Museum Hagia Sofia kembali menjadi masjid melalui dekrit Presiden Recep Tayyip Erdogan tanggal 10 Juli 2020.
Dekrit tersebut dideklarasikan beberapa menit usai Pengadilan Administrasi Turki membatalkan putusan Presiden Pertama Turki Mustafa Kemal Attaturk pada 1934 tentang perubahan status Hagia Sofia sebagai museum.
Putusan pengadilan tersebut kemudian dijadikan sebagai landasan pengalihan otoritas Hagia Sofia ke Direktorat Urusan Agama (Diyanet), dikutip dari Hurriyet, 10 Juli 2020.
Sejumlah masa berkerumun di depan bangunan bersejarah warisan Bizantium tersebut usai pengumuman perubahan status tersebut.
Putusan Pengadilan Turki pada sore waktu setempat tersebut berdasarkan pada fakta bahwa bangunan berusia 15 abad itu merupakan properti dibawah kendali Yayasan Fatih Mehmet Han. Dalam klosul tertulis bahwa bangunan itu hanya boleh digunakan sebagai masjid.
Landasan lain yang dipakai pihak pengadilan adalah bahwa pemerintah Turki tidak berdaya melawan putusan Kemal Attaturk yang mengubah status Hagia Sofia menjadi museum pada 1934.
Diketahui, status museum ini kembali mencuat ke permukaan ketika Turki merayakan ulang tahun penaklukan Turki yang ke-567 pada 29 Mei silam. Dalam acara yang digelar di Hagia Sofia itu membacakan ayat-ayat Al-Quran.
Saat itu, Erdogan memunculkan kembali wacana perubahan status museum tersebut yang merupakan salah satu warisan dunia UNESCO dengan pengunjung terbanyak di Turki.
Kritik Internasional
Wacana tersebut mengundang perdebatan politik di dalam negeri. Bahkan sempat memicu kritik dari pemimpin agama dan politik internasional.
Patriark Bartholomew I yang berbasis di Istanbul yang juga dianggap sebagai pemimpin spiritual Umat Kristiani Ortodoks pekan ini mendesak pihak Turki untuk tetap mempertahankan status Hagia Sofia sebagai museum.
“Putusan perubahan status Hagia Sofia akan membuat umat Kristiani di seluruh dunia membenci orang Islam,” katanya.
Sementara Kementerian Luar Negeri Perancis mengatakan bahwa situs sejarah yang dibangun pada abad keenam itu harus terbuka untuk semua agama.
Selanjutnya, Pemerintah Yunani menyatakan bahwa dengan putusan tersebut, Turki bakal membuka jurang emosional yang sangat besar dengan negara-negara berpenduduk Kristiani.
“Hagia Sofia adalah monumen yang merupakan warisan dunia. Banyak negara termasuk Departemen Luar Negari Amerika Serikat menyoroti isu ini. Mereka mendesak agar Turki tak mengambil langkah yang akan membuka jurang emosional yang sangat besar antara Umat Kristiani baik di Turki maupun di dunia,” kata Jubir Pemerintah Yunani, Stelios Petsas.
Menanggapi itu, pada 3 Juli lalu Erdogan menyatakan bahwa kritik terhadap Turki soal perubahan status Hagia Sofia adalah merupakan serangan terhadapt kedaulatan Turki.
“Tuduhan terhadap negara kita tentang Hagia Sofia merupakan serangan atas hak dan kedaulatan kita secara langsung,” kata Erdogan.
Kami bertekad, lanjut Erdogan, untuk terus melindungi hak-hak orang Islam yang merupakan agama mayoritas di negeri ini.
Sebelumnya, Turki mengaku terkejut lantaran isu perubahan status tersebut mendapat tanggapan dari Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo yang juga mendesak Erdogan tidak melanjutkan rencananya.
“Status museum harus dipertahankan, sebagai contoh komitmen Turki untuk menghormati tradisi dan keragaman sejarah yang telah berkontribusi pada Republik Turki. Dan agar tetap bisa diakses oleh semua orang,” kata Mike Pompeo.