Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Ajak Rusia Ukraina hentikan perang, mari mengingat pidato perdamaian Grand Syekh al-Azhar di Jerman 2016 silam

Avatar photo
44
×

Ajak Rusia Ukraina hentikan perang, mari mengingat pidato perdamaian Grand Syekh al-Azhar di Jerman 2016 silam

Share this article

Kenapa mudah sekali terjadi peperangan di antara sesama manusia padahal mereka sama-sama mengetahui bahwa sejarah konflik hanya akan meninggalkan kepedihan? Untuk apa mereka menjatuhkan bom-bom ganas di atas kepala anak-anak kecil, orang tua renta dan para wanita yang berada pada kondisi tak berdaya itu? Demi sebuah kekuasaan, harga diri, eksistensi, perbedaan ideologi, khayalan-khayalan, ataukah nyawa manusia memang tidak lagi diperhitungkan?

Barangkali pertanyaan-pertanyaan inilah yang sedang berkecamuk di dalam hati mereka yang mengimani risalah-risalah ilahiah ketika melihat tentara-tentara Rusia melancarkan agresi militer ke negara tetangganya sendiri, Ukraina.

Imam Besar al-Azhar Grand Syekh Ahmad at-Tayeb, salah satu pemimpin paling otoritatif di dunia Islam saat ini, menulis dalam akun Twitternya Sabtu (26/2/2022) yang kemudian dikutip oleh media-media masa di Timur Tengah:

“Perang hanya akan membawa lebih banyak kehancuran dan kebencian ke dalam dunia kita. Dan, konflik hanya dapat diselesaikan melalui dialog. Jadi, saya meminta Rusia dan Ukraina untuk memperhatikan suara akal sehat. Saya juga meminta para pemimpin dunia dan lembaga internasional untuk mendukung solusi damai untuk mengakhiri konflik antara kedua tetangga”.

Baca juga: Grand Syekh al-Azhar: Perang hanya menambah kehancuran dan kebencian

Selang seminggu kemudian hari, tepatnya Ahad (6/3) ia menekankan kembali statemennya dengan mengatakan:

“Apa yang kita saksikan tentang adanya intimidasi terhadap warga Ukraina yang tenteram dan keluarnya mereka dari halaman rumahnya untuk mencari keselamatan dan keamanan, adalah ujian yang nyata terhadap kemanusiaan kita. Saya menyerukan kepada masyarakat internasional untuk menggandakan bantuan kemanusiaan ke Ukraina dan mengerahkan upaya lebih lanjut untuk menghentikan perang. Saya memohon kepada Allah Swt. untuk mempercepat terwujudnya hal tersebut dan mengembalikan orang-orang yang tidak bersalah ini ke rumah mereka dengan selamat.”

Statemen yang disampaikan oleh Grand Syekh al-Azhar tersebut bukanlah semacam “penghias bahasa” yang lalu lalang di berita-berita dan kemudian menghilang begitu saja, juga bukan sejenis statemen yang substansinya mengawang-ngawang di pikiran si penulis itu sendiri, atau semacam fakta ilmiah yang digembar-gemborkan tetapi pada sektor riilnya miskin implementasi dan aksi.

Lebih dari itu, bahwa setiap statemennya, khususnya yang berhubungan dengan perdamaian global, adalah wujud dari keluruhan kemanusiaan (indra, akal, hati dan mata hati) dan pengalaman riil (kiprah, prestasi dan sumbangsih nyata sepanjang hayat) dari  Grand Syekh sendiri sebagai Rijal ad-din yang sangat peka dan tanggap terhadap kondisi sosial dan keagamaan. Tidak mengherankan jika setiap statemennya mempunyai power yang tinggi dan menjadi acuan penting bagi para pemikir muslim maupun non muslim di seluruh dunia.

Pelabelan tersebut secara logis tidaklah berlebihan, karena lebih dari 15 tahun lamanya Grand Syekh al-Azhar telah menyuarakan dengan lantang dan kontinu mengenai komitmen “negara-negara maju” atas stabilitas perdamaian global, menyuarakan keadilan sosial bagi setiap individu, menjaga hak asasi manusia, kebebasan berkeyakinan dan menginisiasi dialog antar umat beragama yang berasaskan atas persatuan umat, keharmonisan dan naluri kemanusiaan.

