Di belantika pesantren, selain kecintaan para santri pada ilmu agama juga ada sisi lain yang tak kalah seriusnya dalam permasalahan sepak bola. Hal ini mungkin bukanlah kewajiban bagi mereka untuk memahami dunia bola, namun tak terperikan pula bila hal ini juga turut menjadi hal yang utama dalam sampingan pergolakan batin mereka, khususnya santri putra.
Setiap kali liburan pesantren tiba, biasanya malem Jumat, santri memiliki kebebasan untuk keluar pesantren dengan batas waktu sampai Magrib. Sebagaimana pengalaman yang pernah penulis temui. Ketentuan keluar pondok itu semerta-merta membuat peluang kepada mereka untuk bisa mencari kesenangan-kesenangan yang tak bisa mereka temui ketika di pesantren, yang tentunya dengan batas kewajaran sebagai seorang santri.
Mereka tak jauh-jauh dari kawasan pesantren yang ditempati. Yang memiliki rumah dekat pesantren, akan pulang ke rumahnya dengan ada yang membawa kawannya untuk dipersilakan berkunjung. Ada pula yang pergi ke warung ikut nimbrung bersama warga sekitar, mencari informasi dan nonton pertandingan bola dari televisi pemilik warung. Bahkan bila kebetulan tepat dengan adanya sebuah pertandingan sepak bola dengan permainan klub kenamaan, mereka akan rela berbetah-betahan begadang demi melihat idolanya bermain.
Sorak sorai mereka mewarnai kerumunan pecinta bola. Entah itu adalah santri atau warga sekitar, semua akan terus mendukung dan merapalkan doa terbaiknya untuk para jagoannya yang tengah bertanding. Tentu berharap penuh supaya bisa mencetak gol dan mampu memenangkan pertandingan sebagai juara. Siapapun yang bertanding, entah itu adalah beragama sesama kita atau bukan. Tetapi bila sudah bermain dalam laga pertandingan, tak terbendungkan lagi kita akan turut antusias mendungkungnya dengan sepenuh hati.
Namun pernahkah hal tersebut terbesit dalam benak kita semua, bahwa salahkah bila kita mengidolakan pemain sepak bola yang konon katanya adalah seorang nonmuslim. Sementara fanatisme kita terhadap sebuah klub kadang menimbulkan euforia dan kadang membuat ketersitegangan antar pendukung klub.
Tentu semua yang berkaitan dengan berlebih-lebihan tidaklah baik menurut anjuran agama. Seperti terkabarkan dalam Surah al-A’raf ayat 31 bahwa Allah Swt. tak menyukai orang yang berlebih-lebihan, utamanya dalam mencintai dan membenci. Dan utamanya lagi adalah dilarangnya berlebihan dalam beribadah. Sebab Allah Swt lebih mencintai hambanya yang beribadah sesuai kadar kemampuannya namun tulus dari pada mereka yang melampaui batas kewajarannya sendiri.
Sementara kita yang berstatus muslim bila mana mengidolakan seorang pesebak bola yang kebetulan nonmuslim bukanlah sebuah larangan. Hal ini tentunya memiliki batasan yang sesuai dengan aturan agama. Bila kita mencintai seseorang karena berkat prestasinya yang unggul, maka tak salah hal tersebut bagi kita. Sekalipun ia beda agama dengan kita, selama kita berkeyakinan bahwa akidah kita tak akan goyah maka tak mengapa bila kita mengagumi atau bahkan mau berteman dengannya karena kebaikannya.
Dan senada dengan itu, Rasulullah Saw pun mencontohkan betapa bertoleransinya beliau kepada umat nonmuslim. Bahkan beliau berkawan akrab dengan para Ahli Kitab, orang Yahudi, dan beberapa orang nonmuslim lainnya karena sebab kemanusiaan. Beliau tak mencaci mereka sebagai seorang kafir, sebab justru ada prestasi lain yang kadang bisa menjadi motivasi tersendiri bagi Nabi.
Kalau kita mau menelisiknya lebih jauh lagi, bukankah mertua Nabi sendiri Huyay, ayahanda dari Sayyidah Shafiyah adalah seorang Yahudi. Nabi menikahinya sebab ada sebuah dorongan yang berpotensi menjadikan Islam kuat. Karena sekali lagi, Allah Swt. berfirman bahwa kita diperbolehkan membangun interaksi dan tidak dilarang untuk berbaur kepada siapapun, termasuk nonmuslim (lihat surat Al-Mumtahanah:8-9).
Sepak bola bukanlah sekadar pertandingan sembilan puluh menit dalam lapangan hijau. Sepak bola menjadi pemersatu antarumat beragama. Lebih-lebih sepak bola mampu melewati batas-batas teritorial negara dan wadah bagi perasaan-perasaan bangga nan cinta dalam bingkai nasionalisme.
Hal demikian dibuktikan dengan banyaknya kabar bahwa sepak bola mampu menjelma sebagai lahan bisnis, media hiburan, kampanye isu-isu kemanusiaan, dan ruang religi bagi manusia.
Pada mementum tertentu, para pemain melakukan ritual khasnya sesuai dengan kepercayaan agama yang dianut. Semisal Mo Salah yang kerap disorot media lantaran selebrasinya yang kerap bersujud ketika mencetak sebuah gol. Mo Salah yang Islam kerap menjadikan sujud syukur sebagai ekspresinya tatkala membobol gawang lawan sebagaimana akrab Fans Liverpool FC temui.
Sementara di dalam negeri, para pemain Bali United beberapa waktu lalu pernah viral karena tiga orang pemainnya melakukan selebrasi gol dengan gestur memanjatkan doa yang berbeda-beda. Nanak yang beragama Hindu, gelandang Miftahul Hamdi yang beragama Islam, dan striker Yabes Romi yang beragama kristen berdoa bers
ama ketika timnya menang telak atas lawannya. Sehingga menunjukkan bagaimana para sahabat bekerja sama dengan baik dalam tim sekalipun berbeda keyakian dalam agama mereka.
Berkaitan lagi soal toleransi beragama. Ada kisah inspiratif dari seorang primadona lapangan hijau. Adalah Cristian Ronaldo, pemain kelahiran Portugal yang namanya senantiasa mencuat di jagad Sepak bola. Pemain papan atas itu beberapa waktu diwartakan pernah memiliki ketertarikan terhadap Islam.
Sebagaimana diceritakan sahabatnya, Mesut Ozil dalam wawancaranya dengan salah satu media di Spanyol bernama Marca. Ozil mengungkapkan bahwa sewaktu Ronaldo masih di Real Madrid, Ronaldo memiliki kebiasaan unik yang suka menunggu Ozil shalat. Menurutnya juga, Ronaldo memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap al-Quran. Karena ketika di luar lapangan, Ronaldo sering mendengarkan Ozil mengaji dan lantas bertanya mengenai kandungan surat dalam al-Quran.
Mesut Ozil yang beragama Islam dan Ronaldo yang nonmuslim tak pernh memepributkan status keyakinan masing-masing. Alih-alih demikian, justru mereka bekerja sama dalam tim dengan baik dan profesional. Seolah-olah agama tak pernah menjadi sekat untuk terus melangkah. Karena begitulah cinta, tak pernah mengenal agama apapun.