Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Bicaralah dalam Spesialisasi Masing-masing

Avatar photo
43
×

Bicaralah dalam Spesialisasi Masing-masing

Share this article

Saat konsultasi dengan dokter spesialis tulang,
saya bertanya bagaimana menurut beliau kalau ada orang yang jatuh dari motor,
lalu bagian yang terbentur dengan aspal itu dipijat atau diterapi dengan
cara-cara tradisional. Ia tampak terpancing.

Suaranya mulai keras dan nada bicaranya agak
emosional. Ia lalu menyalahkan cara-cara tersebut karena tidak ada dasar
ilmiahnya. Ia juga menegaskan bahwa segala sesuatu itu ada ilmu dan ahlinya.
Orang yang berbuat tanpa dasar ilmu akan dimarahi Tuhan. Demikian paparnya
berapi-api.

Saya hanya mengangguk-angguk. Sebenarnya saya bisa
saja mengatakan, boleh jadi cara pengobatan kampung yang ditempuh sebagian
orang jauh lebih ampuh. Boleh jadi juga dokter lain, selain beliau, ada yang
ikut merekomendasikan pengobatan-pengobatan tradisional. Tapi saya memilih diam
karena memang ini bukan ranah keilmuan saya. Bisa saja apa yang disampaikannya
keliru, tapi saya tak punya argumentasi yang kuat untuk membantahnya. Saya
mesti menghargai spesialisasi yang telah digelutinya selama bertahun-tahun.

***

Seseorang bertanya kepada saya, “Ustadz, apakah
benar Ibnu Sina itu kafir?” Saya balik bertanya, “Kenapa Anda bertanya
demikian?” Ia lalu mengirimkan sebuah link tulisan seseorang yang membahas
tentang Ibnu Sina dengan judul yang memperlihatkan bahwa sang penulis akan
bersikap objektif dan pertengahan tentang Ibnu Sina.

Saya baca tulisan itu sampai akhir. Isinya adalah
nukilan dari para ulama tentang kekafiran Ibnu Sina, seperti Imam al-Ghazali,
Imam adz-Dzahabi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, muridnya Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.

Sebenarnya penulis tidak hanya menukil, melainkan
juga menyimpulkan bahwa Ibnu Sina bukanlah seorang muslim. Menurutnya, sikap
kita terhadapnya sama dengan sikap kita terhadap ilmuwan-ilmuwan non-muslim
lainnya. Ia juga menghimbau, dengan menukil pendapat Syekh Bin Baz, untuk tidak
menamakan masjid dan tempat-tempat yang berbau Islam dengan nama Ibnu Sina.

***

Yang membuat saya kaget adalah penulis ternyata
bukan seseorang yang mengambil spesialisasi dalam bidang ilmu kalam atau
filsafat (boleh jadi saja ia termasuk yang anti dengan kedua ilmu ini). Karena
untuk mengkaji masalah seberat ini, diperlukan penguasaan yang sangat baik
terhadap kedua ilmu tersebut. Kenapa? Karena untuk meneliti apakah takfir yang
dilayangkan oleh sebagian ulama terhadap Ibnu Sina sudah pada tempatnya atau
tidak, kita mesti melihat secara lebih dekat apa dasar mereka untuk
mengkafirkan Ibnu Sina. Ada tiga hal. Dan ketiga hal ini termasuk pembahasan inti
dalam filsafat dan ilmu kalam.

Sang penulis ternyata juga tidak memiliki spesialisasi
dalam ilmu-ilmu syariat; fikih, ushul fikih, tafsir, hadits dan sebagainya.
Karena kalaupun tidak terlalu mendalami bidang filsafat dan ilmu kalam,
setidaknya dengan mendalami cabang-cabang ilmu syariat yang lain, seseorang
akan memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukan penelitian yang lebih
mendalam, mengkomparasikan berbagai pendapat, mengkritisi apa yang perlu
dikritisi dan seterusnya.

