Pihak berwajib Pakistan melarang ditayangkannya sebuah
film kontroversial Inggris yang berjudul “The Lady of Heaven.” Mereka
juga mendorong untuk dicabutnya cuplikan film yang sudah banyak beredar di
berbagai media sosial.
Meski kontroversi terhadap pelarangan tersebut terjadi
di Pakistan, Mesir ikut kecipratan. Sama seperti yang terjadi di Pakistan, para
aktivis medsos Mesir, ulama Salafi bahkan para masyayikh Azhar juga turut
mendukung pelarangan beredarnya film tersebut.
Mereka lantas mendesak diterbitkannya fatwa resmi yang
melarang untuk menonton film tersebut. Mereka juga mengirim permintaan resmi ke
Inggris untuk tidak merilis film tersebut secara global.
Apalagi pada tanggal 2 Januari lalu, beberapa media
lokal dan nasional Mesir juga melaporkan bahwa film tersebut menampilkan Nabi
Muhammad SAW sebagai narator cerita meski sekedar dalam bentuk suara.
Salah seorang netizen Mesir, Ahmad Allam, mengomentari
laporan berita yang terbit di salah satu media sosial Facebook dengan berkata
bahwa para produser film The Lady of Heaven sama sekali tidak menghormati agama
Islam. “Dan ketika kita protes sedikit untuk melindungi agama kita, mereka
langsung mengecap kita teroris,” tambahnya.
Dalam kolom komentar di Facebook, Umar Hindawi, salah
seorang netizen lain juga menunjukkan rasa protesnya terang-terangan, “Film ini
tidak boleh tayang!”
Netizen lain, Moona Mahmud, juga bertanya-tanya tentang
posisi Al-Azhar atas ‘penghinaan’ secara tidak langsung ini.
Sedangkan Al-Azhar sendiri, lembaga Islam Sunni paling
besar sedunia, telah mengeluarkan pernyataan resminya pada tanggal 27 Desember
melalui salah satu Dewan Penasihat Al-Azhar, Syeikh Muhammad Mehanna. Isi dalam
pernyataan tersebut menjelaskan keteguhan posisi Al-Azhar dalam melarang segala
bentuk media yang berusaha menampilkan Nabi Muhammad SAW, seluruh nabi, dan
seluruh keluarga para nabi secara visual.
Pernyataan itu sekaligus menegaskan apabila film yang
dimaksud tetap rilis tanpa mengindahkan berbagai laporan dan kritik yang ada,
semakin memperkuat fakta bahwa Barat dan kalangan Syiah ekstremis tidak pernah
menghormati kepercayaan agama lain seperti yang sudah sering terjadi.
Salah satu media lokal Mesir, Al-Monitor, dalam rangka
membantu menjelaskan posisi Al-Azhar dalam situasi ini, bertanya kepada satu
satu masyayikh Azhar. Syeikh yang tidak ingin disebut namanya tersebut
menjelaskan, “Al-Azhar bukan lembaga yang punya wewenang untuk mengijinkan atau
melarang tayangnya sebuah film.”
Seorang narasumber dari Menteri Kebudayaan mengatakan
kepada pihak Al-Monitor bahwa Lembaga Sensor Mesir yang berada di bawah
kementerian-lah yang memiliki wewenang untuk melarang atau tetap membolehkan
tayangnya suatu film asing di negeri mereka.
Lebih lanjut, narasumber tersebut menjelaskan bahwa
Lembaga Sensor tidak bisa memutuskan untuk melarang beredarnya suatu film
sebelum mereka menontonnya terlebih dahulu. Mereka juga meyakinkan masyarakat
bahwa mereka akan sangat mempertimbangkan usulan dan masukan dari Al-Azhar,
terutama jika ada penyelewengan fakta atau sejarah yang ditampilkan dalam film
tersebut.
Perlu diketahui, Lembaga Sensor Mesir pernah melarang
film The Passion of the Christ untuk tayang layar lebar pada tahun 2004
lalu. Begitu juga dengan film Noah dan The Exodus: Gods and Kings
yang rilispada tahun 2014, tidak lain karena film-film tersebut mengisahkan
para nabi.
Beberapa media cetak Mesir seperti Soutalomma dan Al-Wafd
juga menampilkan ketidaksetujuan mereka terhadap film Lady of the Garden ini.
Mereka sepakat bahwa pihak produser film tersebut terlalu memiliki bias
terhadap kematian Fatimah ra.
Alasan mereka berpendapat begitu tidak lain karena salah
satu adegan dalam film tersebut menampikan Fatimah yang sehari-harinya mendapat
perlakuan kasar dari sekitarnya semenjak kematian Nabi SAW. Bahkan sempat
terbersit di pikiran Fatimah untuk melakukan aborsi.
Secara eksplisit film tersebut juga mengisahkan bahwa
kematian Fatimah al-Zahra tidak lain karena ulah dari para khalifah sebelum
Sayyiduna Ali ra, yaitu Abu Bakr, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan ra.
