Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Berita

Mengapa Obama Mengaku Gagal Atasi Konflik Suriah?

Avatar photo
24
×

Mengapa Obama Mengaku Gagal Atasi Konflik Suriah?

Share this article

Barack Obama mengakui bahwa pemerintahannya gagal menangani konflik Suriah selama menjabat Presiden Amerika Serikat. Obama menjadi Presiden Amerika ke-44 selama delapan tahun sejak 2009 hingga 2017.

“Dalam urusan kebijakan luar negeri, tragedi Suriah terus membuat saya sangat menderita,” kata Obama ketika diwawancarai statiun NTV Jerman Rabu (18/11) lalu.

Barack Obama menyaksikan peristiwa Arab Spring 2011 yang terjadi di sejumlah negara Arab. Mesir dan Libya adalah dua negara Timur Tengah yang menjadi perhatian paling utamanya.

“Sesudah terjadi Arab Spring, krisis di Suriah mulai memburuk,” kata orang Afrika pertama yang menjadi presiden AS itu.

“Saya tidak mampu menarik dan meyakinkan masyarakat internasional untuk tidak membiarkan Suriah runtuh. Selama ini saya belum bisa berhenti memikirkan tragedi kemanusiaan yang terjadi di sana,” paparnya dikutip Middle East Monitor, Kamis (19/11).

Suami Michelle Obama itu menghadapi kritik keras di dalam dan luar negeri menyusul penolakannya untuk mengirim pasukan darat ke Suriah.

Presiden AS dari Partai Demokrat itu menyalahkan partainya sendiri atas kegagalan meningkatkan popularitasnya.

“Bahkan setelah maju dalam pemilihan presiden berikutnya, kami tidak dapat memperoleh suara mayoritas di Senat. Saya lebih dibatasi daripada yang saya inginkan,” kata dia.

Baca juga: Syeikh Ramadhan Al-Buthi, Sang Martir yang Tak Gentar Menyuarakan Kebenaran

Selama kepemimpinan Bashar Al-Assad, lebih dari setengah juta warga Suriah terbunuh saat Obama menjalani periode keduanya yang berakhir pada 2016.

Selain itu, rezim Assad memberlakukan pengepungan terhadap ratusan ribu orang di banyak bagian Suriah, menyebabkan jutaan orang mengungsi di dalam dan luar negeri.

Amerika dan Konflik Suriah

Amerika Serikat secara langsung dan tidak langsung terlibat dalam konflik Suriah sejak 2011, ketika gelombang pemberontakan mengubah negara Arab itu menjadi medan pertempuran berdarah bagi berbagai kelompok kepentingan.

Dalam laporan TRT World Oktober tahun lalu, rakyat Suriah sendiri berharap Washington memainkan peran strategis dalam mengakhiri kekerasan yang telah menyebabkan 5.6 juta orang berlindung di luar negeri.

Pada Agustus 2013, Bashar Al-Assad Suriah menyerang daerah yang dikuasai pemberontak di sekitar Damaskus. Dia dituding menggunakan dengan senjata kimia. Lebih dari 1.500 orang kebanyakan wanita dan anak-anak tewas.

Baca juga: Perang dan Pandemi Gebuk Ketahanan Pangan Timur Tengah

Serangan itu terjadi hanya setahun setelah Presiden AS Barack Obama memperingatkan Assad bahwa penggunaan sarin dan senjata kimia lainnya akan menjadi pelanggaran yang dapat memicu pembalasan dari Amerika.

Saat diwawancarai AFP, Presiden Bashar Al-Assad membantah tudingan itu. “Jika kami masih memiliki senjata semacam itu, kami tidak akan menggunakannya.” katanya.

Kesepakatan pelucutan senjata kimia Suriah tercapai pada tahun 2013 sesudah serangan yang dilakukan oleh pemerintah. Presiden Obama waktu itu mengancam akan melakukan serangan udara, namun tak pernah terwujud.

Setelah oposisi Suriah mulai mendapatkan wilayah pada tahun 2012, terjadi perdebatan sengit dalam pemerintahan Obama terkait dukungan Amerika kepada mereka secara militer.

Selain perlengkapan perang, Central Intelligence Agency (CIA) juga memasok senjata kecil dan amunisi kepada oposisi dalam operasi rahasia pada beberapa kesempatan.

Tetapi senjata seperti misil penyengat yang sangat dibutuhkan untuk menjatuhkan jet rezim Bashar tidak pernah disediakan meskipun telah berulang kali dimohonkan oleh kelompok oposisi.

Baca juga: Amerika Tidak Pernah Meninggalkan Timur Tengah

Koordinator SETA Brussels, Talha Kose menilai kebijakan luar negeri Obama di Timur Tengah penuh dengan kebingungan dan kekecewaan, terutama bagi sekutu Washington.

“Obama tidak tertarik dengan masalah kebijakan luar negeri yang rumit,” tulis profesor di Universitas Ibnu Khaldun Turki itu di Daily Sabah selasa lalu (17/10).

Pemerintahan Barack Obama memberikan sinyal beragam dalam banyak perdebatan kebijakan luar negeri yang kontroversial, terutama tentang Suriah dan Afghanistan. Pada titik tertentu, Obama menyerahkan kebijakan luar negeri kepada para pemegang kebijakan luar negeri.

Kontributor

  • Abdul Majid

    Guru ngaji, menerjemah kitab-kitab Arab Islam, penikmat musik klasik dan lantunan sholawat, tinggal di Majalengka. Penulis dapat dihubungi di IG: @amajid13.