Sang penulis ternyata adalah seorang dokter dengan
spesialisasi patologi klinik (Sp.PK), dan ini sesungguhnya sesuatu yang sangat
membanggakan. Dokter dengan keahlian ini mampu mendiagnosis penyakit pada
pasien melalui pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium. Ini sebuah peran
yang sangat diharapkan di tengah-tengah masyarakat, terutama dalam kondisi
seperti saat ini. Berbagai inovasi, penemuan-penemuan ilmiah, kreativitas dan
perhatian penuh tenaga medis, tentu sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat saat
ini.

Kita berbaik sangka bahwa beliau sudah melakukan
yang terbaik dalam bidang yang digelutinya. Akan tetapi, produktivitas,
kreativitas dan inovasi sang dokter akan lebih tinggi dan luas kalau ia fokus
saja pada spesialisasinya.

Di samping itu, semestinyalah kita menghargai
spesialisasi masing-masing. Kalau orang yang spesialisasinya di bidang syariat
tidak pantas merambah ke bidang medis, demikian juga orang yang spesialisasinya
di bidang medis tidak elok ikut mengangkangi bidang syariat, apalagi dalam
permasalahan yang tidak ringan seperti ini; masalah takfir.

***

Imam al-Ghazali memang menghukumi kafir Ibnu Sina
dan al-Farabi dalam tiga masalah besar; meyakini ke-qidam-an alam, meyakini bahwa
Allah hanya tahu yang kulli, dan mengingkari kebangkitan jasad. Hal ini bisa
dilihat dalam Tahafut al-Falasifah dan al-Munqidz min adh-Dhalal.
Imam adz-Dzahabi juga menukilnya dalam Siyar A’lam Nubala`.

Tapi apakah semua ulama sependapat dengan Imam
al-Ghazali dalam hal ini? Tidak hanya itu, apakah pendapat beliau dalam kedua kitab
ini sejalan dengan pendapat beliau dalam kitab-kitabnya yang lain terutama
dalam Faishal at-Tafriqah?

Pertanyaan yang tak kalah penting untuk
dilontarkan adalah benarkah ketiga hal ini disepakati para ulama sebagai acuan
untuk menghukumi kafir seseorang?

***

Tentang masalah pertama yaitu qidam al-‘alam,
ini adalah masalah yang berat, rumit, dan berpotensi menergelincirkan
pemahaman. Karena itu, sesungguhnya bukan hanya Ibnu Sina yang berpendapat
bahwa alam ini qadim. Imam ad-Dawani menyebutkan bahwa beberapa ulama juga
berpendapat demikian, termasuk Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang juga ikut
mengkafirkan Ibnu Sina.

Dalam Syarah al-‘Adhudiyyah, Imam ad-Dawani
menulis:

وقد
قال بالقدم الجنسي -بأن يكون فرد من أفراد العالم ، لا يزال على سبيل التعاقب
موجودا- بعض المحدثين المتأخرين ، وقد رأيت فى بعض تصانيف ابن تيمية القول به فى
العرش

“Beberapa ulama mutaakhirin juga berpendapat bahwa
alam itu qadim, dalam arti satu unit dari sekian unit alam akan senantiasa ada
secara terus menerus. Bahkan saya melihat di beberapa karya Ibnu Taimiyyah
pendapat yang sama terkait dengan masalah ‘Arsy.”

Syekh Muhammad Abduh menguatkan pendapat Imam
ad-Dawani ini. Beliau juga menjelaskan apa yang membuat Ibnu Taimiyah
berpendapat demikian. Ia berkata:

وذلك
أن ابن تيمية كان من الحنابلة الآخذين بظواهر الآيات والأحاديث القائلين بأن الله
استوى على العرش جلوسا ، فلما أورد عليه أنه يلزم أن يكون العرش أزليا لما أن الله
أزلي وأزلية العرش خلاف مذهبه قال : إنه قديم بالنوع أي أن الله لا يزال يعدم عرشا
ويحدث آخر من الأزل إلى الأبد حتى يكون له الاستواء أزلا وأبدا

