Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Agama sebagai kritik sosial

Avatar photo
38
×

Agama sebagai kritik sosial

Share this article

Ada sejumlah ironi yang dapat dibaca dalam praktek masyarakat agama di satu sisi dan tataran ideal yang terkandung dalam doktrin agama pada sisi lain. Di antara ironi yang dapat kita sebut misalnya pertanyaan, kenapa praktek korupsi yang dimusuhi oleh agama justru subur di negeri penganut agama? Pertanyaan seperti ini juga seringkali dibandingkan dengan pernyataan, justru dalam masyarakat yang tidak menyebut dirinya sebagai negara agamis seperti Singapura, Cina, Swiss, sekedar menyebut beberapa negara saja, tingkat korupsinya jauh lebih rendah.

Idealnya, masyarakat yang secara kultural dipengaruhi oleh ajaran agama yang menawarkan nilai-nilai moral tinggi, prilaku korupsi tidak akan berkembang baik. Tetapi faktanya tidak demikian. Indonesia dapat dijadikan wajah masyarakat yang secara kultural akrab dengan tradisi ajaran agama, tetapi perilaku korupsi masyarakatnya kian mengganas.

Lantas orang mulai menyaksikan korelasi antara kinerja agama dan menguatnya tindak korupsi. Memang ada alibi yang biasanya diajukan oleh para penganut agama dengan mengatakan, bukan agamanya yang salah, tetapi penganut agamanyalah yang keliru. Dengan alibi itu, agama sebagai dokumentasi doktrin menjadi terselamatkan. Sedangkan penganut agama menjadi tertuduh. Jika duduk soalnya ada pada si penganut, berarti ada masalah pada cara beragama termasuk bagaimana cara mempersepsi agama.

Dengan begitu, penganut agama selalu memerlukan tafsir-tafsir baru yang relevan atas agama yang dapat dimanfaatkan untuk memaknai realitas hidup yang kian dinamis. Hajat terhadap tafsir baru itu sejatinya sudah diingatkan oleh Nabi dengan mengatakan “antum a’lamu bi umuri dunyakum” (kalian lebih tahu tentang urusan-urusan duniamu).

Sejauh menyangkut tindak korupsi, sekedar contoh untuk menarik relasi antara prilaku penganut agama dan ajaran agama, ada dua tipologi masyarakat untuk menangkal kejahatan korupsi; masyarakat rasional dan masyarakat beriman. Sebut saja negara-negara seperti disebut di atas sebagai tipologi pertama. Lantas bagaimana dengan Indonesia yang sebut saja sebagai masyarakat beriman?

Menghubungkan agama dengan tindak korupsi hanyalah sampel untuk mengevaluasi keberagamaan kita selama ini. Lebih jauh kita ingin melihat bagaimana sebaiknya mengelola keberagamaan kita di tengah-tengah gemuruh krisis bangsa. Sangat sering kita mendengar di masjid-masjid para khatib dan da’i mengatakan bahwa, krisis bangsa ini merupakan ujian dari Tuhan dan karenanya harus kembali kepada agama.

Pernyataan ini selintas benar tetapi kering dari maknanya yang rasional dan progresif. Dengan kata lain, bagaimana cara kembali kepada agama? Kita masih terlalu mengandalkan bahasa agama yang normatif dan seringkali masuk dalam jebakan ibadah ritual simbolik, sementara dimensi rasional dan praksisnya masih belum mendapatkan perhatian yang cukup. Mempraktekkan secara tekun ibadah ritual-individual adalah baik. Karena dengan itu kita sedang mencuci jiwa dan ber-hablum minallah. Tetapi berhenti di titik kesalehan individual dan menistakan kesalehan sosial (hablum minannaas) adalah, bentuk tidak langsung dari pelecehan terhadap agama.

Bahkan al-Qur’an menyebutkan sebagai pendusta agama (yukadzibu bi al-dien). Karenanya, fenomena menguatnya tingkat korupsi di negeri bermasyarakat agama sekaligus menjadi kritik terhadap lemahnya aktualitas ibadah sosial. Lemahnya ibadah sosial bisa jadi sebagai akibat dari lemahnya kekuatan moral dan cara pikir yang rasional dalam memaknai agama. Maka, menumbuhkan aspek moralitas dan rasionalitas masyarakat agama dan mengembangkan teologi pembebasan adalah kebutuhan yang layak dipertimbangkan.

Krisis bangsa yang merupakan problem rill kemanusiaan tidak cukup hanya didekati dengan bahasa yang emosional seperti, maaf, ber-istighasah atau sekedar ramai-ramai membuang air mata di masjid-masjid. Bentuk pertaubatan seperti itu tentu saja penting sebagai upaya penguatan jiwa (self-reflection) untuk menambah daya spiritualitas manusia agar selalu tahan terhadap godaan untuk berbuat kebatilan. Dan tidak harus dimaksudkan untuk memaksa Tuhan untuk merubah keadaan. Karena Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya”.