Meski begitu, Tarek al-Shinnawy, salah seorang kritikus
film Arab ternama, percaya bahwa usaha melarang tayangnya film tersebut justru
semakin memancing rasa penasaran warga untuk menontonnya.
“Lama-lama semua orang juga akan tetap menontonnya,
apalagi kalau film tersebut sudah tersedia di internet. Lebih baik film
tersebut tetap dibiarkan tayang, tetapi harus diikuti dengan menghadirkan
kajian dan diskusi lintas agama dan sejarah untuk mengungkap mana fakta dan
mana yang bukan, sehingga semua orang tahu kebenaran dari kisah yang dibawakan
film tersebut,” Tarek menjelaskan.
Muhsin Qandil, salah seorang profesor Sejarah Islam dari
Universitas Kairo, setuju dengan alasan yang disampaikan Tarek. Dia menyatakan
bahwa diskusi serius terkait film tersebut akan mempreteli satu persatu
kesalahan Syiah dalam memahami sejarah. Dia juga menjelaskan bahwa Imam Ali ra
memiliki hubungan baik dengan para pendahulunya, bahkan setelah kematian
Fatimah. Tidak seperti apa yang diklaim Syiah.
“Salah satu buktinya, Imam Ali setuju untuk menikahkan
anaknya, Ummu Kultsum, kepada Umar bin Khattab ra. Bagaimana mungkin Umar bin
Khattab terlibat dalam pembunuhan Fatimah al-Zahra, apabila dia masih
berhubungan baik dengan Imam Ali setelah kematian Fatimah?” tambah profeser
kembali.
Terlepas dari isu kontroversi dan propaganda Syiah yang
melekat pada film tersebut, beberapa media Iran seperti Ijtihad dan Al-Alam
melaporkan bahwa empat ulama Syiah, yaitu: Ayatullah Lutfillah Safi Golpaygan,
Ayatullah Makarem Shirazi, Ayatullah Husein Noori Hamedani dan Ayatullah Ja’far
Subhani, justru mengeluarkan fatwa yang mengharamkan untuk menonton atau
mempromosikan film tersebut.
Tujuan fatwa itu untuk mencegah retaknya hubungan antara
kaum Sunni dengan Syiah. Mereka juga berpendapat bahwa perpecahan internal yang
bakal timbul adalah tujuan dari para musuh Islam yang sebenarnya.
Terkait pernyataan di atas, salah seorang wartawan Mesir
yang aktif di situs Daqaeq, sebuah media yang berbasis di London,
menjelaskan kepada Al-Monitor bahwa jika film ini tetap tayang, jurang
pemisah antara Sunni dan Syiah bakal semakin lebar. Wartawan yang tidak mau
disebutkan namanya ini menjelaskan lagi, apalagi dengan situasi Libia, Syiria
dan Iraq yang ada sekarang, bakal seperti apa konflik yang muncul ke depannya.
Narasumber ini juga menjelaskan, “Jika film ini tetap
tayang di Mesir, Al-Azhar akan dipaksa untuk memaparkan semua kesalahan dalam
sejarah Syiah. Padahal Al-Azhar selama ini tidak pernah menyinggung isu
tersebut semata-mata untuk menjaga hubungan baik antara Sunni dengan Syiah.”
“Nantinya, usaha mencari titik temu untuk mempersatukan
Sunni dengan Syiah akan gagal meski selama ini para ulama Azhar selalu
menekankan poin persatuan, bukan perbedaan. Jika film ini tetap tayang, usaha
yang telah dipupuk selama beberapa dekade ini bisa hancur hanya karena
kesalahan penggambaran kisah Fatimah al-Zahra,” pungkasnya.
Adapun film The Lady of Heaven ini disutradarai
oleh Elli King, dengan Syeikh Yasser al-Habib, salah seorang ulama Syiah di
Kuwait, sebagai penulis naskah.
Film ini direncanakan tayang di layar lebar pada 30
Desember 2020, hanya saja untuk suatu alasan tertentu, penayangan film tersebut
terpaksa ditunda hingga tahun 2021. Tidak ada keterangan resmi terkait alasan
pengunduran jadwal tayang film tersebut. Beberapa media nasional memberitakan
alasan diundurnya film ini tidak lain karena pandemi.
The Lady of Heaven
sendiri memiliki alur maju-mundur. Pertama-tama film tersebut mencoba
mengisahkan tentang seorang anak Iraq yang terlantar karena kehilangan kedua
orang tuanya karena perang saudara. Anak kecil tersebut akhirnya tinggal
bersama neneknya, yang kemudian bercerita kepada si anak, bahwa Fatimah
al-Zahra dulu juga pernah menjadi korban teroris.
Nenek tersebut kemudian berkata, Fatimah sendiri
merupakan korban teroris pertama yang dilakukan oleh Islam. Cerita pun
bergulir.