“Ibnu Taimiyyah adalah seorang hanbali yang
mengambil zhahir ayat dan hadits yang mengatakan bahwa Allah beristiwa di atas
‘arsy (dalam arti) duduk. Ketika hal ini dibantah, bahwa pendapat ini
berimplikasi kepada arsy itu azali, sementara masalah keazalian ‘arsy itu
bertentangan dengan mazhabnya, ia menjawab: “Alam itu qadim bin nau’, artinya
Allah senantiasa meniadakan arsy dan menciptakan yang baru sejak azal sampai
abadi, hingga Dia beristiwa sejak azal dan selama-lamanya.”

***

Di samping itu, yang juga perlu dikaji adalah
apakah penisbahan pendapat ini kepada Ibnu Sina sudah benar? Dengan kata lain,
apakah Ibnu Sina benar-benar mengatakan bahwa yang akan dibangkitkan itu
hanyalah jiwa (nafs), bukan jasad? Kalau benar, di mana ia mengatakan hal itu?
Bukankah tidak mustahil kalau Imam al-Ghazali keliru dalam penukilan? Atau ia
menukil sesuatu yang memberatkan Ibnu Sina dan mengabaikan sesuatu yang bisa
meringankannya, apalagi al-Ghazali sedang dalam posisi membantah Ibnu Sina dan
para filosof?

Hal ini sangat menyita pikiran dan energi Dr.
Sulaiman ad-Dunya, pakar filsafat dari al-Azhar yang pernah menjadi Ketua
Jurusan Aqidah Filsafat Universitas al-Azhar, yang men-tahqiq karya-karya Ibnu
Sina, Imam al-Ghazali, Ibnu Rusyd dan lain-lain dengan ruh (mental) merdeka dan
objektif.

Dr. ad-Dunya meneliti langsung buku-buku karya
Ibnu Sina untuk mengecek kebenaran ‘tuduhan-tuduhan’ dari Imam al-Ghazali.
Ternyata dalam buku-buku Ibnu Sina yang terkenal seperti asy-Syifa` dan an-Najat,
Ibnu Sina–menurut Dr. ad-Dunya—justeru dengan tegas mengatakan bahwa yang akan
dibangkitkan itu tidak hanya jiwa, tapi juga jasad. Dalam buku-buku yang lain,
Ibnu Sina membagi kebangkitan itu menjadi dua ; nafsani (jiwa) dan jutsmani
(jasad). Tapi, Dr. ad-Dunya melihat pandangan Ibnu Sina tentang kebangkitan
jasad kabur dan tidak tegas.

Dr. ad-Dunya sempat berpikiran negatif terhadap
Imam al-Ghazali bahwa beliau sengaja melemparkan tuduhan palsu untuk
menjatuhkan pendapat-pendapat Ibnu Sina. Sampai akhirnya ia menemukan risalah
yang ditulis oleh Ibnu Sina berjudul
رسالة
أضحوية فى أمر المعاد
. Di sini dengan tegas Ibnu Sina memang
mengingkari kebangkitan jasad. Berarti apa yang ‘dituduhkan’ oleh Imam
al-Ghazali memiliki dasar dari risalah yang ditulis langsung oleh Ibnu Sina.

Di sini kita bisa melihat bagaimana Dr. ad-Dunya
sangat berhati-hati dalam mengkaji hal ini. Ia berusaha melacak dan menggali
langsung kebenaran pendapat itu dari berbagai kitab dan risalah yang ditulis
oleh Ibnu Sina untuk membuktikan bahwa apa yang ditulis oleh Imam al-Ghazali
memang memiliki dasar yang kuat.

