Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Apa Akhlak Seseorang Bisa Diubah?

Avatar photo
36
×

Apa Akhlak Seseorang Bisa Diubah?

Share this article

Dalam sebuah momen, ada seorang kiai
kampung berceramah dengan menggebu-gebu sambil mengatakan bahwa akhlak
seseorang tidak bisa diubah, meski bagaimanapun kedalaman ilmu orang itu.
Kiai berafiliasi pada FPI ini memang terkenal keras,
gegabah, dan sering mengutip satu pendapat meski (tahu atau memang tidak tahu)
di sana ada pendapat lain. Efeknya, Islam yang rahmatan lil ‘alamin
tertutupi oleh model dai semacam ini. Yang mengherankan dia selalu disambut
meriah oleh pendukung fanatiknya.

Benarkah akhlak tidak bisa diubah? Pendapat Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumidin berikut
bisa memberi pencerahan. Akhlak dalam pandangan Imam Ghazali bersifat dinamis
serupa dengan badan. Baik dan buruknya akhlak sama dengan sehat dan sakitnya
badan. Sebagaimana sehat dan sakit bisa diusahakan demikian pula akhlak.

Benar, baiknya akhlak ada yang bisa
diusahakan,
ada
pula yang bersifat wahbi (pemberian). Imam Al-Ghazali memberi argumentasi
logika jika akhlak tidak bisa diubah maka nasihat tidak ada gunanya. Artinya
keberadaan agama sebagai nasihat juga tidak ada gunanya. Al-Ghazali juga
mengajukan fakta eksperimental tentang hewan liar yang kemudian bisa jinak
karena dilatih, apalagi manusia?! Dalam doa yang diajarkan oleh Nabi saat
bercermin, “Ya Allah perbaikilah akhlakku sebagaimana engkau membuat
tampilan lahirku baik”, adalah salah satu hadis yang menguatkan pendapat
ini.
Bahkan Nabi Saw diutus ke dunia semata-mata
menyempurnakan akhlak.

Semua argumentasi di atas menegaskan
bahwa akhlak bisa berubah dengan pembiasaan.
Karenanya Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai “kondisi hati
yang sudah mendarah daging, dari sana muncul perilaku tanpa perlu dipaksakan
dan berpikir panjang”. Seseorang yang melakukan kebaikan menurut agama tak
lantas mendapat label “baik akhlak”nya selama belum menjadi tabiat
yang tidak perlu dipaksa. Sebaliknya, seorang miskin yang jarang berbagi tak
lantas kita sebut dengan “kikir” karena memang di tangannya tidak ada
yang bisa dibagi. Akhlak adalah pembiasaan secara berulang-ulang hingga menjadi
tabiat yang sulit ditinggalkan.

Artinya orang kaya yang
berbagi tak bisa disebut “dermawan” bila masih ada keterpaksaan dalam
hatinya. Sebagaimana orang miskin tak bisa disebut “kikir” karena
memang tak ada yang bisa dibagi. Di sini, ada simbiosis mutualisme antara hati
yang ikhlas berbagi dengan tangan (tampilan lahir) yang berbagi; apa yang
muncul dari hati akan berubah menjadi aksi di luar; sebaliknya pembiasaan lahir
akan memengaruhi kondisi hati. Awalnya, akhlak yang baik harus dipaksakan untuk
kemudian berubah menjadi kebiasaan.

Untuk terwujudnya akhlak dalam
definisi Al-Ghazali
,
harus melalui empat tahap:

a. Adanya perbuatan yang berlabel baik
dan buruk
.

b. Kemampuan mempraktikkannya.

c. Pengetahuan
yang memadai mengenai hal itu
.

d. Kemudahan (tanpa paksaan) dalam
mempraktikkan salah satunya.
Akhlak
merupakan tingkatan terakhir: kemudahan dalam mempraktikkannya.

Induk Akhlak
yang Baik

Menurut Imam Al-Ghazali,
ada empat induk akhlak yang bisa dijadikan standar baik dan buruknya moral
seseorang: hikmah (kebijaksanaan), keberanian, menjaga diri, dan sikap adil.
Hikmah adalah kemampuan untuk memilih mana yang terbaik, keberanian adalah
sikap tengah antara sembrono dan pengecut, menjaga diri adalah keputusan untuk
bersikap sesuai tuntunan syariat dan akal sehat, sikap adil adalah kesanggupan
mengatur ritme syahwat dan kemarahan sesuai panduan syariat.

Keseimbangan keempat induk
akhlak ini akan menyeimbangkan sikap dan moral seseorang. Namun tak ada yang
benar-benar seimbang mempraktikkannya selain Rasulullah Saw. sementara orang
selain Rasul akan beragam. “Sesungguhnya Allah membagi-bagikan akhlak
kalian sebagaimana rejeki kalian”. Jadi, tak sama antara satu orang dengan
yang lainnya.

Akhlak Sama
dengan Mengubah Tabiat?

Pengingkar pendidikan
moral, biasanya, menyandarkan argumentasinya pada “tabiat tak mungkin bisa
diubah seperti postur tubuh yang tak bisa diubah. Biji kacang yang ditanam akan
menumbuhkan kacang; tak mungkin akan tumbuh ubi-ubian.”

