Setelah lahirnya dua organisasi
(Muhammadiyah dan Al-Irsyad), hati para ulama muslim terbakar, ulama yang
secara turun temurun mempraktikkan mazhab fikih yang empat. Maka mereka
serempak untuk menyelamatkan mazhab dan tradisi para leluhur mereka (Wali
Songo). Maka tergagaslah sebuah Jam’iyyah yang bisa melawan kedua organisisi
terebut. Tepat pada 16 Rajab 1344 H atau 13 Januari 1926 M, Nahdlatul Ulama (NU)
berdiri dengan menjadikan Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Am.
Jam’iyyah ini secara tegas menyatakan,
dalam Qanun Asasi-nya, terikat dengan empat mazhab fikih , yang berlandaskan
pada kitab-kitab mu’tabarah sesuai ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Prinsip ini terus dipegang erat semasa
muassis (pendirinya) hingga kemudian Hadratus Syeikh digantikan oleh para
penerusnya. Para penerusnya mulai lupa tujuan awal berdirinya NU dan lebih memprioritaskan
urusan politik, tak begitu peduli dengan urusan agama kecuali dalam
momen-momen tertentu saja.
Biasanya mereka beralasan untuk
menyesuaikan tuntutan zaman, kita harus memprioritaskan urusan politik,
mengedepankan toleransi hukum fikih, demi terwujudnya persatuan sesama anak
bangsa, baik non muslim maupun muslim seperti kelompok Muhammadiyah. Saat
itulah tali mazhab sedikit demi sedikit menjadi semakin longgar sehingga saat
ini kita saksikan sudah tak ada beda antara pengikut NU dan pengikut
Muhammadiyah.
Yang saya tulis ini bukan sekedar
tuduhan yang dibangun berdasarkan dendam, marah dan dengki. Tapi semua ungkapan
ini muncul dari realitas. Saya akan tunjukkan bukti-buktinya:
Dulu NU sangat menekankan adanya tabir
penghalang antara pria dan wanita yang bukan mahram dalam beragam even yang
dihelat. Tapi sekarang sudah tak ada tabir dan penghalang itu.
Dulu NU melarang kaum wanita membuka
auratnya di depan laki-laki. Tapi kini, wanita-wanita kita telah berani membuka
aurat tatkala naik kereta atau pesawat.
Dulu NU anti dengan alat musik. Tapi kini
alat musik sudah akrab dengan pengikut NU.
Tak perlu memperpanjang daftar
pergeseran nilai yang terjadi dalam NU karena akan membuat kita keluar dari
inti pembahasan. Yang disayangkan: tatkala ada yang mengritik fenomena ini, kalangan
NU banyak yang tak terima; seakan kiamat sedang terjadi. Dalih mereka: kita
sedang dalam era berdakwah. Dahulukan toleransi dan perilaku yang lembut.
Mereka lupa bahwa bersikap lembut terhadap kemunkaran itu tercela dalam banyak
hadis shahih.
Nalar Politik NU
Dalam tubuh NU ada sekelompok orang
yang dideskripsikan Gus Dur “seperti akan sakit jika tidak berpolitik”,
sehingga “perlu dibuatkan wadah supaya tidak gentayangan, gak jelas.” Deskripsi yang sebenarnya penuh guyonan dan bikin orang tertawa tapi sangat
mewakili kenyataan di lapangan.
Umumnya penelitian tentang NU dibagi
menjadi empat fase: pertama, dimulai dari pendirian (komite Hijaz)
sampai dengan keputusan NU untuk terlibat dalam politik praktis tahun 1955 M. Kedua,
fase 1955-1971 M, yakni kerterlibatan NU dalam percaturan politik nasional,
baik di tingkat eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga, masa fusi
partai; pada masa NU melebur ke dalam PPP sebagai kontestan pemilu. keempat,
di atas tahun 1984 setelah NU menyatakan keluar dari PPP dan memfokuskan
perjuangan model para muassisnya (kembali ke Khittah 1926 M).