Bisa dipastikan bahwa hampir di setiap kali ada isu-isu penting mengenai krisis kemanusiaan di dunia pada abad ini selalu ada sumbangsih positif darinya. Namun, pada tulisan ini hanya akan dipaparkan pidato Grand Syekh Ahmad at-Tayeb yang disampaikannya di Jerman pada kunjungan kali pertamanya ke Universitas Münster tahun 2016. Pidato tersebut mempunyai aura kuat yang tidak biasa, penuh emosional dan tentu saja masih sangat relevan hingga saat ini. Pidato tersebut berjudul: as-Salamu Awwalan.

Pada forum itu, perwakilan tingkat tinggi Islam dan Kristen mengeluarkan seruan yang tegas tentang perdamaian yang ditujukan kepada negara-negara dan komunitas agama di seluruh dunia.

Sedangkan Grand Syekh al-Azhar sendiri secara khusus menceritakan memorial kehidupan pribadinya yang sangat getir tentang sejarah konflik dan peperangan, menuturkan aspek-aspek penting mengenai sumber ketidakadilan di negara-negara Timur, menjelaskan peran agama Islam mengenai perdamaian dalam arti luasnya yang secara tidak langsung menolak dengan logis dan faktual berbagai tindakan kekerasan yang didakwakan atas nama Islam.

Kemudian sebagai salah satu solusi terpenting yang ditawarkannya yaitu, menjadikan dialog dan kerukunan lintas agama sebagai langkah konkret bersama untuk terbebas dari krisis-krisis kemanusiaan yang sedang terjadi saat ini dan yang berkemungkinan terjadi di masa depan.

Ia mengumumkan komitmen nyatanya untuk mewartakan sebuah pesan untuk perdamaian global, “Kita semua harus mengambil sikap melawan hegemoni barbarisme dan kekacauan, khususnya terorisme sebagai ekses terburuk dari krisis politik yang sudah terjadi. Semua muslim dipanggil untuk merangkul perdamaian”.

Menurutnya, terorisme lintas negara apabila tidak diperhatikan dengan seksama akan mudah berkembang, semakin kuat dan berimbas pada “kembalinya umat manusia ke dalam keadaan barbarisme dan kekacauan yang barangkali belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia sebelumnya”.

Isi Pidato Grand Syekh al-Azhar di Jerman

Berikut ini rangkuman pidato Grand Syekh Ahmad at-Tayeb yang berjudul as-Salamu Awwalan (penulis berusaha membahasakannya ulang dengan narasi yang berbeda namun masih mempertahankan substansi pokoknya):

Izinkan saya, wahai tuan-tuan dan para intelektual yang budiman, untuk menyampaikan visi saya dalam masalah ini dengan cara yang tidak biasa, yakni sebuah visi yang telah membentuk pemikiran saya dalam pencarian yang melelahkan menyoal “perdamaian”, yang telah lama saya rindukan, terutama dalam beberapa tahun terakhir di mana Timur-Arab menjadi ajang harian dalam pertumpahan darah, kehancuran dan kematian.

Pembicara yang berdiri di depan Anda, wahai tuan-tuan, mewakili satu generasi utuh yang barangkali saya tidaklah salah ketika mengatakan bahwa generasi ini belum pernah menikmati kedamaian kecuali sesaat. Dan di sela-sela kedamaian yang sesaat itu, terjadi banyak konflik dan peperangan yang menimpa atasnya. Perang tersebut terjadi tanpa adanya alasan yang masuk akal, dan tidak ada logika yang dapat diterima di sana.

Saya menyaksikan, sebagai seorang anak yang belum genap berumur sepuluh tahun waktu itu, agresi al-‘Udwan as-Tsulatsi (agresi tiga negara: Britania Raya, Prancis dan Israel) terhadap Mesir pada tahun 1956. Pada peristiwa itu, saya dan teman-teman saya mengalami kepanikan dan teror mencekam luar biasa yang tidak ingin saya ingat dalam ingatan saya lagi. Sedangkan saya sudah berusia tujuh puluhan tahun sekarang.

