Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Bertaman dan Bertanam dalam Khazanah Islam

Avatar photo
25
×

Bertaman dan Bertanam dalam Khazanah Islam

Share this article

“Apa yang kau cari di sini, sampai harus meninggalkan surga yang diberikan Tuhan?”

Seorang kawan yang menempuh studi di Yaman bercerita betapa seringnya mendengar pertanyaan serupa di atas dari masyarakat pribumi sana. Surga yang dimaksud tidak lain adalah Tanah Air Indonesia. Saya pribadi yang sempat hidup beberapa tahun di Mesir sesekali mendengar pujian-pujian orang Arab tentang hijaunya Indonesia, tentang ajaibnya bumi merah-putih di mana kayu kering dapat kembali bersemi bila bersentuhan dengan tanah lembabnya.

Ada beberapa hal tentang bertanam dan tata kelola taman dalam khazanah kebudayaan Islam yang kiranya layak direnungan. Dalam hal hortikultura dan agrikultura predikat Indonesia tetap juara, sehingga betapa indah bila diselaraskan dengan prinsip dan filosofi Islam tentang hal-hal terkait.

Cukup banyak kosakata Arab yang merujuk langsung pada penyebutan taman, sebut saja di antaranya hadiqah, riyadh, bustan, haudh, jannah, dan raudah yang semuanya memiliki filosofi dan –mungkin– bentuknya masing-masing. Istilah-istilah tersebut menunjukkan keragaman makna yang secara tidak langsung memperlihatkan kekayaan budaya Islam. Tulisan singkat ini tidak hendak memperjelas perbedaan istilah-ustilah itu, namun antara lain upaya menguak makna tersirat dibangunnya taman dari sudut pandang kebudayaan.

Tidak ayal bila taman disebut sebagai jantung seluruh peradaban Islam yang berkembang, representasinya tentang keindahan, bentuk yang matematis, arsitektur, spiritualitas, keanekaragaman hayati, dan pada saat yang sama menyandang berbagai kata kunci dalam Islam meliputi tafakur, kedamaian, kasih sayang, rasa syukur, kelembutan, dan di atas segalanya peristirahatan abadi esok di dalam jannah (taman surga).

Mengingat kondisi kehidupan yang begitu gersang di Timur Tengah di mana Islam pertama kali muncul, tidak mengherankan jika oasis dan irigasi perkebunan memiliki status yang sangat istimewa dalam Islam, hal ini dapat disimpulkan dari banyak pernyataan Rasulullah dan kitab suci Al-Quran. Antara lain bisa dilihat dalah QS ar-Ra’d ayat 35:

“Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa (ialah seperti taman), mengalir di bawahnya sungai-sungai; senantiasa berbuah dan memberikan keteduhan, itulah tempat kesudahan bagi orang yang bertakwa.”

Contoh lain dari Al-Quran bisa dijumpai dalam QS al-Insan ayat 5 dan 6 di mana digambarkan: “Orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum dari gelas yang campurannya adalah air kafur. (yaitu) Mata air (dalam surga) yang diminum oleh hamba-hamba Allah dan mereka dapat memancarkannya dengan sebaik-baiknya.”

Pada ayat 14 surah yang sama surga juga digambarkan: “Dan naungan (pepohonan)nya dekat di atas (kepala) mereka dan dimudahkan semudah-mudahnya untuk memetik (buah)nya.”

Dihadapkan dengan janji-janji seperti itu tidak aneh bila di kawasan-kawasan kegemilangan Islam dahulu umat Muslim membangun taman sesuai dengan imajinasi mereka tentang surga. Dari taman-taman para penguasa Maroko di ujung barat hingga milik kekaisaran Islam Mughal di timur sering digambarkan sebagai surga dunia, menjadi semacam metafora bagi surga sejati yang mereka harapkan kelak di akhirat.

Seorang wartawan Jerman bernama Camilla Blechen menggambarkan peran penting keberadaan metafora tersebut untuk menstabilkan bangunan keimanan seorang Muslim. Taman yang mereka bangun di dunia mereka gunakan sebagai terapi psikologis yang mana dengannya akan senantiasa diingatkan tujuannya kelak sebagai penghuni surga, juga dengannya akan terbiasa membedakan antara tatanan yang meiliki nilai estetis dan mana yang sebaliknya.

Salah satu asma’ husna Allah sendiri adalah al-Jamil, Yang Maha Indah. Prinsip utama pembangunan taman tidak lain adalah penataannya harus seindah dan seasri mungkin.

Ide taman sebagai representasi surga akhirat bukanlah hal yang baru dicetuskan oleh umat Islam. Lama sebelum Islam, antara lain orang-orang daratan Babilonia dan peradaban Mesir kuno sengaja membudayakan pembangunan taman untuk merepresentasikan keindahan ‘kehidupan setelah kematian’.

