Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Filosofi Al-Bayān Sebagai Metodologi

Avatar photo
35
×

Filosofi Al-Bayān Sebagai Metodologi

Share this article

Persinggungan kita dengan ungkapan dan teks
pertama-tama adalah persinggungan kita dengan ‘konsep’. Suara, huruf, kata,
leksikon, kalimat, dan paragraf—adalah keniscayaan linguistik yang tidak perlu
dipertanyakan lagi.

Membicarakan teks tidak sama dengan membicarakan
konsep, meskipun suatu teks tak mungkin telanjang dari konsep. Dalam hal ini
kita perlu membedakan antara dua studi dalam tradisi linguistik.

Studi tentang bahasa dibagi berdasarkan dua taraf:
(i) semantik, dan (ii) semiotik. Semantik berurusan dengan makna, sementara
semiotika berurusan dengan tanda.

Dalam semantik, tingkat pertama mempelajari
tentang kata, yaitu dalam ilmu morfologi; tingkatan kedua mempelajari tentang
struktur kalimat, yaitu dalam ilmu sintaksis; sementara tingkat ketiga
mempelajari tentang konteks kalimat, yaitu dalam ilmu retorika (balāgah).

Dalam semiotik, tanda dipelajari tidak hanya dalam
konteks terbatasnya semantik, yakni mencari makna melalui sejarah ‘pemaknaan’,
melainkan menjajarkan tanda melalui struktur pembangunnya.

Oleh sebab itu, semiotika tidak hanya berbicara
bahasa oral dan tekstual sebagai objek kajian, akan tetapi semua tanda yang
dapat merujuk kepada suatu konsep. Kata maupun tanda sama-sama memuat konsep.
Dan konsep inilah yang dapat memerantarai antara semantik dan semiotik.

Pakar semantik modern seperti Gottlob Frege
umumnya memahami konsep sebagai predikat. Konsep tidak terletak pada subjek
karena ia belum diketahui kecuali melalui predikat, baik terucapkan maupun
tidak.

Sementara itu, pakar semiotika modern seperti
Ferdinand de Saussure dan kemudian pencetus semiologi yaitu Roland Barthes
memahami konsep berdasarkan petanda dari penanda. Penanda adalah pembawa
petanda yang jika dalam semiologi Saussurean ditujukan kepada realitas mental,
yakni makna yang terpikirkan oleh subjek.

Meskipun kecenderungan kedua cabang linguistik ini
berbeda dan bahkan antara semiotika dan semiologi terdapat perselisihan, akan
tetapi semua boleh dibilang sepakat bahwa konsep dibawa oleh proposisi. Dalam
kata lain, konsep dinaungi oleh statemen.

Proposisi atau statemen paling tidak memuat dua
partikel: (i) subjek, dan (ii) predikat. Pernyataan kita bahwa manusia adalah
hewan yang berpikir mengandung subjek berupa manusia dan predikat berupa hewan
yang berpikir. Konsep tentang subjek manusia dibawa oleh predikatnya.

Dalam disiplin logika, predikat di sini
menunjukkan hakikat subjeknya, yang artinya subjek didefinisikan oleh predikat.
Definisi merupakan penjelasan atas sesuatu. Penjelasan dalam struktur teks
disebut pernyataan. Artinya, pernyataan mencirikan penjelasan atau statemen.

Apabila konsep dibawa oleh pernyataan dan ia
sekaligus merupakan realitas mental, maka sumber dari konsep itu, yakni
pernyataan, bisa datang dari mana saja. Hal ini akan lebih jelas dengan
membedakan antara persepsi dan konsepsi.

Persepsi adalah pengalaman langsung terhadap
objek. Ketika kita melihat benda bulat yang terbuat dari kulit, kita
sesungguhnya sedang melakukan tindak persepsi. Sifat utamanya adalah langsung,
intuitif, dan partikular. Objek persepsi kemudian direngkuh oleh konsepsi.
Melalui suatu sumber kita tahu bahwa objek persepsi kita tadi adalah bola.
Kemudian kita memiliki konsep tentang sebuah bola, yaitu benda bulat yang …
dan seterusnya.