Sepuluh tahun belum berlalu dari peristiwa al-‘Udwan as-Tsulatsi, terjadi perang baru pada tahun 1967 yang mengambil alih rasa keamanan kami lagi. Lima tahun setelahnya, kami hidup dalam suasana yang menyesakkan, berat dan membuat frustrasi. Seluruh daratan Sinai hilang dalam sekejap mata, dan bahaya yang mencekam pun datang di pekarangan pintu rumah. Kami hidup dalam ekonomi perang yang hampir tidak bisa memenuhi kebutuhan primer kami. Dan jika saya pernah lupa, sungguh saya tidak akan pernah melupakan penghancuran sekolah beserta seluruh siswanya, perempuan dan laki-laki!

Kemudian datanglah perang Harb at-Tahrir (6 Oktober) pada tahun 1973 di Mesir. Ada rasa yang berbeda kali ini. Pada peristiwa ini kami belajar untuk pertama kalinya sebuah arti kemenangan dan kebanggaan memulihkan martabat.

Setelah semua peperangan tersebut usai, kami mengira bahwa Timur Arab sudah memasuki fase stabilitas dan pembangunan yang komprehensif untuk mengejar kereta kemajuan, perdamaian dan kemakmuran. Namun, tidak berselang lama, perang baru dari jenis yang berbeda terjadi dan membuat kami kewalahan, dengan teori-teori yang lebih modern dan canggih.

Konflik bersenjata yang terjadi di dalamnya tidak ditujukan pada musuh eksternal, melainkan dikobarkan apinya di antara anak-anak senusa dan sebangsanya sendiri. Hal tersebut terjadi setelah “membuka bumi” dan menjadikannya sarang ketegangan sektarian, perselisihan etnis dan mazhab. Dibarengi dengan mengekspor senjata ke pihak-pihak yang berkonflik itu. Kemudian setelahnya babak baru pertikaian pun dimulai dengan konflik-konflik sengit yang melibas dataran yang hijau dan yang kering.

Akal sehat dibuat kebingungan untuk mencari satu alasan logis mengenai penyebab kehancuran yang hampir terjadi pada semua kawasan Timur-Arab ini. Kediktatoran tidaklah perlu diselesaikan dengan menjatuhkan bom-bom ganas dengan berbagai macam pesawat tempur canggih pada orang-orang yang aman, menghancurkan rumah-rumah mereka, membunuh anak-anak, para perempuan dan orang-orang tua.

Kelompok-kelompok etnis dan mazhab telah lama hidup berdampingan di wilayah ini dengan aman dan damai dalam waktu yang lama. Agama dan mazhab-mazhab tidaklah lahir hari ini, tetapi sudah berumur lama setua umur agama dan mazhab itu sendiri.

Mereka hidup damai di bawah naungan peradaban Islam tanpa diganggu keyakinan maupun dikebiri kemampuannya, melainkan itu semua adalah elemen yang mengandung kekayaan, kohesi dan keterpaduan dalam membangun struktur kehidupan bersama dan kemajemukan sosial.

Akal pikiran juga kebingungan untuk menjelaskan pecahnya perang-perang ini yang terjadi secara simultan di satu wilayah saja dan terjadi di antara anak-anak bumiputra dari bangsa yang sama, tanpa terjadi pada semua bangsa di muka bumi!

Saya mencermati peta dunia yang ada di depan saya sekali lagi, mencari di antara benua-benuanya untuk memastikan di daerah mana saya bisa mendengar derap senjata, atau melihat air terjun-air terjun darah, atau saya bisa melihat antrean orang-orang yang melarikan diri dan berkeliaran di padang pasir di bawah dinginnya salju dan hujan tanpa tempat berlindung, makanan dan obat-obatan. Rupa-rupanya saya tidak menemukan ajang kegetiran yang ajaib ini selain di kawasan Arab dan Islam.

