Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Bila Ulama Berimajinasi

Avatar photo
37
×

Bila Ulama Berimajinasi

Share this article

“Imajinasi lebih berharga daripada ilmu pengetahuan. Karena logika akan membawa Anda dari titik A ke titik B, sedangkan imajinasi akan membawa Anda ke mana-mana.”—Albert Einstein

Ketika kita menelaah beberapa kitab fikih klasik, kita akan takjub sendiri ketika menyadari betapa imajinasi dan kreativitas fuqaha di masa lalu sangatlah luar biasa luas. Karena mereka tidak hanya membahas persoalan pokok dan cabang di masanya saja. Lebih jauh, mereka juga mengimajinasikan hal-hal yang bersifat futuristik dan probability question solver. Seolah-olah mereka adalah kreator konten seperti yang banyak kita lihat di zaman sekarang.

Misalnya, disebutkan di dalam kitab-kitab fikih mengenai kemungkinan manusia menikah dengan anjing kemudian menghasilkan seorang anak: bagaimana status anak hasil kawin silang beda jenis makhluk tersebut?

Menurut Imam ar-Ramli, jika anaknya berupa anjing maka hukumnya najis, sedangkan jika berbentuk manusia maka dihukumi suci. Sedang menurut Ibnu Hajar al-Haitami, anak tersebut najis tapi ma’fu .

Baca juga: Mematangkan Kemahiran dan Keahlian Berfikih

Sedangkan dalam masalah pernikahan, menurut pendapat yang mu’tamad dihukumi najis dan tidak halal (haram, artinya haram menikah dan dinikahi), demikian juga dalam hal sembelihan dan warisan. Namun, menurut Ibnu Hajar al-Haitami, orang tersebut diperbolehkan menikah bila dikhawatirkan akan melakukan zina (lihat di sini).

Barangkali bagi kita yang hidup di zaman sekarang, hasil olah imajinasi fuqaha di atas agak-agaknya sangat futuristik atau bisa jadi terlalu “mengada-ngada”. Terlepas dari ada tidaknya kasus seperti itu di dunia nyata, informasi tersebut paling tidak telah menunjukkan kepada pembacanya mengenai kecerdasan fuqaha di masa lalu yang berani mempersoalkan sesuatu yang sangat imajiner sekalipun.

Imajinasi dalam Fikih

Tentunya istilah “imajinasi” di sini bukan dimaksudkan sebagai proses berpikir secara bebas dan instan, juga bukan sejenis proses berkhayal pada umumnya, di mana tidak ada pijakan ontologi dan batasan-batasan epistemologinya. Tidak. Sekali-kali tidak.

Karena dalam tradisi pesantren, siapa sih yang tidak kenal dengan Imam ar-Ramli yang terkenal dengan sebutan as-Syafi’i as-Shaghir itu? Siapa sih yang meragukan kepakaran Ibnu Hajar al-Haitami, penulis salah satu kitab babon dalam mazhab Syafi’i Tuhfatu al-Muhtaj Syarh al-Minhaj itu? Mana ada santri yang berani menggugat dua ulama besar ini ketika mereka merumuskan hukum anak hasil persilangan antara manusia dan anjing yang telah saya sebutkan tadi. Para santri pasti berkeyakinan kuat bahwa para ulama tersebut bertolak dari analisis yang ilmiah kendati hasil yang dipaparkannya berupa rumusan imajiner.
Persoalan imajinasi dalam kitab fikih ini tentu sangat luas cakupannya. Kita bahkan bisa melihatnya sejak bab pertama, yakni tentang thaharah, sholat dan seterusnya.

Misalnya pada bab shalat, bagaimana tata cara takbiratul ihram menurut fikih? Ada puluhan bahkan ratusan halaman hanya untuk menjelaskan tentang masalah ini, padahal jumlah nash pokoknya tidak sampai seper-empatnya. Artinya, dari satu dalil mereka bisa menghasilkan banyak persoalan sekaligus kesimpulannya. Sungguh imajinasi keilmuan yang sangat luar biasa.

Baca juga: Antara Nalar Fiqih, Medis dan Aqidah

Keluasan “imajinasi ilmiah” ini tentu tidak hanya terlihat dalam kitab-kitab fikih saja. Dalam diskursus yang lain bahkan lebih mencengangkan lagi, seperti yang bisa dilihat dalam ilmu-ilmu eksakta klasik, ilmu kalam dan ilmu tasawuf.
Kemudian nalar imajinatif paling “berbahaya” yang bisa kita temui dalam literatur turast yaitu, ketika kita membuka kitab-kitab tafsir. Saking kebablasan imajinasinya sehingga terkadang ada beberapa tafsir yang dikatakan: “di kitab ini segalanya ada, semuanya disebut, kecuali tafsir itu sendiri…”

Anekdot yang tersebut terakhir ini pun tidak seberapa mengherankan jika dibandingkan dengan imajinasi kitab tafsir yang berisi material “ad-dakhil fi tafsir” pada setiap paragrafnya, seperti tafsir berkonten batiniah dan israiliyyat. Sehingga orang yang membacanya pun menjadi ragu, “Ini representasi tafsir kitab suci ataukah cerita fiksi sejenis alfu lailah wa lailatun?” Atas dasar ini maka tidak heran jika institusi Islam seperti al-Azhar mencanangkan proyek pemurnian pemikiran agama seperti yang pernah saya ulik sedikit di sini.

Mengembangkan Nalar Imajinatif

“Kecerdasan imajinasi” di sini harus dipahami sebagai kesadaran yang utuh bahwa ilmu Allah Swt itu sangatlah luas. Dia yang Maha Kuasa telah menganugerahkan dalam diri setiap manusia berbagai macam fakultas berpikir lengkap yang menunjang daya kreativitasnya, mulai dari indra-indra kasar, akal, hati, sampai yang paling halus, yakni mata hati. Meskipun bagi sebagian orang, fakultas-fakultas berpikir tersebut terkadang hanya dalam bentuk potensialnya saja yang perlu untuk diaktualisasikan oleh si empunya sendiri dengan cara berjenjang dan kontinyu.

Pada intinya, adanya alam imajinasi ini sejatinya adalah rahmat yang besar bagi umat manusia di mana segala manifestasi yang ada di dunia ini memungkinkan untuk dipelajari dan dikembangkan lebih jauh lagi dan lagi untuk kepentingan yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Sehingga satu kesimpulan utuh yang dapat kita pahami dari literatur ulama klasik adalah, bahwa melatih imajinasi ilmiah sangatlah penting untuk pengembangan dan kemajuan suatu disiplin ilmu pengetahuan, terlepas dari benar atau tidaknya apa yang mereka sampaikan kala itu.

Tanpa mengembangkan nalar imajinatif, akal kita akan sangat sulit untuk berkembang. Seperti ketika kita mempelajari ilmu mantik, kita mendapati kata “manusia” didefinisikan oleh ilmu ini sebagai “hewan yang berpikir”. Kita sangat familiar mengenai definisi ini sampai-sampai kita tidak bisa memberi definisi lain versi kita sendiri mengenai manusia ataupun mengimplementasikannya dalam bentuk lain. Imajinasi kita seolah berhenti di situ-situ saja tanpa ada usaha untuk mengaplikasikannya lebih jauh.

Baca juga: Seni untuk Tidak Membaca

Coba misalnya kata manusia didefinisikan secara lain (meskipun dengan ta’rif bi rasm naqish), misalnya: “manusia adalah satu-satunya primata yang bisa mencuci piring”. Atau dalam proposisi lain, “hewan itu tidak cuci piring sehabis makan”. Dengan demikian manusia dalam kondisi normal yang tidak suka kebersihan, dalam hal ini tidak mencuci piringnya sendiri sehabis makan, maka ia telah “kufur nikmat” terhadap eksistensi dirinya sebagai manusia. Karena satu-satunya hewan dalam definisi manthiqi yang diberikan kemampuan mencuci piring hanyalah manusia.

Rasa-rasanya sampai kapan pun seseorang belajar ilmu mantik (atau belajar ilmu apapun), dan sampai khatam kitab mantik berkali-kali pun, jika tidak dibarengi dengan melatih nalar imajinatifnya, maka orang yang bersangkutan tidak akan beranjak dari tempat yang sama seperti sebelumnya.

Di sinilah perlunya mencari guru yang “syaikhun futtuh”, yakni guru yang bisa membuka imajinasi kita dalam memahami ilmu tertentu. Seperti misalnya, Gus Baha, imajinasi para santrinya biasanya langsung terbuka ketika mendengarkan kajian-kajian keilmuannya. Tapi saya pribadi lebih tertarik dengan kajian guru-guru sepuh seperti Habib Quraish Shihab dan Abah Gus Mus. Karena futuhnya tidak hanya dalam bentuk ilmu tapi juga hal-hal lain yang tidak bisa disebutkan. Semoga Allah Swt selalu menjaga dan memanjangkan umur guru-guru kita.

Jadi, mari kita belajar berimajinasi ilmiah, karena imajinasi, sebagaimana Albert Einstein, lebih berharga daripada ilmu pengetahuan. Logika akan membawa Anda dari A ke B, sedangkan imajinasi akan membawa Anda ke mana-mana. Jangan takut salah. Salah dalam berproses adalah hal yang wajar. Dan kita tidak akan menemukan kebenaran mutlak tanpa kesalahan. Benar begitu?

Kontributor

  • Bumi Sepuh Hafidzahullah

    Nama aslinya Syamsudin Asyrofi, aktifis Lakpesdam NU, mahasiswa S2 di Universitas Al-Azhar Mesir jurusan Tafsir dan Ulumul Quran dengan konsentrasi tesis bertemakan tafsir sufistik dalam bingkai sosial.