Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Epistemologi Islam perspektif pemikir Maghribi (3): Rasionalisme al-Syathibi

Avatar photo
33
×

Epistemologi Islam perspektif pemikir Maghribi (3): Rasionalisme al-Syathibi

Share this article

Ibn Rusyd telah berhasil menguatkan pandangan sistemik-aksiomatik pada tradisi filsafat dan kalam dengan berpegang pada prinsip maqashid untuk membangun rasionalisme. Pemikiran di Andalusia kemudian dikenal dengan dua karakteristik itu. Di kemudian hari, model pemikiran seperti itu dilanjutkan oleh al-Syathibi dengan proyek pemikiran ushul fikihnya.

Nama lengkapnya, Abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa al-Syathibi. Tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Ia wafat pada tanggal 8 Sya’ban tahun 790 H./1388 M. Kira-kira ada jarak hampir 200 tahun antara meninggalnya Ibn Rusyd dengan meninggalnya al-Syathibi. Jika usia al-Syathibi diduga 70 tahun, maka ada jarak waktu sekitar 130 tahun dari Ibn Rusyd ke al-Syathibi. Nama al-Syathibi diambil dari nama kota di Spanyol, Stahiba’.

Kita tahu bahwa, Andalusia pada masa al-Syatibi yang telah penuh nuansa konflik yang menyebabkan kehidupan politik tidak stabil, dan praktek-praktek keagamaan yang menyimpang banyak diwarnai bid’ah dan khurafat, maka dari latar belakang tersebut al-Syatibi berusaha mengembangkan pemikirannya.

Sehingga, munculnya teori al-Syatibi lebih disebabkan oleh dorongan dan keinginan yang kuat, untuk menciptakan sebuah perangkat teoritis yang dapat meningkatkan fleksibilitas dan adaptabilitas hukum positif. Lebih dari itu, juga sebagai jawaban terhadap tuduhan atau respon terhadap paktek yang menyimpang dari ajaran agama yang benar. Hal ini ditunjukkan oleh al-Syathibi dalam karya monumentalnya yaitu “al-Muwafaqat” dan “al-I’tisham”.

Syahdan, nama besar al-Syathibi dikenal dalam dunia pemikiran Islam, khususnya dalam ilmu ushul fikih karena, perhatiannya yang besar terhadap tema maqashid al-Syari’ah, tujuan diberlakukannya syariat. Sebelum al-Syathibi, metode penalaran terhadap nash masih didominasi oleh dua teori penalaran.

Pertama teori keumuman lafazh dengan kaidah, al-ibrah bi umum al-lafazh la bi khushush al-lafazh. Maksudnya, jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk mersepons suatu peristiwa yang khusus. Teori ini dipegang oleh jumhur ulama.

Kedua, teori kekhususan lafazh dengan kaidah, al-ibrah bi khushush al-lafazh la bi umum al-lafazh. Maksudnya, Jika suatu nash turun untuk menanggapi suatu sebab yang khusus, maka yang harus dipegang adalah sebab yang khusus itu. Teori ini dipegang oleh minoritas ulama.

Di mana al-Syathibi, Ia tidak puas terhadap dua teoridi atas. Teori pertama terjebak pada medan bahasa yang sering meninggalkan aspek asbab al-nuzul. Sedangkan yang kedua terlalu bertumpu pada sesuatu yang juziyyah-partikular, sehingga menghilangkan aspek universalitas teks. Al-Syathibi kemudian mengajukan teori sintesis dengan pendakatan maqashid al-Syari’ah yang secara jenirik diartikan sebagai tujuan diundangkannya syariat. Ia mengatakan bahwa syariat Islam dibangun untuk kemaslahatan hamba baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam memahami maqashid al-Syari’ah, menurut al-Syathibi, ulama ter bagi menjadi tiga golongan: pertama, mereka yang berpendapat bahwa maqashid al-Syari’ah adalah suatu yang abstrak. Pandangan jenis ini menolak model qiyas. Golongan ini biasa disebut dengan golongan al-zhahiriyah. Bagi mereka, teks mengandung keseluruhan kebenaran dan menjadi alat ukur satu-satunya bagi seluruh persoalan perbuatan manusia.

Kedua, mereka yang tidak menempuh pendekatan lahir teks. Golongan ini terbagi dua, pertama, mereka yang berpendapat bahwa maqashid al-Syari’ah bukan dalam bentuk lahir dan itu. Mereka adalah kelompok al-bathiniyah. Kedua, mereka yang berpendapat bahwa maqashid al-Syari’ah harus dikaitkan dengan makna lafazh. Apabila terjadi pertentangan antara lahir teks dengan nalar, maka yang harus dimenangkan adalah nalar. Mereka adalah kelompok al-muta’ammqin fi al-qiyas, rasionalis.

Ketiga adalah mereka yang mengawinkan keduanya. Mereka menghendaki agar makna lahir tidak rusak dan tidak pula merusak kandungan illah. Mereka disebut sebagai kelompok al-raskhin, konvergensionis.

Al-Syathibi ada dalam kecenderungan yang ketiga ini dengan pertimbangan terhadap caranya dalam memahami maqashid al-Syari’ah: pertama, melakukan analisis terhadap lafazh perintah dan larangan. Jika perintah segera dilaksanakan dan larangan segera ditinggalkan, berarti telah melaksanakan maqashid al-Syari’ah.