Saya bertanya-tanya, apakah wilayah kami sedang mengalami kondisi-kondisi tertentu atau perubahan yang memaksakan terjadinya perang seperti yang telah terjadi tersebut, dan kami tidak tahu kapan berakhirnya? Akankah revolusi melawan salah satu sistem yang berkuasa di zaman kami ini akan memicu perang internal di negara ini selama beberapa tahun tanpa berhenti meski sehari atau setengah hari saja?! Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang sampai sekarang masih dicari jawaban logisnya tetapi tidak ditemukan.

Satu-satunya kepastian yang saya dapatkan di tengah banyaknya pertanyaan yang membingungkan ini, bahwa Islam, atau agama-agama, tidak mungkin berada di belakang neraka jahim ini, yang pecah dan kehilangan kendali, meskipun penerima manfaat dari perang ini telah mengeksploitasi agama sebagai bahan bakar untuk memastikan terjadinya perang, melestarikan konflik dan penghancuran yang berkelanjutan.

Saya tidak ingin memperpanjang bukti-bukti tragis yang ada di Timur Tengah. Anda tentu sudah mengetahui atau mungkin lebih paham mengenai konflik di sana daripada saya. Tetapi saya ingin mengatakan bahwa tidak tepat untuk mengarahkan pencarian kita pada penyebab hilangnya perdamaian dalam ajaran agama-agama samawi, melainkan penyebabnya harus dicari dalam situasi-situasi politik dan konflik yang terjadi di dalamnya baik dalam lingkup regional maupun internasional, adanya politisasi dan hegemoni dominasi dunia, dan di dalam kredo-kredo ekonomi yang bebas dari kendali moral di mana para pendukung, filsuf, dan ahli teorinya tidak keberatan mengenai adanya fakta sejumlah kecil orang menikmati kebahagiaan dan kekayaan yang sangat melimpah dengan mengorbankan banyak sekali masyarakat yang tidak mampu bersaing. Dan pengkultusan, penimbunan kekayaan, kemakmuran, pengetahuan dan kemajuan di “Utara”, sedangkan di waktu bersamaan terjadi kemiskinan, tersebarnya penyakit, kebodohan dan kesengsaraan yang menumpuk di “Selatan”.

Kita harus mencari akar masalah tersebut tidak hanya dalam ketidakadilan yang dilegalkan antara kedua sisi perimbangan tersebut, tetapi kita harus mencari penyebabnya dalam kebijakan-kebijakan peradaban besar kontemporer yang tidak merasa melakukan sebuah kesalahan tatkala menciptakan “musuh-musuh ilusi”, yang kemudian semangat perang ditujukan terhadapnya. Konflik politik pun diekspor kepada musuh-musuh ilusi itu agar menjauh dari tanah airnya untuk memperoleh persatuan kelas dan perdamaian sosial bagi dirinya sendiri dalam rangka menghadapi musuh-musuh eksternalnya yang ada di luar sana.

Kompleksitas hubungan internasional tersebut, yang telah mengarah pada beberapa refleksi negatif, bertanggung jawab atas sedikit banyaknya penderitaan di dunia Arab dan dunia Islam. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang didirikan untuk menjaga keamanan dan perdamaian internasional itu, selayaknya dapat berkontribusi dalam mengentaskan masalah Timur Tengah dan sekitarnya untuk menyelamatkan para janda, orang-orang lemah dan anak yatim yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan konflik ini!

Adapun pilar-pilar ajaran perdamaian di dalam agama, saya (Grand Syekh Ahmad at-Tayeb) pada kesempatan kali ini tidak mampu untuk menambah satu kata pun mengenai tema terkait dari apa yang pernah saya sampaikan pada konferensi-konferensi dialog antar agama di ibu kota Eropa, Amerika dan Asia selama lima belas tahun terakhir ini.