Yang harus disadari bahwa
pendidikan bukan “mematikan” tabiat karena memang tidak mungkin.
“Tabiat pemarah” bukan dimatikan tapi diarahkan. Sebab kemarahan
tetap diperlukan, semisal syariat jihad tak akan terlaksana jika sikap marah
mati dan hilang dari seseorang. “Syahwat” bagaimanapun tetap
diperlukan demi keberlangsungan anak keturunan manusia. Tanpa syahwat maka
spesies manusia akan punah.

Nabi Saw secara tegas
pernah mengatakan, “Sesungguhnya saya manusia, saya marah sebagaimana
manusia lainnya marah.”
(HR. Muslim). Al-Qur’an juga memakai redaksi, “Dan
orang-orang yang menahan amarah.”
(QS. Al-Imran: 134) tatkala memuji
orang mukmin. Bukan memakai redaksi “dan orang-orang yang mematikan
amarah”. Jadi, pendidikan moral adalah “mengarahkan” bukan
“mematikan” seperti asumsi Budhisme.

Kategori
Manusia dalam Pandangan Etik

Pertama, ada manusia yang
berperilaku sekenanya, mengikuti apa yang dia saksikan di sekitarnya. Tipe
semacam ini mudah diarahkan.

Kedua, ada manusia yang
sudah mengetahui yang baik dan yang buruk namun dia kalah oleh syahwatnya: tipe
seperti ini lebih sulit diarahkan karena harus mencabut kebiasaan buruknya
untuk kemudian ditanamkan kebiasaan baik. Namun masih bisa diarahkan.

Ketiga, manusia yang
terdidik dengan moral bejat sehingga dia mengira hal itu yang terbaik. Tipe
manusia semacam ini hampir mustahil diarahkan.

Keempat,  manusia yang mirip dengan kategori ketiga
namun dibarengi rasa bangga, maka tipe ini yang tidak mungkin diarahkan. Karena
hanya akan membuang-buang waktu dan energi.

Setiap pendidik harus
mengetahui kategori-kategori ini agar bisa mengindentifikasi siapa yang ada di
hadapannya. Sehingga bisa mendidik dengan benar. Posisi pendidik, dalam
pandangan Al-Ghazali, sama dengan seorang tabib/dokter; dia harus mengobservasi
penyakit pasien, kemudian menentukan formulasi obat dan kadarnya. Kegagalan
mengobservasi dan menentukan resep akan berakibat fatal.

 Bagi yang kikir maka hendaknya diarahkan agar
terbiasa berbagi hingga menjadi tabiat tanpa dipaksa. Bagi yang menyimpan sifat
sombong dan gila penghormatan maka hendaknya dipaksa bersikap tawadu’ (rendah
hati). Pendidik bisa menyuruhnya belanja ke pasar, mengerjakan hal-hal hina
(yang masih dibolehkan syariat), bahkan meminta-minta di pasar agar sifat sombongnya
benar-benar hilang. “Sembahlah Allah dalam kerelaan (ridha). Jika tidak,
maka dengan kesabaran atas apa yang tak disenangi; dalam kesabaran ada banyak
kebaikan.” (HR. At-Tabari). Semua harus dibiasakan secara paksa sebelum
kemudian berubah menjadi kenikmatan dan kelezatan.

Terminal Akhir
Akhlak

Tujuan akhir akhlak yang
terpuji, menurut Al-Ghazali, adalah menyingkirkan kecintaan pada dunia dan
menggantinya dengan cinta Allah. Sehingga tak ada yang dirindukan kecuali
Allah. Dia akan memakai seluruh harta kekayaannya hanya di jalan ridha Allah,
mengarahkan kemarahan dan syahwatnya sesuai standar akal dan syariat. Bukan
tidak mungkin, seseorang akan dianugerahi apa yang dianugerahkan Allah pada
Rasul-Nya, berupa kesenangan dan kelezatan dalam shalat dan ibadah lainnya.
Tentu dengan volume yang tidak sama dengan apa yang dirasakan oleh Rasulullah.

Pembiasaan bisa memberi
pengaruh yang unik dalam diri setiap manusia. Lihat bagaimana seorang pejudi
bisa menikmati hari-harinya padahal judi telah merusak keharmonisan rumah
tangganya, menghabiskan harta kekayaannya. Seorang penyabung ayam bisa kuat
berjam-jam di tempat sabung meski cuaca sedang panas oleh terik matahari.
Bahkan hatinya sangat bahagia dan menikmatinya. Demikian pula apa yang
dirasakan oleh seorang ahli ibadah yang sudah membiasakan diri dan mendapat
anugerah kenikmatan ibadah; atau seorang dermawan yang sudah menikmati
kedermawanannya. Semua bergantung pada “kebiasaan” dan itulah yang
disebut akhlak dalam perspektif Al-Ghazali. 

Kontributor

  • Abdul Munim Cholil

    Kiai muda asal Madura. Mengkaji sejumlah karya Mbah Kholil Bangkalan. Lulusan Al-Azhar, Mesir. Katib Mahad Aly Nurul Cholil Bangkalan dan dosen tasawuf STAI Al Fithrah Surabaya