Dari sini, apa yang dikatakan Senori
ad benarnya: di mana syahwat politik NU sangat mendominasi. Sehingga urusan
agama tak lagi menjadi prioritas. Para jama’ahnya disibukkan oleh urusan
politik. Isu utama masa itu: agama dan relasinya dengan negara. NU mengambil
sikap politik Sunni, yang memilih mengintegrasikan agama ke dalam negara, dan
secara tegas menolak sistem negara agama. Secara mengejutkan NU menerima
Pancasila sebagai asas tunggal mendahului semua organisasi islam yang ada di
Indonesia.
Interaksi NU dengan negara, seperti
dalam disertasi Andree Feillard di Sorbonne University, berubah-ubah sesuai
tuntutan dan prinsip yang diyakini dalam politik Sunni: terkadang kooperatif,
akomodatif, oposan, dan opurtunistik. Semua didasarkan pada paradigma fikih dan
ushul fikih, di mana maslahat menjadi prioritas dan kalau perlu mengambil
resiko terkecil sehingga terkesan opurtunistik. Sikap politik yang terkesan opurtunistik dalam tubuh Sunni (NU Indonesia),
menurut Ridwan Sayyid, adalah hal yang lumrah mengingat maslahat (pragmatisme agama),
perdamaian, menghindari darah kaum muslimin mengalir, adalah prioritas utama
yang tidak bisa ditawar.
Buku Ad-Durr Al-Farid Senori selesai
ditulis 1967 M, yang jika merujuk pada fase NU ada di fase kedua (1955-1971 M):
sebuah fase yang berat karena harus mengintegrasikan agama ke dalam negara
bangsa, sekaligus terlibat aktif dalam politik nasional. Sebagai sebuah
organisasi keagamaan dan masyarakat, NU memiliki tantangan tersendiri di masa
itu. Masing-masing organisasi sedang bermetamorfosa, menguji mental dan
menguatkan identitas keagaman yang beririsan dengan kebangsaan. NU memilih
untuk menerima sistem negara modern Indonesia yang berasaskan Pancasila dan itu
tidak mudah.
Kiai Abul Fadhol Senori adalah seorang
kiai tradisional yang terkenal kealimannya (seperti kesaksian Mbah Maimoen
Zubair, muridnya) namun menolak terlibat aktif dalam organisasi NU yang
didirikan langsung oleh gurunya, Hadratus Syeikh. Sehingga dinamika politik
kiai-kiai NU terlepas dari pengamatannya secara jernih. Ijtihad-ijtihad politik
yang dilakukan kiai-kiai NU bukan berdasarkan syahwat tapi atas pertimbangan-pertimbangan
rasional dan maslahat demi NU dan bangsa di masa depan.
Sehingga fase (1960-1965 an) ini
ditandai dengan sikap kooperatif dan akomodatif NU dengan rezim Soekarno. Tokoh-tokoh
utama NU masa itu juga bergejolak antara yang menuntut NU berubah menjadi
partai atau tidak. Kiai Wahid Hasyim (ayah Gus Dur) menolak menjadikan NU
sebagai partai setelah resmi keluar dari Partai Masyumi. Sebab, baginya,
bahayanya terlalu besar. Masyumi sendiri kemudian dibubarkan resmi oleh
Soekarno 1960 M karena dianggap terlibat makar dengan PRRI. Sementara Kiai Wahab Chasbullah
beralasan bahwa Islam dan politik seperti gula dan manisnya; tak mungkin
dipisahkan.
NU dan Muhammadiyah
Setelahnya tentu saja tragedi berdarah
PKI, naiknya Soeharto (1965 M) sebagai presiden diktator dalam sejarah Indonesia
menjadikan NU sebagai musuh kulturalnya. Jadi suasananya sangat mencekam dan
tak bisa disederhanakan bahwa NU sudah bergeser dari nilai-nilai luhur
pendirinya. Atau NU sudah tak bisa lagi mempertahankan prinsip akibat toleransi
kebablasan, sehingga tak ada bedanya antara NU dan Muhammadiyah. Ada
irisan-irisan sejarah yang tak terhindarkan dan NU harus melibatkan diri di
dalamnya sebagai pelaku sejarah. Dan jika ditelisik secara cermat, NU tidak
sedang ‘menjual’ prinsip dan keyakinannnya. Dengan kesadaran bahwa di sana ada
hal yang lebih besar yang harus dipertahankan bersama: keutuhan dan persatuan
anak bangsa. Ini sikap kompromis-logis yang tidak menyalahi bagian awal Qanun
Asasi NU. Jika tidak, maka keutuhan bangsa ini tak bisa diselamatkan, akan tercabik-cabik.