Oleh sebab itu, agar saya tidak  melelahkan pendengaran Anda sekalian, maka saya akan meringkas apa yang menjadi keyakinan saya mengenai tema tersebut, yakni sesuai pandangan agama yang saya imani sebagai ajaran yang toleran dan memberi rahmat bagi semesta alam:

Pertama: agama-agama samawi tidak diturunkan kecuali untuk memberi panduan bagi umat manusia kepada jalan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, mengajarkan mereka nilai-nilai kasih sayang, kebenaran dan kebaikan. Dan sesungguhnya Tuhan telah memuliakan manusia di atas semua makhluk lainnya, Dia menjadikannya khalifah di bumi-Nya, Dia melindungi darah, harta, dan kehormatannya. Jika Anda pernah mendengar atau membaca bahwa salah satu agama samawi mengizinkan pertumpahan darah atau perampasan hak, maka ketahuilah bahwa di sini ada penipuan dalam menggambarkan kebenaran agama tersebut.

Kedua: kami umat Islam mengimani bahwa Islam bukanlah agama yang terpisah dari agama-agama samawi yang telah ada sebelumnya, seperti Kristen, Yahudi dan Abrahamik. Al-Qur’an bahkan mengajarkan kepada kita bahwa agama ilahi adalah agama tunggal yang disebut “Islam”, yang berarti: ketundukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, menyembah-Nya, memasrahkan diri secara total kepada-Nya, dan mengimani bahwa yang disebut “agama” dalam percakapan kita adalah: risalah-risalah ilahi yang membentuk lingkaran berkelanjutan dalam rantai agama yang padu.

Dari sini kami menemukan bahwa Islam sesuai dengan risalah-risalah sebelumnya dalam prinsip-prinsip akidah, pokok-pokok akhlak, dan terkait satu sama lainnya secara nyata. Iman kepada para nabi, rasul-rasul sebelumnya dan mengimani kitab-kitab samawi yang diturunkan kepada mereka juga merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinan seorang muslim kepada Muhamad Saw dan al-Qur’an.

Bahkan, al-Qur’an memberitahu kita bahwa apa yang Allah Swt syariatkan untuk Rasulullah Saw adalah sama dengan apa yang disyariatkan kepada nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa ‘alahim as-salam. Hal ini menjelaskan kepada kita mengenai keterbukaan Islam terhadap agama-agama samawi yang mendahuluinya, khususnya Kristen, yang tentu saja kita semua sudah mengetahuinya secara jelas mengenai adanya keterkaitan tersebut.

Ketiga: di dalam al-Qur’an terdapat tiga fakta yang saling berkaitan mengenai pandangan Islam menyoal kemanusiaan dan pembaruannya tentang jenis hubungan yang harus dipatuhi oleh umat Islam dalam interaksi mereka dengan orang lain. Tiga fakta tersebut yaitu:

Fakta pertama: kehendak Tuhan atas ciptaan-Nya menuntut untuk menciptakan manusia dengan berbagai macam agama, keyakinan, warna kulit, bahasa dan jenis kelamin. Perbedaan ini pada kenyataannya tidak bisa berubah dan tidak bisa hilang.

Fakta kedua, yang secara logis mengikuti fakta pertama, yaitu: bahwa tidak ada jalan keluar dari takdir mengenai hubungan antara suku-suku dan kaum yang berbeda ini kecuali hubungan “saling mengenal”, yang berarti: gotong royong. Al-Qur’an menetapkan hubungan ini dan mengungkapkannya dengan kata “at-Ta’aruf” dalam surat al-Hujurat, ayat 13.

Hubungan antara dua fakta tersebut merupakan korelasi logis yang ketat, karena tidak bisa dibayangkan ketika Tuhan menciptakan umat manusia dengan agama yang berbeda, dan pada saat yang sama membiarkan mereka mengubah hubungan di antara satu sama lainnya menjadi hubungan konflik, perkelahian, atau bahkan hubungan yang saling berperang.

Hal tersebut merupakan sebuah kontradiksi yang nyata antara “kebebasan berkeyakinan” dengan “perampasan hak”. Ketika kontradiksi ini seandainya dibenarkan, akan terjadi pertempuran tiada akhir yang berujung pada pemaksaan individu untuk menganut satu keyakinan saja. Sungguh pengandaian yang tidak sesuai dengan syariat Tuhan itu sendiri.