***

Dalam tahqiq-nya untuk kitab Tahafut
al-Falasifah
karya Imam al-Ghazali, Dr. Sulaiman ad-Dunya memberikan
beberapa catatan penting tentang takfir yang dilontarkan Imam al-Ghazali
terhadap Ibnu Sina. Ia melihat bahwa polemik yang dilancarkan Imam al-Ghazali
terhadap filsafat ketika itu berangkat dari kondisi dan suasana ilmiah di masa
itu, dimana banyak orang sangat mengkultuskan filsafat dan tokoh-tokohnya dari
Yunani kuno. Seolah-olah semua yang disampaikan oleh para filosof adalah benar
karena akal mereka luar biasa dan pemikiran mereka lebih dalam. Karena taqlid
buta kepada para filosof itulah, Imam al-Ghazali merasa perlu sedikit keras
terhadap filsafat dan tokohnya.

Kalau dicermati karya-karya al-Ghazali lainnya,
beliau sesungguhnya sangat berhati-hati dalam memberikan label kafir, apalagi
di kalangan peneliti, pengkaji dan pakar. Ia berkata dalam kitab Faishal
at-Tafriqah
:

المقام
الثاني : بين النظار الذين اضطربت عقائدهم المأثورة المروية فينبغي أن يكون بحثهم
بقدر الضرورة وتركهم الظاهر بضرورة البرهان القاطع ، ولا ينبغي أن يكفر بعضهم بعضا
بأن يراه غالطا فيما يعتقده برهانيا فإن ذلك ليس أمرا هينا سهل المدارك

“Level kedua adalah kalangan peneliti, dimana
berbagai riwayat tentang akidah mereka cendrung tidak stabil. Dalam konteks ini
semestinya bahasan mereka dalam batas yang dharuri (urgen) saja, dan hal yang
bersifat zhahir dibiarkan dengan dasar argumen yang kuat. Tidak semestinya satu
sama lain saling mengkafirkan ketika ia melihat yang lain keliru dalam hal yang
ia yakini sebagai sebuah argumen, karena hal itu tidaklah mudah.”

Dalam kitab Faishal at-Tafriqah ini, Imam
al-Ghazali menjelaskan bagaimana sempitnya ruang untuk bisa mengkafirkan orang
lain. Bahkan dalam kesempatan lain, beliau mengatakan bahwa siapapun yang
beriman kepada Allah dan menerima syariat yang dibawa oleh Rasulullah Saw, maka
ia adalah seorang mukmin.

Dari sini maka penukilan sang dokter terhadap
pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Lisan al-Mizan kurang cermat. Ibnu
Hajar tidak mengkafirkan Ibnu Sina dalam kitab tersebut. Ia memang menukil
pendapat Imam al-Ghazali dan Ibnu Abi ad-Dam al-Hamawi yang mengkafirkannya.
Tapi secara eksplisit Ibnu Hajar sesungguhnya menyampaikan ‘pembelaan’ terhadap
Ibnu Sina. Simak apa yang beliau tulis:

وقد
أطلق الغزالي وغيره القول بتكفير ابن سيناء، 
وقال ابن سيناء في الكلام على بعض الأدوية هو كما قال صاحب شريعتنا صلى
الله عليه وآله

“Al-Ghazali dan yang lain memutlakkan perkataan
dalam mengkafirkan Ibnu Sina. Ketika menjelaskan beberapa obat, Ibnu Sina
berkata: “Obat ini sesuai dengan apa yang diucapkan oleh pembawa syariat kita
(Nabi Saw).”

Bukankah pokok keimanan itu adalah meyakini
keesaan Allah, meyakini kebenaran risalah yang dibawa Nabi Muhammad Saw dan
hari akhir, dan semua itu diimani oleh Ibnu Sina?

***

Poin lain yang perlu diperhatikan juga adalah
pembelaan para ulama terhadap Ibnu Sina. Apakah sang dokter sudah membaca
pembelaan Ibnu Rusyd terhadap Ibnu Sina dalam kitabnya Tahafut at-Tahafut?
Terlepas dari apakah kita akan sepakat dengan Ibnu Rusyd dalam pembelaannya itu
atau tidak, tetapi melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda adalah
syarat mutlak dalam sebuah tulisan ilmiah. Dan untuk melakukan komparasi
pendapat dalam masalah ini, yang dibutuhkan bukan hanya sekedar kemampuan
membaca bahasa Arab (apalagi hanya kutipan dari situs-situs fatwa instan yang
berbahasa Arab), melainkan juga kompetensi yang memadai dalam bidang filsafat
dan ilmu kalam.