Seperti yang sudah saya katakan, sumber konsep
bisa datang dari mana saja, termasuk dari teks yang dianggap sakral oleh
kalangan tertentu. Teks sakral—dalam studi linguistik—tingkatannya sama dengan
teks profan, karena ilmu linguistik menafikan sumber teks dan hanya berpaku
kepada muatan dan bentuk teks. Hal yang sama juga dilakukan oleh ilmu logika.
Teks suci adalah sekumpulan proposisi yang tidak mungkin lepas dari jangkauan
logika. Kata kuncinya di sini adalah konsep, proposisi, dan pernyataan atau
statemen. Dan kitab suci, sebagai teks, memuat ketiga hal itu.

Dalam studi retorika Arab, istilah bayān—yang
leterleknya bermakna ‘statemen’—merujuk kepada sub-disiplin ilmu yang
mempelajari tentang makna lain selain yang terujar/tertulis. Makna ini
merupakan makna ‘kebiasaan’ yang sudah diambil oleh bidang kajian. Sementara
makna ‘peletakan’-nya justru kita temui dalam bidang kajian ilmu Ushul Fikih.
Tokoh sentral dan pemulanya adalah Imam asy-Syafi’i.

Dalam kitabnya ar-Risalah, ia
mendefinisikan bayān dengan: “Nama yang mencakup makna-makna yang menghimpun prinsip-prinsip
(dan) merinci cabang-cabang.”

Asy-Syafi’i menyebutkan nama (isim) sebagai
pembawa makna atau konsep. Makna yang terhimpun dan terinci ini paling minimal
dipahami oleh bahasa di mana nama atau isim itu diletakkan kepadanya, seperti
al-Quran yang dipahami oleh orang Arab atau oleh orang yang paham bahasa Arab,
kendati makna satu sama lainnya yang dibawa al-Quran berbeda dari segi
kerumitannya.

Itu artinya, secara linguistik, al-Quran adalah
bagian dari sumber statemen yang membawa makna atau konsep. Sebagai sumber,
al-Quran diletakkan oleh dua kecenderungan berikut: (i) sumber tekstualis yang
tidak perlu dipertanyakan lagi, yakni oleh ilmu Fikih, Ushul Fikih, Kalam,
Nahwu, dan balagah; dan (ii) sumber metodologis yang dipertanyakan berdasarkan
muatannya, yakni oleh ilmu metafisika, logika, dan gnostika—secara umum
filsafat.

Saya tidak perlu menyentuh al-Quran sebagai sumber
tekstualis, karena hal itulah yang dituju oleh asy-Syafi’i dan seluruh punggawa
ilmu Ushul Fikih.

Yang justru ingin sedikit saya masuki adalah
sumber metodologis. Al-Quran berisi sekumpulan statemen. Statamen dapat dinilai
sebagai kebenaran dan kesalahan. Justifikasi atas kebenaran statamen didapat
melalui banyak cara. Yang paling dominan dalam studi logika demonstratif adalah:

(i) pengetahuan elementer (awwali), seperti
pengetahuan bahwa yang genaral lebih besar daripada yang spesifik.

(ii) pengetahuan empiris, seperti pengetahuan
tentang kenyataan bahwa matahari bersinar.

(iii) pengetahuan sambung-sinambung (mutawātirah),
seperti pengetahuan bahwa Soekarno adalah presiden pertama Indonesia.

Dalam al-Quran, pengetahuan elementer terpotret
dari pertanyaan Allah kepada kaum kafir dalam surat an-Nahl ayat 42 yang
berbunyi: “Apakah dzat yang menciptakan seperti halnya orang yang tidak
menciptakan?” Pertanyaan ini adalah pertanyaan ingkar yang menunjukkan
proposisi positif bahwa: “dzat yang menciptakan pasti tidak sama dengan orang
yang tidak menciptakan.” Pengetahuan manusia tentang perbedaan keduanya adalah
pengetahuan elementer yang tidak membutuhkan usaha. Tetapi karena kekerasan
hati orang kafir, mereka tidak mau mengakui jenis pengetahuan ini. Oleh sebab
itu, ayat ini dipungkasi dengan sindiran: “Apakah kalian semua tidak berpikir?”