Kedua, mengkaji terhadap illah hukum. Terhadap illah hukum yang ma’lumah (diketahui) harus diukuti saja. Seperti perintah untuk menikah dengan illah untuk tanâsul (membiakkan manusia). Sedangkan untuk illah yang ghair al-ma’lumah disarankan untuk tawaqquf (pasif) karena ketiadaan dalil.

Ketiga, membedakan mana yang menjadi maqashid al-Ashliyyah (maqashid pertama) dan mana yang menjadi maqashid al-Tabi’ah (maqashid kedua). Sebagai contoh, dalam perintah nikah, yang menjadi maqashid al-Ashliyyah adalah tanasul, sedangkan maqashid kedua seperti menggapai ketenangan. Dalam konteks ini, maqashid al-Ashliyyah tidak menagasikan maqashid al-Tabi’ah melainkan melengkapinya.

Metode al-Syathibi dengan demikian sejalan dengan pandangan Ibn Rusyd terutama tentang makna eksoteris dan makna esoteris dalam teks agama. Al-Jabiri menyimpulkan bahwa pemikiran al-Syathibi dalam ushul fikih memiliki karakter Arsitotelian yang mendasarkan diri pada basis rasionalisme.

Pembentukan Maqasid al-Syari’ah

Menurut al-Syatibi, tujuan hukum secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: pertama, yang berkaitan dengan tujuan syari’ah (Tuhan), kedua, yang berkaitan dengan tujuan para mukallaf (orang yang telah mampu bertindak hukum).

Terdapat beberapa pokok bahasan dalam kategori yang pertama, yaitu: Pertama, al-Syatibi membahas maksud Tuhan yang sebenarnya dalam menetapkan hukum, untuk melindungi kemaslatan manusia sepanjang yang diakui oleh prinsip-prinsip daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Kedua, al-Syatibi membahas maksud Tuhan dalam membuat syari’ah yang secara linguistik dapat dipahami oleh para subyek hukum dari syari’ah itu.

 Ketiga, bahwa Tuhan dalam menurunkan hukum menghendaki agar umat Islam mematuhi aturannya secara menyeluruh, dan tuntutan Tuhan itu disesuaikan dengan kemampuan manusia. Dalam hal ini, segala yang dianggap menjadi sebab kesulitan yang berlebihan (musyaqah) selalu dihubungkan dengan konsep “azimah” dan “rukhsah”, sehingga melalui rukhsah itulah semua kesulitan yang berlebihan dapat dihindari.

Sedangkan dalam kategori yang kedua, berkenaan dengan keinginan yang dimiliki para mukallaf dalam melaksanakan perintah hukum harus sejalan dengan maksud Tuhan ketika menetapkan hukum. Karena itu maksud Tuhan yang terkandung dalam tiga prinsip umum (daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat) di atas, harus sama dengan tujuan manusia dalam menerapkan hukum. Manusia dengan demikian adalah, wakil Tuhan di bumi yang merepresentasikannya dalam mengembangkan kesejahteraan sosial dengan menggunakan tujuan hukum yang sama dengan yang ditetapkan Tuhan.

Metode pembuktian induktif inilah yang telah menghubungkan dengan apa yang telah dicirikan sebagai sumber-sumber hukum dengan substansi hukum. Teori sumber-sumber hukum menggabungkan dalil-dalil secara luas yang meskipun masing-masing dalil tersebut bersifat zanni, tetapi karena masing-masing saling menguatkan, maka menghasilkan suatu kepastian. Kecenderungan hukum dan kemaslahatan umum adalah, bagian penting dari teori ini yang keabsahannya sebagai dalil diakui dengan metode pembuktian induktif.

Salah satu bukti bahwa ijma’ dan kemaslahatan umum merupakan unsur utama dari teori hukum ini dibuat atas dasar prinsip-prinsip yang universal, oleh Al-Syatibi disebut sebagai kulliyat yang membentuk dasar-dasar syari’ah. Secara hirarkhi, masing-masing prinsip itu dibentuk oleh kumpulan prinsip-prinsip Juz’iyyat yang memiliki makna atau kandungan yang sama membentuk

sebuah prinsip khusus.

Juz’i secara definitif bagian dari sebuah kulliy, sehingga sebuah juz’i harus merupakan bagian dari sebuah kulliy, karena jika ia berdiri sendiri tidak dapat dipergunakan sebagai dasar bagi teori hukum. Tetapi bagaimana jika sebuah juz’i dikecualikan setelah sebuah kulliy telah disusun atas dasar juz’iyyat yang lain dalam jumlah yang besar?

Hal ini dapat dibantah. Sebab dalam masalah hukum adalah normatif untuk menyusun sebuah prinsip umum atas dasar mayoritas mutlak, bukan dalam arti kesemuanya dari dalil-dalil yang terpilih. Karena itu, setelah lima prinsip dasar syari’ah ditetapkan, hukum harus di interpretasikan sesuai dengan prinsipnya, dan setiap juz’i yang belum diperhitungkan harus dijadikan sebagai bagian dari kulliy, atau jika ia berupa juz’i yang berdiri sendiri, maka ia harus ditinggalkan.

Akhirnya dari sini kita tahu bahwa, kesadaran al-Syatibi mengenai logika induktif tampak mendorongnya untuk membenarkan tesisnya yang berdasarkan bahwa, hanya dengan sarana induktif yang meyakinkan prinsip-prinsip hukum yang umum itu dapat diformulasikan.

 

Referensi:

Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah.

Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al-Syatibi’s Life and Thought.

Philip K. Hitti, History of The Arabs

Sejarah Teori Hukum Islam (Pengantar Untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni)

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.