Sikap NU dan tokoh-tokohnya adalah
manifestasi keagamaan yang terus berdialog dengan zaman. Kelak jalinan
NU-Muhammadiyah semakin nyata melalui gagasan ukhuwah islamiyah (saudara
seagama) Kiai Achmad Shiddiq. Tak hanya tawaran teoritis-ideologis tapi Kiai
Achmad melangkah lebih jauh dengan mengulurkan tangan pada Pak AR, ketua PP
Muhammadiyah saat itu. Gayung bersambut betapapun lambatnya proses yang
menyejukkan hati itu. Sementara untuk non-muslim digagas ukhuwah wataniyah (saudara
sebangsa) yang secara resmi dijadikan sikap bersama NU semenjak Munas NU 1987
di Cilacap.
Musik dalam NU
Selebihnya, Kiai Abul Fadhol Senori
mengritik tradisi dan amaliah sehari-hari berkaitan dengan percampuran antara
lain jenis, aurat wanita dan alat musik. Sebuah pandangan ulama tradisional
yang memang terus dilestarikan dalam komunitas ulama NU. Sampel yang dihadirkan
mungkin terjadi di sebagian daerah, di even-even kampanye yang memang
dimaksudkan menyedot partisan sebanyak-banyaknya tanpa memerdulikan background
demi suara NU di parlemen. Bukan pemandangan lumrah di tengah Nahdliyyin.
Ada potret kecil yang disajikan Gus
Dur dalam bukunya Kiai Nyentrik Membela Pemerintah yang bisa membenarkan
kritik Mbah Senori. Dikisahkan dari Kiai Wahab Sulang dari Rembang yang
kebetulan memiliki istri anggota DPRD; asyik dan getol menghadiri acara non
santri di pendopo kabupaten. Campur baur dengan nyonya-nyonya Golkar dan Kopri
dalam acara “maksiat” yang berupa tarian-tarian gending. Namun di forum-forum kiai, Kiai Wahab Sulang bisa sangat ketat tatkala
menganalisis dan melahirkan hukum sesuai pendapat mayoritas. Kiai semacam ini
tak pernah diasingkan dari komunitasnya. Ini menunjukkan betapa sumber daya NU
sangat variatif dan pemikiran keislaman berjalan dinamis.
Sementara musik dan alat musik seperti
diadopsi oleh Muhammadiyah semenjak masa pendirinya (Kiai Ahmad Dahlan),
dianggap sebagai bagian modernitas yang tak bisa ditolak; musik dianggap
sebagai media dakwah yang efektif. NU sebagai organisasi yang dari awal berdiri
dibangun atas dasar reaksi atas Muhammadiyah dan aliran modernis anti mazhab,
sudah selayaknya memilih sikap berbeda terhadap musik.
Musik, dalam kaca mata fikih Mbah
Senori, masuk kategori haram. Ini sejalan dengan prinsip gurunya, Hadratus
Syeikh Kiai Hasyim Asy’ari, dan sebagian ulama. Meski yang diharamkan Hadratus
Syeikh adalah musik yang memang ada riwayat hadisnya, seperti gendang yang
bentuknya kecil di perut (at-tabl al-kubah), bukan yang rata. Hadratus Syeikh juga pernah menulis At-Tanbihat Al-Wajibat Li Ma Fil Mawlid
min Al-Munkarat, bahwa alat musik termasuk faktor eksternal yang bisa
mempengaruhi hukum maulid.
Ada kisah sangat masyhur antara
Hadratus Syeikh dengan wakil rais NU, Kiai Faqih Maskumambang. Saat Hadratus
Syiekh berkunjung ke Maskumambang Gresik, maka Kiai Faqih segera menyembunyikan
bedug masjid. Meski tahu yang diharamkan oleh Hadratus Syiekh bukan bedug tapi
gentungan yang biasa dipakai di beberapa mushalla dan masjid di pulau Jawa dengan
menulis buku berjudul Al-Jasus Fi Hukmi An-Naqus. Dengan pertimbangan
bahwa islam sudah memiliki tradisi yang dilegalkan oleh syariat berupa azan.
