Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Di Mana Peran Amal Saleh Jika Masuk Surga Tergantung Karunia Allah?

Avatar photo
26
×

Di Mana Peran Amal Saleh Jika Masuk Surga Tergantung Karunia Allah?

Share this article

Di antara pembahasan yang sangat menarik dalam ilmu tasawuf adalah tentang hakikat, yaitu suatu upaya manusia untuk meningkatkan spiritualitas kepada Allah swt dengan melakukan semua kewajiban dan ditambah dengan beberapa ibadah sunnah yang lain serta mengerjakan semua kebaikan antar sesama.

Secara umum, dengan beribadah dan melakukan ketaatan menjadi sebuah representasi khusus yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Oleh karenanya, Allah telah menciptakan perbuatan, dan ikhtiyar (kehendak) dalam diri manusia untuk membedakan mereka dengan benda-benda mati, hewan-hewan, dan beberapa makhluk lainnya.

Dalam konteks ini, Allah memberikan kemampuan kepada manusia agar mereka bisa mengerjakan apa yang diperintah, dan menjauhi segala sesuatu yang dilarang, serta memberikan ikhtiar untuk bisa memilih pekerjaan yang bernilai baik dan buruk di sisi-Nya. Selanjutnya, Allah mengutus para Rasul, dan menurunkan kitab suci, memerintahkan iman dan taat, serta melarang kufur dan maksiat.

Dengan melakukan ketaatan dan menjauhi semua larangan, Allah menjanjikan pahala kepada mereka akan pahala yang besar apabila semua pekerjaan tersebut dilandasi dengan ikhlas dan niat yang benar, tanpa ada kehendak dan keinginan selain-Nya di balik pekerjaan dan ibadah tersebut.

Hakikat Amal Ibadah

Akan tetapi, dengan melakukan semua kewajiban dan ditambah dengan ibadah lainnya, misalnya berupa pekerjaan sunnah, serta meninggalkan semua larangan, tidak lantas menjadi jaminan bagi mereka untuk mendapatkan surga sebagai tempat paling nikmat kelak di akhirat. Sebab, semua amal ibadah tidaklah memiliki nilai apa pun jika tidak bersamaan dengan ridha dari Allah swt.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda:

  لا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا  أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ

Artinya, “Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelamatkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah.” (HR Muslim)

Hadist di atas menjelaskan tentang hakikat amal ibadah seorang hamba, bahwa amal mereka sama sekali tidak bisa menjadi jaminan untuk masuk surga. Dalil semacam inilah yang seringkali disalah pahami oleh sebagian kalangan. Mereka beranggapan bahwa masuk surga adalah kehendak Allah, maka untuk apa kita beramal di dunia? Bahkan yang lebih ekstrem, mereka berani menggugurkan perintah syariat jika telah sampai pada maqam hakikat. Bagaimana cara memahami hakikat dengan benar? Mari kita bahas!

Memang benar jika dikatakan masuk surga tidak didasarkan pada amal, melainkan fadl (karunia) dan rahmat Allah, akan tetapi menjadi tidak benar jika memiliki anggapan bahwa amal baik sama sekali tidak memiliki nilai apa pun, atau bahkan masih mempertanyakan untuk apa beramal di dunia.

Kenapa demikian? Karena Allah telah memberikan sebuah bocoran dan kriteria para penghuni surga dalam firman-Nya, yaitu mereka yang beriman dan beramal kebajikan, mengikuti perintah juga menjauhi larangan-Nya sebagaimana tertulis dalam surat An-Nisa’ ayat 122 berikut:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً لَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَنُدْخِلُهُمْ ظِلاًّ ظَلِيلاً

Artinya, “Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Di sana mereka mempunyai pasangan-pasangan yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.” (QS. An-Nisa’ [4]: 57)

Selain itu, makna yang tepat untuk hadits di atas tidaklah sebagaimana yang diterjemah secara tekstual. Ada banyak penafsiran para ulama yang pemahamannya justru tidak sebagaimana yang dipahami secara umum oleh beberapa kalangan yang menganggap bahwa amal tidak memiliki nilai apa-apa tanpa disertai rahmat-Nya, sehingga mereka meyakini bahwa tidak ada gunanya beramal jika kemudian tidak ada rahmat di dalamnya.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam salah satu kitab syarah haditsnya mengatakan bahwa hadits di atas memiliki banyak penafsiran. Setidaknya ada tiga pendapat ulama ahli hadits dalam mengartikan hadits di atas.

Pertama, taufiq untuk bisa melakukan suatu amal ibadah merupakan bentuk rahmat dari Allah yang sudah diberikan sejak sebelum seorang hamba melakukan ibadah.

