Scroll untuk baca artikel
Talaqqi Akbar
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Silang Pengaruh Sastra Persia dan Sastra Arab

Avatar photo
84
×

Silang Pengaruh Sastra Persia dan Sastra Arab

Share this article

Persia adalah nama kuno dari negara Iran. Persia digunakan untuk menggambarkan negara Iran, orangnya atau kerajaan kunonya. Jika dikaitkan dengan Islam, maka Persia mengacu kepada masa dinasti Sassania yang berlangsung dari tahun 226-651 M. Sassania merupakan kekaisaran Persia terakhir sebelum kedatangan Islam.

Dalam sejarahnya, wilayah Persia ditaklukkan oleh pasukan Islam dalam peperangan Qadisiyah pada tahun 636 M di Hilla, Irak dan pada akhirnya memberi jalan kepada futuhat Islam atas Persia. Dalam kata lain periode pertama ekspansi Islam.

Periode pertama ekspansi Islam tidak hanya sebagai penanda kejayaan Islam, namun juga menciptakan ruang baru yang belum pernah ada sebelumnya baik dalam segi politik, sosial, budaya, agama maupun sastra. Hal ini tergantung pada wilayah yang ditaklukkan dan Persia adalah salah satunya.

Baca juga: Majas Personifikasi dalam Sastra Arab

Sebagai pembaca ulang sejarah peradaban Islam, menemukan hal yang tidak biasa adalah suatu kelumrahan. Misalnya yang berkaitan dengan pengaruh sastra Persia terhadap sastra Arab. Di sini saya mencoba menyoal satu pertanyaan sederhana; apakah sastra Arab dan sastra Persia memiliki titik persamaan?

Jika iya, maka arti kata “pengaruh” bisa memiliki kemungkinan adanya makna lebih dari satu (ambiguitas). Artinya keterpengaruhan tersebut adakalanya suatu kebetulan dan adakalanya sengaja dihadirkan sebagai wujud dari adanya hubungan antara yang menaklukkan dan yang ditaklukkan.

Jika tidak, maka hal yang jelas kita temukan adalah motif sastra Arab pada saat itu mengalami perubahan yang mencolok, karena keberadaan kata “pengaruh”.

Di antara kedua jawaban tersebut, muncullah jawaban penengah; satu sisi memiliki persamaan, di sisi yang lain tidak. sehingga “pengaruh sastra Persia terhadap sastra Arab” memiliki arti adanya beberapa hal yang masuk dari luar—yaitu Persia—ke dalam sastra Arab namun hal tersebut tidak mengubah sedikitpun motif sastra Arab.

Deretan nama penyair Persia seperti Ziyad al-A’jam, Ibrahim bin Yasar al-Nasa’i, Abul ‘Abbas al-A’ma, dan Musa Syahawat menjadi bukti awal yang nantinya merangkai bukti-bukti lainnnya. Bait-bait syair yang mereka buat motifnya ala sastra Arab, hanya saja nuansa khayalannya masih berbau Persia.

Dalam kacamata orang awam hal demikian adalah sebuah kewajaran. Karakter alami akan senantiasa melekat terlepas di mana ia nanti berada. Sederhananya orang Indonesia akan terlihat karakter ke-Indonesiaannya meskipun ia berada di luar Indonesia. Begitu pula sebaliknya.

Melihat nama-nama di atas, yang terbersit dalam benak pikiran saya adalah sebenarnya para penyair Persia tersebut bisa dikatakan masih kalah familiar atau kalah kondang jika dibandingkan dengan para penyair Arab yang dikenal dengan keuletannya dalam merangkai kata. Bahkan orang yang mendengarnya dapat tersihir hanya dengan bait-bait syair.   

Baca juga: Kecerdasan Tanpa Literasi Era Jahiliah

Berawal dari satu bukti merambah ke bukti yang lainnya, kesemuanya saling mengikat satu sama lain layaknya  rantai besi. Setiap orang pasti memiliki pengalaman hidup yang mereka jalani. Sebagian dari pengalaman ini, ada yang mereka tuangkan ke dalam sebuah tulisan lalu menyusunnya dengan bahasa yang indah hingga mencapai syarat estetika yang tinggi. Dalam dunia sastra biasa disebut dengan susastra.

Entah sebuah kebetulan ataukah ada salah satu yang mengutip, ternyata ditemukan keserupaan antara susastra Bozorgmehr dan susastra Aktsam bin Shayfiy; Yang pertama mewakili Persia sedangkan yang kedua mewakili Arab. Bahkan dikatakan sangat sulit sekali membedakan keduanya, misalnya “jika terjadi dua hal yang berimbang dan tidak diketahui mana yang lebih baik, maka lihatlah (di antara keduanya) yang lebih cenderung ke hawa nafsu, lalu jauhilah!

Dokumen-dokumen sejarah telah memberikan banyak fakta bahwa para khalifah Bani Umayyah menyukai pertunjukan pelantunan syair-syair dan nyanyian-nyanyian. Selama ini, hanya sebatas itu informasi yang diterima oleh khalayak umum. Imbasnya, kebanyakan orang hanya berhenti pada asumsi yang mengatakan bahwa itu memang hobi asli mereka (para khalifah). Termasuk hal yang sangat mengejutkan, informasi tersebut berusaha dibangun oleh budayawan dan sejarahwan Mesir, Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Islam  yang mengatakan bahwa hobi para khalifah bani Umayyah tersebut adalah wujud keterpengaruhan dari orang-orang Persia, bukan hobi asli mereka.

Mendengar ini, saya mencoba menerka ulang dan mengaitkannya dengan informasi lain di masa sebelumnya; jika memang itu wujud keterpengaruhan dari orang Persia, bukankah dulu di masa Nabi Saw. dan Khulafaurrasyidin juga ada majalis asy-Syu’ara’ di dalam masjid yang isinya adalah pujian-pujian untuk baginda Nabi Saw.?

Kontributor

  • Ahmad Khikam

    Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir, Fakultas Bahasa Arab. Penyuka sastra Arab, pecinta kaligrafi

Talaqqi Akbar