, sesuatu harus terjadi, tetapi saat ini tempat itu benar-benar seperti lokasi pembongkaran. Hampir semuanya dihancurkan dan orang-orang sekarat di sana, jadi saya lebih suka terlibat dengan beberapa negara Arab dan membangun perumahan di lokasi lain di mana saya pikir mereka mungkin bisa hidup dengan damai untuk perubahan.”

Perlu diketahui bahwa pada tahun 1948 bangsa Palestina pernah mengalami peristiwa “nakbah” yang membuat mereka tersusir dari tanah air sendiri. Peristiwa ini tidak hanya membuat trauma bagi bangsa Palestina, dengan peristiwa ini Israel berhasil menguasai sekitar 75 % wilayah Palestina. Prosentase yang telah melampaui batas resolusi PBB 181 tentang solusi dua negara, dimana Israel diberikan hak 50%.  Tidak aneh jika rencana Donald Trump memunculkan kekhawatiran di kalangan para pengamat dan masyarakat Palestina karena dianggap memiliki potensi menjadi Nakbah kedua.

Rencana semacam itu—jika benar-benar terjadi—dapat adalah pengulangan pola-pola pengusiran dan pemaksaan migrasi yang akan memperparah penderitaan rakyat Palestina. di sisi lain, ide semacam ini telah menyalahi hukum internasional tentang kemanusiaan pasal 49 Konvensi Jenewa yang menyatakan:

“Pemindahan paksa secara individu atau massal, serta deportasi orang-orang yang dilindungi dari wilayah pendudukan ke wilayah negara Pendudukan atau ke negara lain, baik yang diduduki atau tidak, dilarang, apa pun motifnya”.

Aturan internasional tersebut sejatinya ditetapkan demi mencegah perubahan demografis wilayah yang diduduki. Apabila kita melihat kondisi Palestina yang sekarang masih belum mendapatkan kemerdekaannya secara penuh, ide semacam ini sangat berpotensi memberikan pintu bagi Israel untuk menduduki seluruh Gaza tanpa hambatan. Sebuah ide yang sangat merugikan Palestina jika direalisasikan.

Di saat yang sama, ide ini bisa dinilai melanggar hak asasi manusia yang menjamin setiap orang untuk tetap tinggal di wilayahnya, memutuskan kontak mereka dengan tanah air, budaya, dan identitas mereka sendiri. Sebuah kondisi yang justru menambah trauma pascaperang. Membangun kembali daerah yang rusak akibat perang bisa dilakukan tanpa merelokasi warga setempat ke negara lain. Menyediakan infrastruktur dan lapangan pekerjaan justru lebih konkret untuk masa depan mereka, dibandingkan merelokasi warga ke daerah yang belum tentu memberi jaminan masa depan. Tidak hanya masa depan ekonomi mereka yang menjadi kekhawatiran, hak politik mereka di negara lain juga sangat rentan.

Jika melihat geopolitik Timur Tengah ide tersebut akan memicu ketegangan baru antara Israel dan negara-negara Arab yang pro Palestina merdeka. Hukum internasional hanya membolehkan pemindahan saat kondisi darurat perang. Sementara Palestina hingga detik ini masih dalam keadaan gencatan senjata. Artinya, tidak ada kondisi darurat yang menuntut dilakukannya pemindahan warga dari satu daerah ke daerah lain. Sehingga, tidak ada alasan kuat yang mendukung realisasi ide gila ini.

Kesiapan negara yang dijadikan tempat pengungsian juga harus dipertimbangkan. Mesir dan Yordania sudah menampung banyak pengungsi Palestina. Pemindahan lebih lanjut akan menambah beban sosial, ekonomi, dan politik. Kedua negara mungkin menghadapi ketegangan domestik dari kelompok yang menolak masuknya pengungsi baru. Belum lagi keadaan Mesir yang sedang berjuang melawan inflasi ekonomi, dimana pada Februari 2024 tingkat inflasi Mesir mencapai angka 35,7%. Beban ekonomi Yordania juga sedang ditantang untuk menciptakan lapangan pekerjaan.

Meski ide ini masih sekadar wacana ia layak menjadi perhatian agar tidak menimbulkan konflik baru di kemudian hari. Jika dilihat dari sudut pandang poitik, ada beberapa faktor yang dapat mendukung wacana ini sebagai kedok pengusiran warga Gaza dari tanah air mereka:

Pertama, Amerika yang mengajukan usulan tersebut merupakan negara yang sangat getol mendukung Israel di Timur Tengah. tidak sedikit fakta tentang halini, kita bisa membuka kembali berbagai catatan ketika Amerika menggunakan hak veto di hadapan dewan keamanan PBB saat resolusi dewan berupaya menghentikan genosida. Kita mungkin belum lupa bahwa Donald Trump pernah mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel pada tahun 2017.