***

Di bagian akhir tulisannya, Pak dokter menukil
ucapan Imam Ibnu Katsir yang menyebut bahwa ada pendapat yang menyebutkan Ibnu
Sina bertobat sebelum meninggal. Tapi ucapan Ibnu Katsir ini didahului dengan
lafaz ‘yuqaalu’ (dikatakan) yang termasuk shigat tamridh dan mengisyaratkan
kelemahan riwayat atau pendapat.

Perlu diketahui, bentuk fi’il lima lam yusamma
fa’iluhi (
الفعل لما لم يسم فاعله) atau yang umum dikenal dengan istilah fi’il majhul, memang
mengisyaratkan kelemahan kalau hal itu dalam periwayatan hadits atau atsar.
Artinya tidak semua penggunaan ‘qila’, ‘yuqaalu’ dan sebagainya berarti
pendapat itu lemah. Boleh jadi karena sumbernya tidak diketahui, tidak ingin
disebutkan, atau karena hal itu sudah menjadi pengetahuan umum, dan seterusnya.

 

Kalaupun kita terima bahwa penggunaan kata
‘yuqaalu’ di sini mengindikasikan kelemahan maka kelemahannya adalah menurut
Ibnu Katsir saja. Buktinya, dalam Siyar A’lam an-Nubala, Imam
adz-Dzahabi (yang tentu lebih dahulu masanya dan lebih diakui dalam bidang
rijal/tokoh-tokoh) menisbahkan ini kepada sumbernya dengan menggunakan fi’il
ma’lum qaala.

Sumber yang dijadikan rujukan oleh Imam
adz-Dzahabi tentang tobat Ibnu Sina adalah sumber yang terpercaya yaitu Imam
Ibnu Khalliqan dalam Wafayat al-A’yan. 

قال
ابن خلكان : ثم اغتسل وتاب، وتصدق بما معه على الفقراء، ورد المظالم، وأعتق
مماليكه، وجعل يختم القرآن في كل ثلاث، ثم مات يوم الجمعة في رمضان سنة ثمان
وعشرين وأربع مائة
.

Ibnu Khalliqan berkata: “Kemudian ia (Ibnu Sina)
mandi dan bertobat. Ia menyedekahkan hartanya untuk para fakir. Ia
mengembalikan seluruh hak orang yang pernah diperolehnya secara zalim. Ia juga
memerdekakan budak-budaknya. Ia mulai mengkatamkan al-Quran sekali tiga hari.
Akhirnya ia wafat pada bulan Ramadhan tahun 428 H.”

***

Kita yang ingin mengkaji masalah ini bisa saja
sependapat dengan Imam al-Ghazali yang menghukumi Ibnu Sina sebagai seorang
yang kafir, atau sependapat dengan para ulama yang membelanya dan yang
mengatakan bahwa ia telah bertobat sebelum akhir hayatnya, dan ini berarti
bahwa ia wafat sebagai seorang muslim.

Hanya yang perlu menjadi catatan adalah kajilah
masalah ini dari berbagai sudut pandang, komparasikan berbagai pendapat, dan
optimalkan analisa serta kritik ilmiah dalam masalah yang jelas tidak sederhana
ini. Dan tentunya, bicaralah dalam spesialisasi kita masing-masing.

اللهم
علمنا ما ينفعنا وانفعنا بما علمتنا ، آمين

Kontributor

  • Yendri Junaidi

    Bernama lengkap Yendri Junaidi, Lc., MA. Pernah mengenyam pendidikan di Perguruan Thawalib Padang Panjang, kemudian meraih sarjana dan magister di Universitas Al-Azhar Mesir. Sekarang aktif sebagai Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang.