Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Berita

Program Kontraterorisme Inggris Suburkan Islamophobia di Kampus

Avatar photo
24
×

Program Kontraterorisme Inggris Suburkan Islamophobia di Kampus

Share this article

Sebuah studi menunjukkan bahwa program kontraterorisme Pemerintah Inggris di kampus meningkatkan stereotip negatif terdahadap Islam dan Muslim.

Studi tentang kontraterosrisme yang terbit pada Senin (14/6/2020) ini digawangi oleh SOAS University of London bersama Universitas Lancester, Durham dan Conventry.

Studi itu menunjukkan bahwa mahasiswa yang mendukung program kontraterorisme di kampus memandang Islam sebagai agama yang tidak toleran terhadap non-Muslim, dilansir dari Middleeasteye, Selasa (14/6/2020).

Celakanya, pemahaman mereka itu meningkat sebanyak tiga persen setelah mengikuti program kontraterorisme di kampus.

Sebaliknya, mahasiswa yang tidak mengikuti program kontraterorisme di kampus dan melihat program itu sebagai persoalan justru percaya bahwa Islam tidak berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat Inggris.

Dan, pemahaman tersebut meningkat sebanyak empat persen dibanding mereka yang mengikuti program pemerintah itu.

Sebanyak empat puluh tiga persen dari 2.000 mahasiswa yang disurvei berpikir bahwa Islam adalah agama yang mendiskriminasi perempuan.

“Hasil studi itu menunjukkan bahwa program pencegahan justru membuat orang secara asumtif mengaitkan Islam dengan radikalisme, dogmatis, intoleran, dan rentan terhadap kekerasan,” kata Mathew Guest, salah satu peneliti.

Hasil studi itu juga menunjukkan bahwa dengan adanya program kontraterorisme tersebut membuat mahasiswa dan staf kampus lebih waspada saat mengikuti diskusi bertema Islam, mereka takut dicurigai sebagai radikal.

Hanya seperempat dari responden yang mengaku bebas mengekspresikan pandangan tentang Islam dalam konteks universtias.

“Studi ini menunjukkan bahwa pihak kampus seharusnya bisa berbuat banyak untuk mengatasi akar islamophobia dan memastikan bahwa mereka tidak sedang mendukung rasisme,” kata Guest.

Kampus, lanjut Guest, sebagai pusatnya orang berpikir kritis, punya tangungjawab moral untuk menjadi yang terdepan dalam menghilangkan stigma tersebut.

Salah satu responden, seorang mahasiswi muslim menyatakan bahwa semua tuduhan masyarakat di luar sana terhadap umat Islam itu terjadi juga di kampus.

“Mereka mengira bahwa saya dipaksa memakai hijab, dan saya tidak punya pemahaman tentang hukum berhijab. Bahkan, mereka pikir saya terbelenggu dan perlu dibebaskan,” katanya.

Lebih jauh, mahasiswa lain yang juga beragama Islam, menyatakan bahwa dirinya sampai takut mempelajari agama Islam.

“Saya pernah ingin mengambil buku tentang Islam. Saya mau mendalami agama saya sendiri. Tapi saya mengurungkan niat itu, takut jadi masalah. Akhirnya saya minta teman kulit putih untuk mengambil buku itu, saya rasa lebih aman begitu,” ucap dia. 

Kasus mengenai kebebasan akademik terjadi di tempat lain. Pada 2018 silam, seorang mahasiswa di Universitas Reading diperingati temannya agar berhati-hari saat membaca esai sayap kiri tentang etika revolusi.

Orang itu lantas menyarankan agar tidak membaca esai tersebut menggunakan alat pribadinya. Atau kalau terpaksa, sebaiknya mengatur perangkatnya seaman mungkin.

Laporan tersebut lantas ditanggapi oleh Juru Bicara Pemerintah Inggris. “Pemerintah berkomitmen dalam memperkuat kebebasan akademik dan kebebasan berbicara di kampus, agar diskusi bisa berkembang dengan pesat.”

“Secara hukum, kampus diwajibkan untuk menjunjung tinggi kebebasan berbicara. Tujuannya agar akademisi, mahasiswa, dan tamu dari luar dapat mendiskusikan subjek-subjek kontroversial di kampus. Ini juga merupakan bagian dari tugas program kontraterorisme itu,” jelasnya.

Kontributor

  • Redaksi Sanad Media

    Sanad Media adalah sebuah media Islam yang berusaha menghubungkan antara literasi masa lalu, masa kini dan masa depan. Mengampanyekan gerakan pencerahan melalui slogan "membaca sebelum bicara". Kami hadir di website, youtube dan platform media sosial.