Di sini memunculkan fakta sejarah, bahwa umat Islam tidak pernah menghunuskan pedang kepada orang lain karena keyakinan atau agama mereka. Ya, kecuali ketika orang lain berubah menjadi musuh dan kemudian memerangi masyarakat muslim hingga memaksanya untuk membela diri. Jadi, pertempuran tersebut terpaksa terjadi karena adanya agresi dan bukan karena agama.

Adapun fakta ketiga, yang masih terkait dengan dua fakta sebelumnya, dan merupakan penghubung antara kesimpulan dan premis-premis yang telah disebutkan, yaitu: kebebasan dalam berkeyakinan. Islam menjamin kebebasan dalam berkeyakinan dan melindungi hak-hak tersebut. Dalam poin ini mungkin saya akan mengingatkan Anda tentang sebuah ayat yang barangkali Anda langsung mengingatnya karena sudah hafal di luar kepala sejak lama:

﴿ لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴾ ) البقرة: 256(

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Dan hadits Nabi Muhamad Saw, semoga Allah swt. memberkatinya dan memberinya kedamaian:

مَنْ كَرِهَ الْإِسْلَامَ مِنْ يَهُودِى وَنَصْرَانِيٍّ، فَإِنَّهُ لَا يُحَوَّلُ عَنْ دِينِهِ.

“Siapa pun yang membenci Islam, baik dari orang yahudi maupun nasrani, dia tidak boleh dipindahkan dari agamanya (dimurtadkan)”.

Keempat: al-Qur’an mengikrarkan bahwa Allah Swt mengutus Muhamad sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Kata al-‘alamin jauh lebih luas cakupannya daripada kata al-muslimun. Bahkan dalam filsafat Islam, kata al-‘alamin itu lebih umum daripada dunia manusia. Karena kata tersebut di samping mencakup dunia manusia juga mencakup dunia hewan, tumbuhan dan benda mati.

Al-Qur’an memberi khitab kepada Muhamad Saw dengan mengatakan:“Kami tidak mengutus kamu kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam”.

Kemudian Muhamad Saw memberi khitab kepada umat manusia dengan mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya aku adalah rahmat yang dihadiahkan (oleh Allah)”.

Tentu saja wujud riil dari rahmat Rasulullah Saw sangat banyak dan tidak mungkin untuk disebutkan semuanya di kesempatan yang terbatas ini. Sebagai contohnya, pada kondisi perang ajarannya melarang untuk membunuh orang-orang tua, mereka yang lemah, para wanita, anak-anak dan orang-orang buta di tentara musuh. Juga larangan membunuh hewan mereka, kecuali untuk kebutuhan makanan dengan kadar seperlunya, larangan menghancurkan dan menyabotase rumah mereka, mencabut tanaman dan merobohkan tempat peribadatan mereka.

Sungguh aneh bahwa pelajaran welas asih terhadap manusia, hewan, tumbuhan, dan benda mati tersebut sampai kepada kita dari kondisi di mana belas kasihan tidak “dianjurkan” pada umumnya peraturan. Karena ini adalah keadaan perang dan permusuhan di mana kekejaman diperbolehkan, dan tidak diizinkan pada kondisi selain berperang. Tapi begitulah ajaran sosok yang dijuluki “rahmatun muhdatun” itu, yang membentangkan jubah rahmatnya ke seluruh dunia, bahkan pihak musuh pun memiliki bagian dari rahmat tersebut.

Nabi yang penyayang terhadap hewan ini mengatakan kepada kita bahwa seorang wanita masuk neraka karena seekor kucing yang dia kurung. Si wanita tidak memberinya makan atau pun tidak melepaskannya untuk mencari makan sendiri dari hama-hama yang ada di bumi.

Disebutkan dalam riwayat yang lain, Nabi diberitahu bahwa ada seorang pria memberikan minum pada seekor anjing di hari yang sangat panas. Atas kabar tersebut, Tuhan memaafkannya dan memasukkannya ke dalam surga-Nya. Inilah sekelumit ajaran rahmat yang diteladankan oleh Baginda Nabi Muhamad Saw.