Kedua, tidak sedikit pernyataan terang yang disampaikan pihak Israel yang berkeinginan mengusir warga Gaza dari tempat tinggal mereka. dilansirdari CNN Indonesia (26 Desember 2023) Netanyahu sendiri yang mengeluarkan pernyataan halus untuk mengusir warga Gaza. Satu bulan kemudian, tepatnya pada bulan Januari 2024 Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Israel Itamar Ben Gvir, secara terang-terangan menginginkan mayoritas warga Gaza -jika tidak semuanya- untuk meninggalkan rumah mereka, lebih jauh ia mengusulkan pemukiman Yahudi di wilayah Gaza setelah perang selesai (Kompas.id, 1 Januari 2024).

Dari dua data di atas tidak heran apabila usulan relokasi warga Gaza ke Yordania dan Mesir atau ke daerah lain menimbulkan kecurigaan pengusiran dari tanah air sendiri.  Lebih menarik lagi adalah ketika ide relokasi ini dikaitkan dengan konsep hifdz al-nas (menjaga jiwa). Tentu logika ini kurang tepat karena beberapa hal:

Pertama, Islam memang mengajarkan hifdz al-nafs, tetapi Islam juga mengajarkan hifdz al-wathn (menjaga tanah air). Memahami keduanya harus menggunakan konteks dan fakta sosial-politik. Merelokasi warga saat terjadi konflik bersenjata bisa menjadi hifdz al-nafs. Tetapi, fakta sekarang adalah Gaza dalam kondisi gencatan senjata, tidak dalam kondisi mendesak evakuasi. Sebaliknya, dalam kondisi gencatan senjata seperti ini melakukan relokasi justru menimbulkan kekhawatiran bahwa Israel akan menguasai Gaza secara penuh. Terlebih jika berkaca dengan tragedi nakba 1948 yang memberi luka traumatik bagi warga Palestina.

Kedua, tidak semua ide harus mempertimbangkan hifdz al-nafs sebagai jangkar utamanya. Sebab, Islam sendiri mendorong umat Islam untuk memertahankan tanah airnya seperti yang tertera di dalam surah Al-Hajj: 39-40. Ayat ini mengizinkan umat Islam berperang melawan penindasan di tanah air sendiri. Tentunya peperangan akan selalu memakan nyawa dan menghilangkan jiwa. Artinya, berbicara tentang maqashid syariah juga harus melibatkan konteks tertentu.

Ketiga, jika relokasi ini dihubungkan dengan hifdz al-nafs berarti relokasi adalah bagian dari instrumen (wasâ`il) sementara hifdz al-nafs itu yang menjadi orientasi (maqâshid). Di dalam fikih neraca maqashid, relokasi bisa saja mendapat dukungan secara syari apabila dia adalah satu-satunya instrumen yang tersedia. Namun, jika masih ada instrumen lain yang lebih realistis dan konkret maka instrumen yang realistis lebih memiliki landasan syariat. Sementara, instrumen yang lebih realistis masih ada, seperti melibatkan warga untuk membangun kembali infrastuktur mereka.

Usulan pemindahan warga Gaza sangat kompleks, tidak hanya dari perspektif kemanusiaan, politik dan ekonomi, melainkan juga dari perspektif agama. Islam secara terang mengajarkan bahwa tanah air adalah milik penghuninya. Bahkan dalam skala yang lebih tinggi Islam mengizinkan perlawanan bagi mereka yang merasa terancam dari tanah air sendiri. Baik Islam maupun hukum kemanusiaan internasional tidak pernah melegalkan penindasan dan pengusiran secara paksa masyarakat sipil.

Memindahkan penduduk dari satu negara ke negara lain dalam rangka pembangunan akibat perang adalah ide yang sangat kompleks. Bahkan, ide ini lebih tepat dibaca sebagai pengusiran tanpa senjata. Masih banyak ide lain yang lebih manusiawi seperti mendorong penduduk lokal untuk terlibat langsung dalam proses rekonstruksi, sehingga dapat membantu menghidupkan kembali ekonomi lokal sekaligus mempertahankan keterhubungan mereka dengan wilayah asal.

 

Kontributor

  • Hadi Abdul Fattah

    Santri asal Cirebon. Penikmat kopi, kebijaksanaan, dan Syair Arab. Dapat dihubungi melalui IG: @hadi_abd.fattah

Talaqqi Akbar