Maka yakinlah, perubahan pada tingkat manusia hanya dapat ditentukan oleh manusia itu sendiri melalui nature of law (sunatullah) yang tersedia. Dengan mengikuti prosedur sunatullah itu berarti sudah mengikuti titah Allah SWT. Misalnya, jika seseorang mengharap rizki tanpa melakukan aktifitas yang menghasilkan uang, ia tidak mungkin mendapatkannya. Itu sudah menjadi prosedur hukum alam.

Karenanya, gagasan keagamaan yang rasional dan progresif harus menjadi inspirasi bagi terselenggaranya perubahan kearah kemajuan (taqaddum). Adalah menarik untuk menyimak kata-kata filsuf Muslim modern Muhammad Iqbal dalam Javid Nama, “Tuhan hanya menciptakan malam, manusialah yang menyalakan lampunya”, “Tuhan hanya menciptakan lempung, manusialah yang membuat patungnya”.

Petuah Iqbal itu mengandung makna bahwa, betapa kreatifitas dan progresifitas manusia sebagai wakil Tuhan sangatlah penting sebagai bagian dari menjalankan agama. Nasihat Iqbal itu secara kontekstual sedang ditujukan kepada, umat Muslim yang tengah asyik berpelukan dengan agama hanya pada batas ritualismenya dan menggandrungi sisi mistik agama dengan sangat berlebihan.

Kegagalan menghadapi modernitas dialihkan kepada dipeluknya sisi-sisi mistisisme yang menjauhkan umat Islam dari realitas duniawi. Padahal kata Nabi, “I’mal li dunyaka kaannka ta’isyu abadan wa’mal li akhiratika kaannaka tamuutu gada” (Dan bekerjalah untuk akhiratmu, seakan-akan engkau akan mati esok hari). Ini mengisyaratkan bahwa soal dunia dan soal akhirat sama pentingnya untuk digarap secara serius.

Inilah indahnya Islam yang menawarkan konsep keseimbangan hidup. Refleksinya adalah, apakah kita masih mau tertuduh oleh kritik Iqbal yang mengatakan, “Peradaban Barat berhasil melihat dunia tetapi gagal melihat akhirat, sedangkan Peradaban Timur (Islam) berhasil melihat akhirat tetapi gagal melihat dunia”. (The Reconstruction of Religious Thought in Islam: 1960).

Jadi, mengatasi krisis bangsa yang semakin akut ini yang dibutuhkan tidaklah semata melakukan taubat jamaah dan secara beramai-ramai menggandrungi dunia mistik sebagai obat pelipur lara. Kegiatan memeluk sisi tasawuf dari agama haruslah dianggap sebagai proses penyucian jiwa yang pada urutannya harus ditransformasikan sebagai energi untuk melakukan perubahan.

Bekerja secara keras dan cerdas adalah bagian dari mode beragama yang dianjurkan. Agama harus digerakkan secara fungsional untuk membangkitkan gairah berpikir dan bekerja. Sebaliknya agama jangan dijadikan alat pelemah dengan menggiring umatnya ke tempat-tempat keterasingan hanya untuk meratapi nasib.

Fungsionalisasi agama dalam ranah sosial menjadi sangat penting sebagai perekat bagi keutuhan kehidupan sosial. Karena di dalamnya mengandung spirit moral yang tinggi. Bahkan agama menurut Durkheim merupakan keharusan fungsional (functional necessity) bagi problema kemasyarakatan.

Karena itu, mengaluri jalan pikiran Durkheim, keagungan dan keberhasilan suatu agama bukanlah terletak pada keindahan narasi-narasi doktrinnya yang termuat dalam Kitab Suci, melainkan bagaimana ia ditampilkan dalam wajah sosialnya. Ukuran ini memang terlalu sosiologis dan terkesan menggampangkan. Tetapi, begitulah cara pandang empirik yang justru, dalam banyak hal kita gagal menunjukan keindahan ajaran agama dalam ranah sosialnya.

Maka, keindahan ajaran agama tidak boleh tersimpan dalam dokumen Kitab Suci dan, hanya terjabarkan lewat retorika para khatib dan da’i. Melainkan harus tumbuh secara praksis dalam ruang publik yang empirik. Kalau tidak, jangan heran jika kemudian agama dituduh sebagai opium seperti yang dilakukan oleh Karl Marx. Nada benci Karl Marx harus dipahami sebagai kritik terhadap agama (gereja), yang pada waktu itu mandul menghadapi problem sosial kemasyarakatan.

Lebih dari itu, agama tradisional, kata Asghar Ali Engineer, jika diformulasikan dalam teologi pembebasan, dapat memainkan peran penting sebagai praksis yang revolusioner, dibanding dengan agama yang hanya berupa upacara-upacara ritual yang tidak bermakna. Asghar menegaskan bahwa, agama dalam bentuk tradisional hanya merupakan ilusi, tetapi bisa menjadi kekuatan yang mengagumkan bila ditampilkan dalam bentuk yang membebaskan. Wallahu a’lam bisshawab.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.