Kelima: arahan-arahan al-Qur’an dalam mengaitkan Islam dengan perdamaian tidak hanya terbatas pada nilai pokok dari rahmat itu sendiri dan kemudian membiarkan kaum muslim berhias dengan karakter kemanusiaan yang luhur ini, atau bisa jadi mereka malah meninggalkan ajaran luhur ini karena paksaan atau karena pilihan. Lebih dari itu, istilah “damai” dan kata turunannya yang ada di dalam al-Qur’an diintensifkan dengan cara yang luar biasa, hingga Islam dan perdamaian menjadi dua sisi mata uang yang sama (mustahil dipisahkan).

Cukuplah sebagai bukti kecilnya bahwa kata “damai” dan kata turunannya disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak seratus empat puluh kali, berbeda dengan kata “perang” dan turunannya yang muncul dalam enam kali saja. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Islam menetapkan prinsip “damai” sebagai ajaran pokok dalam interaksi  antara sesama muslim sendiri maupun hubungan mereka dengan non-muslim. Dan, di sisi lain, filosofi al-Qur’an tidak memiliki tempat sama sekali untuk hubungan yang mengarah pada konflik dan pertikaian dengan mereka yang menginginkan perdamaian dari golongan non-muslim.

Sekarang, bagaimana cara kita mengaktualisasikan konsep perdamaian dalam agama-agama ke dalam realitas yang kompleks ini? Dan jawaban yang saya simpulkan dari pidato saya adalah: pertama-tama perdamaian harus diimplementasikan di tengah-tengah orang yang memeluk agama-agama itu sendiri, dan tidak hanya di antara masyarakat dari agama yang sama.

Ini adalah dilema yang membutuhkan dialog intelektual untuk mencari titik-titik kesamaan antar agama, sungguh betapa banyak dan pentingnya. Jadi, selama orang-orang beragama tidak berdamai di antara mereka sendiri, maka tidak ada harapan untuk berhasilkendati mereka berkemampuan untuk menyerukan perdamaian dan memberitakannya di antara orang-orangkarena sesiapa yang tidak memiliki entitas yang dibutuhkan, dia tidak akan mampu memberikannya kepada orang lain.

Adapun “bagaimana bentuk dan cara dialog antar agama” bisa terealisasikan, itulah yang perlu saya dengar dari Anda sekalian.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Penutup

Saya pikir pidato Grand Syekh Ahmad at-Tayeb di atas sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat muslim secara umum dan para Azhari secara khusus sebagai sikap moderat dalam menyikapi konflik peperangan yang terjadi saat ini baik yang berskala domestik maupun internasional.

Sangat disayangkan ketika masyarakat muslim terombang-ambing oleh berita yang beredar sekarang, sangat memilukan pula ketika air terjun darah dan krisis kemanusiaan itu dicitrakan menjadi meme-meme lucu. Dan, lebih tragisnya lagi, banyak dari kawan-kawan kita yang membagikannya seolah tidak ada masalah dengan tindakan “vandalisme” itu.

Tentang krisis kemanusiaan yang membahayakan perdamaian global, saya berpikir bahwa setiap muslim perlu mempunyai sikap yang jelas mengenainya, minimalnya bersikap di dalam hati dan pikirannya sendiri. Tapi sikap seperti apa yang sekiranya paling benar menurut panduan agama kita? Saya meyakini secara penuh bahwa sikap Grand Syekh Ahmad at-Tayeb mengenai tema terkait merupakan pilihan yang tepat dan brilian sesuai syariat Islam. Semoga demikian.

Kontributor

  • Bumi Sepuh Hafidzahullah

    Nama aslinya Syamsudin Asyrofi, aktifis Lakpesdam NU, mahasiswa S2 di Universitas Al-Azhar Mesir jurusan Tafsir dan Ulumul Quran dengan konsentrasi tesis bertemakan tafsir sufistik dalam bingkai sosial.