Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Fikih haid, masih perlukah?

Avatar photo
36
×

Fikih haid, masih perlukah?

Share this article

Dalam sebuah momentum, saya menjelaskan soal fikih haid dalam kitab Minhaj Thalibin di hadapan mahasantri putri. Saat saya larut dalam penjelasan, tiba-tiba salah seorang dari mereka nyeletuk “Ustad, gausah dijelasin dah. Kita makin ribet.”

Seketika saya tersadar dan buru-buru menghentikan pelajaran. Logikanya sederhana, mereka sudah merasakan beban fisik dan psikis yang begitu berat akibat menstruasi, lalu masih dibebani oleh aturan fikih yang amat sangat tidak ramah perempuan.

Jika berbicara soal fikih haid khususnya dalam mazhab syafi’i, maka kita akan dapati aturan yang begitu kompleks dan menyusahkan perempuan. Entah metodologi apa yang digunakan untuk merumuskan sejumlah ketentuan rumit itu, hanya yang pasti fikih kita kurang memperhatikan –kalau tidak mau mengatakan abai– terhadap pengalaman-pengalaman perempuan yang terus berkembang dan beragam. Tentu saja, ini kenyataan yang tidak terbantahkan.

Salah satu prinsip agama Islam adalah memberikan kemudahan (taysir) terhadap seluruh penganutnya tanpa membeda-bedakan jenis kelamin. Namun prinsip itu tidak dijumpai dalam fikih haid yang dirumuskan oleh para ulama yang kesemuanya laki-laki. Alih-alih memudahkan, rumusan fikih haid malah makin menyusahkan dan membingungkan perempuan. Sudah sakit, malah diperumit.

Bila melihat sejarahnya, dalam merumuskan fikih haid, Imam Syafi’i melakukan metode istiqra’ yaitu dengan melibatkan pengalaman perempuan terkait menstruasi yang mereka alami. Sayangnya, metode istiqra’ itu tidak lagi hadir dalam fikih haid di generasi-generasi berikutnya. Para ulama, hanya mencukupkan terhadap penelitian yang sudah dibukukan oleh Imam Syafi’i. Kalaupun ada, maka hasil istiqra’-nya tidak jauh menyimpang dari rumusan yang sudah ada atau bisa jadi makin memperumit. Padahal mereka tidak pernah mengalami menstruasi.

Dalil Seputar Menstruasi (haid)

Satu-satunya tempat di  al-Qur’an yang menjelaskan soal haid atau menstruasi adalah surat al-Baqarah ayat 222:

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

Artinya: Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.

Imam al-Baghawi dalam kitab tafsirnya yang terkenal, Ma`alim al-Tanzil menceritakan sabab nuzul ayat di atas. Diceritakan melalui hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa biasanya orang-orang Yahudi tidak membiarkan istri-istri mereka untuk tinggal di rumah pada saat haid.

Lebih dari itu, bahkan mereka enggan makan, minum dan “kumpul” bersama istri-istri mereka. Pada titik ini, perempuan benar-benar sengsara tak terkira. Di satu sisi mereka harus merasakan sakit fisik maupun psikis akibat siklus bulanan yang sudah menjadi kodrat bagi kaum perempuan. Di sisi lain, mereka juga harus merasakan sakit lantaran dikucilkan oleh suami-suami mereka. Nabi ditanya, lalu turunlah ayat di atas sebagai pembelaan terhadap kaum perempuan.

Di sini, kita tahu bahwa Allah sangat perhatian terhadap pengalaman perempuan dalam menstruasi. Kenyataan perempuan merasakan sengsara akibat menstruasi, belum lagi perlakuan tak manusiawi yang mereka terima membuat Allah harus “turun tangan” sendiri membela mereka.

Kendati membuka ruang penafsiran yang beragam, tetapi intinya melalui ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa tidak boleh mengucilkan perempuan di saat haid sebagaimana perlakuan orang-orang Yahudi. Bahkan Allah menyuruh para suami untuk berkelakuan baik terhadap istri dan tidak mengganggunya dengan mengajak mereka berhubungan badan saat menstruasi. Intinya, Allah benar-benar memperlakukan perempuan secara istimewa dan tidak membebani mereka dengan detail-detail rumus haid.

Di dalam hadis pun tidak jauh berbeda dengan al-Qur’an, menjelaskan hukum menstruasi dengan amat sederhana dan meringankan.