Ada barisan ulama yang mengharamkan
nyanyian dan musik seperti Imam As-Syafi’i, Qadhi Abu At-Thayyib At-Thabari,
Imam Malik, Sufyan bin Uyaynah dan sekelompok ulama karena illat tertentu:
lahwun (membuat lalai), syiar kaum fasik, di mana mereka berkumpul untuk
minum dan pesta.
Sebenarnya musik dan lagu-lagu tak
ditentang oleh islam selama sesuai dengan batas-batas yang ditentukan. Kiranya,
semua dalil yang diajukan kelompok anti musik dan nyanyian sudah dibantah oleh
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumidin, bab as-sima’ wa al-wajd. Al-Ghazali
menjadikan riwayat hadis tentang budak-budak wanita Habsyah (Etiopia-Afrika) yang
bermain musik dan menyanyi disaksikan oleh Nabi Saw dan istrinya, Aisyah,
sebagai sandaran utama kebolehan musik dan bernyanyi.
Genre musik, lagu, even, gaya,
penyanyi dan tempat bernyanyi menentukan hukum musik dan dalam pandangan islam.
Yang membuat musik dan nyanyian menjadi haram, biasanya, disebabkan faktor
eksternal, bukan internal:
Pertama, karena adanya percampuran pria-wanita
non muhrim. Yang kita anut semenjak masa Nabi Saw hingga sekarang: suara wanita
bukan aurat. Tapi berbeda jika suara biduan; Nabi sendiri membiarkan Siti
Aisyah melihat dan mendengarkan lantunan lagu dan musik yang dimainkan oleh jariyah
(dua budak wanita) hingga Siti Aisyah sendiri merasa bosan. Kejadian ini terjadi
pada hari lebaran. Hukum akan berbeda tatkala kita mendengar nyanyian biduan di
masa kini.
Kedua, alat musik yang dipakai. Selama
tidak memakai mizmar (seruling), autar (gitar) dan tabl kubah (gendang
yang kecil di perutnya) maka permainan musik diperbolehkan. Semisal dufuf (terbang)
yang dipakai oleh jariyah meski dengan kecrek.
Ketiga, isi lagu yang dinyanyikan.
Selama tidak menyimpan pesan seksisme, tabu, ajakan untuk bermaksiat,
melecehkan agama, Allah dan RasulNya maka nyanyian apapun diperbolehkan.
Semisal, lagu tentang perjuangan, cinta Allah dan RasulNya, cinta tanah air,
dst.
Keempat, jika pendengarnya adalah awam
dan pemuda yang gampang sekali menyalah artikan lagu maka musik dan lagu bisa
menjadi haram. Jadi illat hukum haramnya bersifat eksternal. Bahkan Al-Ghazali menyimpulkan
bahwa Imam As-Syafi’i tak pernah mengharamkan musik dan nyanyian, sebab
As-Syafi’i memakai redaksi “makruh”, “batil”, pelakunya disebut “safih”
(bodoh).
NU sejak tahun 1930-an sudah mendirikan
grup drumband untuk meramaikan even-even besar yang dihelat. Grup ini juga
berfungsi sebagai perlawanan propaganda Komunis Indonesia. Musik sebagai bagian
dari kebudayaan dirasa penting untuk dijadikan media dakwah oleh NU. Jika
tidak, maka ruang ini akan diisi oleh kelompok lain seperti Komunis Indonesia. Di
kemudian hari, NU bahkan membuat badan otonom, Lesbumi (Lembaga Seni Budaya
Muslim Indonesia), sebagai perlawanan pada Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat)
milik PKI pada 1952, mendirikan ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Indonesia) pada 1961 M yang booming
di era 80-an hingga 90-an sebelum kemudian tersingkir oleh Seni Banjari.
Jadi kesadaran seni dan musik dalam
kultur NU sudah sangat mengakar; keduanya tak bisa diabaikan sebagai media dakwah
alternatif. Bahkan jika kembali ke belakang, ke masa Wali Songo, maka kesadaran
semacam ini merupakan tradisi berislam Nusantara. Tradisi berislam yang asyik
dan mengapresiasi nilai-nilai estetika di tengah masyarakat. Bukan berislam
secara menyeramkan, kaku dan tak mau keindahan seni dan musik. Sesungguhnya
Allah Maha Indah dan mencintai keindahan.