Kedua, seorang hamba berhak mendapatkan rahmat, apabila ia sudah melakukan ketaatan. Dengan kata lain, tidak berhak mendapatkan rahmat orang-orang yang tidak melakukan ketaatan. Imam Ibnu Hajar mengibaratkan seorang budak yang berharap mendapatkan upah dari tuannya tanpa dilalui dengan bekerja terlebih dahulu, tentu merupakan hal yang tidak mungkin. Sebab, upah akan diberikan apabila ia telah bekerja untuk tuannya.

Ketiga, inti masuk surga adalah murni rahmat dari Allah, akan tetapi nikmat di dalamnya akan berbeda sesuai dengan kadar amal yang dimiliki seseorang, jika kadar amalnya banyak, maka akan mendapatkan nikmat Allah yang juga banyak. Begitu juga sebaliknya, seorang muslim yang nilai ketaatannya sedikit, akan masuk surga yang di dalamnya terdapat kenikmatan yang sedikit pula. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari, [Bairut, Darul Ma’rifar, tahun cetak: 1379 H], juz XI, halaman 296).

Surga, Amal Ibadah dan Rahmat Allah

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hanya rahmat dan karunia dari Allahlah yang bisa memasukkan seseorang ke dalam surga, akan tetapi keduanya bisa didapatkan oleh umat Islam ketika mereka sudah beramal sesuai dengan anjuran dalam ajaran Islam itu sendiri. Terus beramal sesuai syariat sebagai representasi patuh pada perintah-Nya dan meyakini secara bahwa bukan amal itu yang menyebabkan seseorang masuk surga.

Imam Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syarf an-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitab haditsnya mengatakan bahwa dalam konteks ini, ulama Ahlussunnah wal Jamaah memiliki pandangan yang berbeda dengan kelompok Muktazilah yang menganggap bahwa wajib bagi Allah memberi pahala bagi yang melakukan ketaatan. Kedua perbedaan ini terletak dalam masalah amal baik seorang muslim yang harus mendapatkan pahala dan kemudian masuk surga.

Menurut mazhab Ahlussunnah, Allah tidak menetapkan pahala, siksa, wajib, dan haram dalam semua tuntutan (taklif) berupa kewajiban dan keharaman, semua kewajiban itu dilandasi oleh syariat. Oleh karenanya, Allah tetap Adil apabila menyiksa mereka yang taat dan orang-orang saleh, begitu juga tetap adil apabila memuliakan orang kafir dan memasukkan mereka ke dalam surga. Akan tetapi, benarkah kelak Allah akan melakukan semua itu? Ternyata jawaban Imam Nawawi tidak demikian. Beliau mengatakan,

وَلَكِنَّهُ أَخْبَرَ وَخَبَرُهُ صِدْقٌ أَنَّهُ لَا يَفْعَلُ هَذَا بَلْ يَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيُدْخِلُهُمْ الجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ وَيُعَذِّبُ الْمُنَافِقِيْنَ وَيُخَلِّدُهُمْ فِى النَّارِ عَدْلًا

Artinya, “(Meski demikian), namun Allah telah memberi khabar dan khabar-Nya benar bahwa Ia tidak akan melakukan demikian (sebagaimana penjelasan sebelumnya), akan tetapi memberi ampunan kepada orang mukmin dan memasukkan mereka ke dalam surga dengan rahmat-Nya, dan menyiksa orang munafiq dan mengekalkan mereka dalam neraka karena adil.” (Imam Nawawi, Syarhun Nawawi alal Muslim, [Bairut, Darul Ihya’ at-Turats, cetakan kedua: 1932 H], juz XVII, halaman 159).

Dari penjelasan Imam Nawawi di atas, kita semakin yakin bahwa memaknai hadits di atas serta meyakini bahwa amal seseorang tidak memiliki nilai apa-apa sangat keliru, dan kontradiksi dengan kebanyakan ayat dan hadits yang lain. Di antaranya, firman Allah swt dalam surat Al-Ankabut, yaitu:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَنُبَوِّئَنَّهُمْ مِنَ الْجَنَّةِ غُرَفاً

Artinya, “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, sungguh, mereka akan Kami tempatkan pada tempat-tempat yang tinggi di dalam surga.” (QS Al-‘Ankabut [29]: 58)

Alhasil, beramal saleh dan memperbanyak ketaatan tetap memiliki nilai sangat penting untuk selalu ditingkatkan oleh umat Islam. Pahala dan surga merupakan balasan logis dari adanya ibadah. Tanpanya, akan mustahil seseorang akan dimasukkan dalam surga oleh Allah swt. Dengan kata lain, meski rahmat dan karunia menjadi poin tertinggi untuk meraih surga-Nya, amal ibadah tetap mendukung untuk menjadi salah satu alternatif meraih tempat yang penuh nikmat kelak di hari akhir tersebut.

Kontributor

  • Sunnatullah

    Pegiat Bahtsul Masail dan Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Madura.