Misalnya hadis dari jalur periwayatan Aisyah ra yang menceritakan seorang perempuan bernama Fatimah binti Abi Hubaisy.

Suatu ketika dirinya bertanya kepada Nabi perihal menstruasi. Nabi menjawab “Sejatinya, darah menstruasi itu berwarna (merah) kehitam-hitaman. Bila darah berwarna itu yang kau dapati, maka tinggalkan salat. Tetapi bila tidak berwarna kehitam-hitaman, maka itu bukan haid. Silahkan wudhu’ dan laksanakan salat”.

Di sini Nabi menjelaskan tuntunan haid dengan simpel dan tidak membingungkan perempuan.

Hadis lain yang juga riwayat Aisyah ra adalah kisah Ummu Habibah binti Jahsy yang berkeluh-kesah pada Nabi seputar darah istihadoh. Lagi-lagi Nabi memberikan jawaban mudah kepada Ummu Habibah. “Silahkan berpedoman pada kebiasaan haidmu, selebihnya kau harus wudhu’ setiap kali hendak melaksanakan salat”

Nabi enggan mempersulit Ummu Habibah da perempuan pada umumnya dengan memasrahkan urusan menstruasi pada perempuan sendiri. Sederhana saja, sebab merekalah yang mengalami dan merasakan siklus menstruasi bukan laki-laki.

Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syatiri dalam Syarh al-Yaqur an-Nafis Fii Mazhab Muhammad bin Idris menceritakan sebuah pendapat yang disinyalir bersumber dari Imam Malik.

والامام مالك يقول اذا كان الدم موجودا فهو حيض واذا كان غير موجود فهو طهر بشروط. وكثير من العلماء خففوا على المتحيرة منهم السيد العلامة أحمد بن حسن العطاس يقول:(أتركوا النساء وعاداتهن ولا تسألوهن).

“Imam Malik berpendapat bila perempuan mendapati darah keluar dari kemaluannya, maka itu menjadi pertanda bahwa dia sedang dalam keadaan haid. Sedang bila tidak ada darah yang keluar, berarti dia dalam keadaan suci dengan beberapa syarat. Kebanyakan ulama memilih pendapat ringan pada kasus perempuan mutahayyirah. Di antaranya adalah Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas. Beliau katakan: Biarkan saja perempuan mengikuti kebiasaan (menstruasi) mereka. Kita tak perlu mempertanyakannya”.

Alasan inilah yang melatarbelakangi Syekh Zainuddin al-Malibari enggan menulis fikih haid dalam bukunya yang terkenal di kalangan pesantren dan akademisi yaitu Fath al-Muin.

Dikisahkan oleh Habib Ahmad bin Hasan al-Attas dalam kitab Tadzkir an-Nas, bahwa suatu ketika Syekh Zainuddin ditanya ihwal tidak dicantumkannya bab haid dalam kitabnya. Al-Malibari menjawab “rojulun ma yahid, wa imroatun ma tas’al”, laki-laki tidak pernah mengalami menstruasi sedang perempuan juga tak pernah bertanya. Maka, dua alasan ini sudah cukup untuk tidak menuliskan fikih haid.

Lebih lanjut al-Malibari mengemukakan bahwa para ahli fikih hanya memberatkan perempuan dengan membuat klasifikasi darah dengan berbagai warna. Dampaknya, perempuan dipaksa untuk mandi berkali-kali meski dalam kondisi kelelahan.

Bahkan parahnya, boleh jadi mereka tidak salat padahal kenyataannya dalam keadaan suci atau salat sementara nyatanya mereka tidak suci. Maka seharusnya, ihwal fikih haid ini dipasrahkan sepenuhnya kepada perempuan. Sebab mereka yang lebih tahu terkait pengalaman yang mereka alami dan rasakan. Pada batas ini, seorang laki-laki tidak perlu ikut campur dalam merumuskan fikih haid yang malah memperumit kaum perempuan.

Walhasil, pendapat yang paling ramah perempuan adalah qaul yang dikemukakan oleh Imam Malik. Perempuan dianggap suci selama tidak keluar darah dan dianggap haid pada saat keluar darah. Bukan hanya tidak menyusahkan, pendapat ini juga sekaligus memudahkan kalangan perempuan. Wallahu a’lam.

Kontributor

  •  Wandi Isdiyanto

    Saat ini menjadi tenaga pengajar Ma'had Aly Situbondo. Tinggal di Banyuwangi Jawa Timur. Meminati kajian tafsir, hadits, fikih, ushul fikih dan sejarah.