Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Benarkah Kalimat Tauhid itu Absolut?

Avatar photo
40
×

Benarkah Kalimat Tauhid itu Absolut?

Share this article

Dalam banyak kesempatan, Gus Baha sering menyatakan bahwa kalimat tauhid ‘La ilaha illallah’ (Tiada tuhan selain Allah) merupakan kalimat yang mengandung kebenaran absolut; keabsolutannya sebanding dengan proposisi matematis “1 + 1 = 2”. Kadang, Gus Baha juga menambahi keterangan: keabsolutan itu artinya tidak tergantung pada subjek, situasi, kondisi, dan sekian aksiden lainnya.

Benarkah kebenaran dalam kalimat tauhid itu absolut?

Dalam studi tentang epistemologi, baik dari kalangan teolog maupun filsuf, dikenal istilah ‘pengetahuan yang pasti’ (dlarurat), ‘pengetahuan elementer atau bawaan’ (badahiyyat), dan ‘apriori’ (ma qabla at-tajribah). Ketiga istilah ini beririsan, kendati berbeda titik tekan di sana dan sini. Dengan itu, saya ingin membedah keabsolutan kalimat tauhid berdasarkan irisan-irisan tiga istilah tadi.

Pertama, pengetahuan yang pasti dinilai dari sumbernya ada kalanya (i) berasal dari pengetahuan apriori (awwaliyyat), yakni pengetahuan yang (1) setara antara satu orang dengan orang yang lain, dan (2) pengetahuan yang tidak membutuhkan bukti bahkan ia menjadi bukti; dan ada kalanya (ii) berasal dari pengetahuan aposteriori, yakni (1) dihasilkan setelah pengalaman, dan (2) diusahakan (muktasab). Filsafat modern, misalnya Kant, menyebut pengetahuan jenis ini sebagai pengetahuan apodiktik, yakni pengetahuan yang benar atau terbukti sepenuhnya, atau memiliki kepastian yang melampaui sanggahan atau keberatan (dikutip dari Kamus Filsafat, Simone Blackburn). Dan Kant juga menggolongkan pengetahuan ini ke dalam kategori modalitasnya. Dengan begitu, pengetahuan ini, meskipun tidak bersifat elementer, akan tetapi ia dapat menjadi pengangan untuk menentukan pastinya suatu proposisi atau pernyataan atau kebenaran.

Kedua, pengetahuan elementer atau bawaan. Kadang, antara pengetahuan elementer dengan pengetahuan apriori dianggap sama. Dalam hal ini, sebagaimana ditegaskan oleh Murad Wahbah dalam ‘Mu’jam Falsafi’-nya, pengetahuan elementer adalah pengetahuan yang terbukti dengan sendirinya, atau pengetahuan yang benar di awal kedatangannya. Dengan kata lain, pengetahuan jenis ini adalah pengetahuan yang dihasilkan manusia tanpa berpikir. Kadang pula, pengetahuan elementer dalam hal kepastiannya, tidak dibedakan dari pengetahuan pasti yang diusahakan (al-‘ilm al-yaqini al-muktasab). Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Asy’ari, dikutip oleh Syekh Ahmad At-Tayyib dalam ‘Nadzarat fi Fikr al-Imam al-Asy’ari’. Pengetahuan jenis ini contohnya adalah: kemustahilan bertemunya dua hal yang bertentangan dalam satu waktu dan satu tempat. Contoh lebih khusus: pengetahuan tentang wujud yang tidak mungkin lepas dari ada kalanya azali atau ia tidak ada kemudian mewujud.

Ketiga, pengetahuan apriori. Secara bahasa, a priori berarti mendahului pengelaman. Artinya, pengetahuan jenis ini didapat tidak berdasarkan kejadian tertentu di dunia aktual. Kaum rasionalis mengakui adanya pengetahuan jenis ini, namun kaum empiris menolak semua jenis pengetahuan kecuali yang berasal dari pengalaman. Kant berusaha menjembatani kedua aliran tersebut, dengan membedakan secara tegas mana pengetahuan apriori dan mana pengetahuan aposteriori. Perdebatan ini amat panjang, namun kesimpulan padat yang mungkin bisa kita pegang adalah kesimpulan Muhammad Baqir Ash-Shadr dalam bukunya ‘al-Usus a-Manthiqiyyah li al-Istiqra’: “Jika tidak ada pengetahuan jenis Apriori, bagaimana mungkin bisa ada kebenaran absolut, termasuk kebenaran dalam pernyataan ‘tidak ada pengetahuan jenis Apriori’?”

Ditunjau dari makna ketiga istilah di atas, kita mendapat irisan-irisan sebagaimana berikut:

1. Pengetahuan elementer merupakan salah satu sumber bagi pengetahuan yang pasti

2. Pengetahuan apriori bersifat pasti karena ia mendahului pengalaman

3. Pengetahuan yang pasti ada kalanya berasal dari pengetahuan elementer dan ada kalanya bersumber dari penalaran

4. Setiap pengetahuan elementer bersifat pasti tapi tidak setiap pengetahuan yang pasti itu bersifat elementer, begitu juga pengetahuan apriori: setiap pengetahuan apriori bersifat pasti tapi tidak setiap pengetahuan yang pasti itu bersifat apriori

5. Pengetahuan elementer mencakup semua jenis pengetahuan, sementara pengetahuan apriori biasanya tertuang dalam proposisi logika dan matematika

Setelah kita mengetahui irisan-irisan di atas, lantas bagaimana dengan kalimat tauhid?