Pengetahuan empiris juga disinggung al-Quran.
Dalam surat Yasin ayat 38, misalnya, al-Quran menuturkan: “Dan matahari
berjalan di tempat peredarannya.” Melalui data empiris, matahari yang kita
lihat setiap hari beredar konstan, terbit dari timur tenggelam di barat, bahkan
melalui ilmu astronomi, pengetahuan empiris ini terbukti absah: matahari punya
rotasi, yaitu berputar pada porosnya, pun belakangan ditemukan bahwa matahari
juga berevolusi, yakni berputar mengitari pusat galaksi bimasakti. Apabila
tidak ada penemuan astronomi, pengetahuan empiris sudah cukup membuktikan
bagaimana pernyataan al-Quran memang benar. Dan lantaran al-Quran adalah kitab
petunjuk, ayat di atas dipungkasi dengan: “Demikianlah ketetapan (Allah) Yang
Mahaperkasa, Maha Mengetahui.”

Pengetahuan sambung-sinambung sangat banyak jumlahnya.
Nama-nama Nabi dan orang terdahulu yang disebutkan oleh al-Quran beserta
peristiwa yang dialami oleh mereka merupakan pengetahuan yang tidak bisa
dibantah lagi. Kisah tentang pemuda yang tertidur di gua selama tiga abad lebih
pada masa Nabi sudah masyhur di antara orang Arab karena tempat gua tersebut
termasuk jalur perdagangan mereka. Di masa sekarang, sejarah yang ketat
kriterianya juga membenarkan kisah tersebut. Gua tempat para pemuda itu tidur
masih ada dan menjadi saksi sejarah. Dalam hal ini al-Quran memang bukan kitab
sejarah, tapi ia tidak pernah mengarang-ngarang sejarah. Nama tokoh-tokoh dalam
al-Quran adalah figur sejarah dan nyata.

Asy-Syafi’i telah mencetuskan konsep bayān dalam
konteks filsafat hukum Islam. Ia sangat telaten dan cekatan dalam meneliti
al-Quran sebagai sumber hukum. Hingga akhirnya ia menemukan linguistika
al-Quran, sebut saja konsep umum dan khusus, general dan parsial, tekstual dan
kontekstual, dan seterusnya.

Dalam bidang filsafat akidah, upaya asy-Syafi’i
dengan filsafat bayān-nya perlu diberdayakan sebagai metode. Upaya itu sekilas
ditempuh oleh Al-Ghazali dengan mendefinsikan bayān dalam kitabnya al-Mustashfa
sebagai “konsep tentang perkara yang berhubungan dengan pendefinisian dan
penjelasan.” Dengan definisi ini, sesungguhnya Al-Ghazali mengisyaratkan konsep
al-bayān sebagai logika. Bayān dapat menjadi logika berpikir, sebagaimana bayān
menjadi logika hukum.

Hal itu karena bayān berhubungan dengan
pendefinisian yang juga merupakan fokus konsentrasi ilmu logika. Pun berhubungan
dengan penjelasan, yaitu proposisi. “Penjelasan,” kata Al-Ghazali, “dihasilkan
dari argumen, dan argumen mengantarkan kepada pengetahuan.”

Berarti di sini ada tiga komponen: (i) penjelasan,
(ii) argumen yang dengannya muncul penjelasan, dan (iii) pengetahuan yang
dihasilkan dari argumen. Ketiga komponen ini terdapat dalam al-Quran jika kita
memposisikannya sebagai metode berpikir.

Argumentasi yang darinya muncul pengetahuan
dibutuhkan di luar pengetahuan apriori. Dalam disiplin logika, argumen ini
dibangun dari premis-premis. Ada kalanya premis itu absolut dan meyakinkan dan
ada kalanya tidak. Hal ini tentu ditempuh dari upaya bayāni, yakni upaya
mengeluarkan kata dari spektrum ketidak-jelasan ke spektrum kejelas-benerangan.
Dan upaya bayāni definitif ini dilanjutkan dengan upaya untuk menghasilkan
pengetahuan dalam perkara yang membutuhkan pengetahuan. Yang dimaksud
pengetahuan di sini, seperti yang sudah disebut di atas, adalah pengetahuan
non-apriori.

Upaya mencari filosofi bayān di tataran metafisika
ketuhanan dan keilmuan lainnya semisal sosiologi pengetahuan masih sangat
kurang. Al-Quran selama ini cenderung diletakkan sebagai sumber tekstual di
mana ketika seseorang mengutipnya seolah kebenaran telah selesai. Padahal lebih
dari itu al-Quran merupakan sumber metode dalam berpikir. Dan melalui konsep
bayān, metode itu bukan lagi laiknya cakrawala yang ketika kita dekati semakin
menjauh dan selalu menjauh.

Kontributor

  • M.S. Arifin

    M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.