Konsep di atas tentu sudah mengalami pergeseran nilai pada zaman sekarang, refleksi keagamaan dan meditasi rohani tidak lagi bertautan dengan taman-taman megah zaman ini melainkan hanya sedikit. Bisnis pariwisata dan budaya konsumerisme telah mengambil alih penggunaan surga duniawi ini di mana pakansi baik lokal, regional, dan internasional memainkan peran terbesarnya.

Agaknya cukup penting menghidupkan kembali nilai bertaman yang diwariskan orang-orang Muslim terdahulu, lebih-lebih penghijauan adalah aktifitas yang paling dibutuhkan dunia saat ini. Dalam beberapa dasawarsa ke depan, Indonesia bukan hanya dipandang sebagai surga karena kesuburannya, namun juga salah satu paru-paru dunia lantaran kelestarian alamnya. Dengan demikian, aktifitas bertaman tidak cukup tanpa menyinggung kegiatan utama di dalamnya, yakni bertanam.

Selain sebagai metafora dari surga akhirat, filosofi lain dari bertaman adalah menumbuh suburkan ciptaan Allah dibarengi dengan naluri keindahan dan tata kelola lingkungan dengan segala sifat keragamannya. Dengan demikian, bertanam dan merawat tanaman adalah prioritas dalam bertaman. Dalam lingkup yang lebih besar, reboisasi dan menjaga kelestarian hutan sama halnya menjaga taman-taman Tuhan dalam bentuk alaminya.

Bila taman cenderung didominasi tanaman-tanaman hias dan wewangian, maka bertanam pepohonan besar tentu tidak kalah penting karena merupakan investasi jangka panjang. Pepohohan di sekitar pemukiman sangat berperan dalam meningkatkan ekosistem dan kualitas udara setempat, bahkan membantu mengatur tingkat polusi global dengan mengurangi emisi bahan bakar fosil dari atmosfer.

Hanya sekitar satu abad lalu keseluruhan hutan di dunia lima kali lipat dari jumlah hutan yang tersisa hari ini. Menurut laporan Plant Based News semenjak satu abad lalu bumi telah kehilangan 80% hutannya, berakibat tidak hanya kepunahan satwa liar dalam skala besar, namun juga menimbulkan perubahan iklim yang membuat dunia ‘berkeringat’. Meski deforestasi bukan satu-satunya faktor lahirnya pemanasan global, namun bila 20% hutan yang tersisa terus berkurang maka bisa jadi upaya pemulihan apapun selainnya akan sia-sia.

Tidak kurang dari 50% oksigen di bumi dipersembahkan oleh pohon, bila laju penebangan hutan tidak lekas melamban maka seperti yang diperkirakan Conserve Energy Future tidak sampai menunggu satu abad seluruh makhluk hidup akan sekarat ditinggal paru-paru dunia. Dari kesimpulan singkat ini jelas, gerakan menanam pohon dapat menjadi sedekah jariyah yang nilainya tiada bandingan.

Tentu manfaat bertanam tidak berhenti sampai di situ, pohon adalah aktor utama antara lain dalam mencegah terjadinya erosi, mengatur sirkulasi air yang diserap tanah, mengurasi stress, memperindah lingkungan, juga menghilangkan polusi udara lewat penyerapan stomata daun-daunnya.

Tanah Indonesia adalah surga luas untuk beramal, setiap jengkalnya menunggu tangan-tangan bajik menancapkan tunas. Bertaman dan bertanam adalah aktifitas jasmani dan rohani sekaligus, ada sedekah oksigen dari setiap pohon yang ditanam, beriring pulihnya kesehatan bumi yang meronta lantaran perubahan iklim atau pemanasan global.

“Kalaupun kiamat datangnya besok pagi,” ucap Rasulullah dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Ahmad: “Sementara tangan salah seorang dari kalian menggenggam sebuah tunas, maka bila mampu hendaklah ia tetap menanamnya.”

***

Perbendaharaan Kata:

Ag.ri.kul.tu.ra
n pertanian. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya.

De.fo.res.ta.si
n penebangan hutan.

Emi.si
n kandungan gas mesin yang dibuang ke udara.

Hor.ti.kul.tu.ra
n seluk beluk kegiatan atau seni bercocok tanam sayur-sayuran, buah-buahan, atau tanaman hias.

Oa.sis
n daerah di padang pasir yang berair cukup untuk tumbuhan dan permukiman manusia; wahah.

Re.bo.i.sa.si
n penanaman kembali hutan yang telah ditebang (tandus, gundul); penghutanan kembali.

Sto.ma.ta
n Bio celah-celah pada epidermis tumbuhan, biasanya terdapat dalam jumlah yang banyak, terutama pada daun.

Ta.fa.kur
n perihal merenung, memikirkan, atau menimbang-nimbang dengan sungguh-sungguh.

 

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.