Kalimat tauhid yang diproklamirkan Gus Baha dalam banyak ceramahnya tentu tidak bersifat elementer maupun apriori. Tidak bersifat elementer karena: (i) pengetahuan tentang keesaan Tuhan, yaitu Allah, tidak setara di antara seluruh manusia, dan (ii) keesaan Tuhan membutuhkan bukti, dan tiap-tiap pengetahuan yang membutuhkan bukti pasti merupakan pengetahuan yang diusahakan. Tidak bersifat apriori karena: (i) yang dimaksud dengan aprioritas adalah pengetahuan yang memungkinkan pengalaman, seperti pengetahuan manusia tentang ruang dan waktu, dan (ii) konsep tentang tuhan (dan metafisika secara umum) tidak dapat didapat melalui akal murni (yang merupakan istilah lain daripada pengetahuan apriori), sebagaimana proposisi logis dan matematis (dan sebagian proposisi fisika).

Proposisi matematika “1 + 1 = 2” bersifat pasti atau absolut karena merupakan proposisi tautologis atau analitis, yakni konsep tentang subjek terkandung dalam predikatnya. Angka “2” merupakan simbol yang menunjukkan apa yang ditunjukkan oleh “1 + 1”, tidak kurang dan tidak lebih. Artinya, predikat dalam proposisi ini tidak menambahi pengetahuan tentang konsep subjek itu sendiri. Kalimat tauhid, ditimbang sebagai proposisi, menyatakan penyangkalan dan penetapan, yakni bahwa “tiada tuhan selain Allah”. Jika diungkapkan dalam proposisi afirmatif, maka akan berbunyi: Allah adalah satu-satunya tuhan. Kendati proposisi ini dinilai analitik, karena predikatnya mengandung sebagian atau keseluruhan konsep subjek, hanya saja tidaklah ia bersifat apriori. Pengetahuan apriori merupakan pengetahuan intuitif (transendental) tentang ruang dan waktu, yang mana tidak mungkin ditemukan oleh indra.

Jadi, kalimat tauhid merupakan pengetahuan absolut yang diambil dari pengetahuan yang diusahakan. Dengan kata lain, pengetahuan itu bersifat penalaran. Hal inilah yang ditegaskan oleh Imam Asy’ari sebagaimana dikutip oleh Syekh Ahmad At-Tayyib, yakni bahwa pengetahuan atas Allah itu bukan pengetahuan elementer melainkan diusahakan. Sang Imam mengutip banyak ayat, di antaranya: (i) Muhammad, 19, (ii) Al-Baqarah: 196, (iii) Al-Baqarah: 231, (iv) At-Taubah: 36. Lantas pertanyaannya, apakah ada pengetahuan non-elementer dan non-apriori yang sampai kepada tingkatan pasti dan absolut? Jawaban atas pertanyaan ini membutuhkan beberapa mukadimah:

1. Penalaran yang benar akan mengantarkan kepada pengetahuan yang benar

2. Pengetahuan yang benar dari segala sisi pasti bersifat absolut

3. Pengetahuan yang bersifat absolut dalam metafisika ketuhanan diraih melalui analogi, yakni menganalogikan yang tak-tampak (tak-hadir) dengan yang tampak (hadir)

Mukadiham ketiga, bagi Syekh At-Tayyib, merupakan inti dari filsafat kalam-nya Sang Imam. Jika semua syaratnya terpenuhi, tidak mustahil pengetahuan yang pasti soal ketuhanan dapat dicapai. Agar analogi ini dapat diterima dan mengantarkan kepada pengetahuan yang pasti, harus diperhatikan tiga kaidah berikut ini:

1. Tidak bersandar atau bergantung pada hukum dalam diri-yang-tampak (syahid)

2. Harus mengonsep sebab (illat) dalam diri-yang-tampak

3. Harus ada kesamaan sebab dalam yang-tak-tampak (ghaib)

Kaidah ini secara utuh dipakai oleh Ibn Rusyd dalam menafsirkan ayat “apabila di langit dan bumi ada tuhan selain Allah, maka keduanya akan rusak” (Al-Anbiya’: 22). Menurut Ibn Rusyd, ayat ini berbicara tentang kemustahilan adanya lebih dari satu tuhan yang mana tindakan mereka satu. Analaginya adalah analogi kota yang dipimpin lebih dari satu pemimpin. Pastilah kota itu rusak karena dua pemimpin ini memiliki kehendak yang berbeda-beda. Konsep sebab dalam diri-yang-tampak, yakni pemimpin kota, memiliki kesamaan dengan sebab dalam yang-tak-tampak, yakni tuhan. Ibn Rusyd mempertegas argumen ini dengan kaidah yang menegasi sifat ketuhanan: “Apabila dua tindakan dari satu jenis bertemu dalam satu objek, niscaya objek itu akan rusak/lenyap.” (Lihat: Manahij al-Adillah).

Tapi bagaimana jika tuhan yang banyak itu bersukutu untuk menciptakan alam? Dibantah oleh al-Quran surat Al-Mukminun: 91. Pertama, pastilah tuhan yang bersekutu itu taat satu sama lain. Jika mereka taat satu sama lain, mana di antara mereka yang paling ditaati? Yang paling ditaati itulah tuhan yang sebenarnya. Kedua, nyatanya alam semesta itu sudah ada dan tunggal, maka pastilah alam tunggal yang merupakan tindakan tuhan ini berasal dari tuhan yang satu pula. Jadi lengkap sudah kebenaran absolut dari kalimat tauhid berdasarkan penalaran yang lurus, yakni penalaran dengan cara menganalogikan apa yang tak tampak kepada yang tampak.

Dalam pada itu, keabsolutan kalimat tauhid lebih daripada apa yang secara panjang lebar saya tulis di sini. Kalimat tauhid absolut secara ontologis, epistemologis, dan tentu saja aksiologis. Membahas semua sisi ini, membutuhkan lebih dari satu buku yang tidak tipis.

Kontributor

  • M.S. Arifin

    M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.