Al-Bayān
adalah nama bagi konsep yang berurusan dengan konsep. Konsep ditampung oleh
kata atau nama, dan bayān atau penjelasan atas nama atau kata itu menjadikan
makna kata menjadi mapan. “Keterpahaman” adalah tujuan awalnya, dan
“kejernihan” adalah tujuan selanjutnya. Melalui bayān, kata menjadi penampung
konsep yang paling kokoh. Kata menjadi terpahami dan terjenihkan dari, dalam
bahasa Al-Ghazali, ‘wilayah isykāl—samar’. Kesamaran adalah lawan dari
kejelasan.
Asy-Syafi’i
mengawali kitab ‘ar-Risālah’-nya dengan konsep al-bayān. Konsep ini berdasarkan
pada atribusi al-Quran atas dirinya sendiri sebagai bayān, penjelasan. Suatu
penjelasan dapat dipahami paling tidak oleh orang-orang yang mana al-Quran
turun bagi mereka, atau bagi mereka yang paham bahasa al-Quran. Suatu
penjelasan atas sesuatu, dalam logika, disebut dengan ‘definisi’. Definisi
merupakan pembatasan atas sesuatu melalui pernyataan atau proposisi atau
statemen. Menyatakan “hewan yang berpikir” berarti mengatakan tentang manusia.
Menyatakan “suatu perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan
salam” berarti mengatakan tentang shalat. Dengan konsep al-bayān, lengkap sudah
perkara definisi, baik di tataran logika formal maupun logika agama.
Al-Ghazali
membawa konsep al-bayān ke wilayah yang lebih jauh. Wilayah tersebut, jika
boleh difiksasi, adalah wilayah “proposisi” atau bagian kedua dari logika,
yakni pembenaran (at-tashdīq). Oleh karenanya, Al-Ghazali menyatakan dalam
kitab ‘al-Mustashfā’ bahwa “penjelasan dihasilkan dari argumen, dan argumen
mengantarkan kepada pengetahuan.” Hasil akhir dari konsep al-bayān adalah
pengetahuan itu sendiri. Suatu hal menjadi pengetahuan jika konsepnya sudah
jelas dalam pikiran. Di antara penjelasan dan pengetahuan ada mediator berupa
argumen. Dalam bahasa Arab, argumen adalah ‘ad-dalīl’. Secara leterlek, ia
bermakna ‘petunjuk’. Suatu petunjuk menjelaskan suatu hal. Menunjukkan sesuatu
melalui kata-kata adalah menjelaskan sesuatu. Dengan demikian, petunjuk
mengarah kepada penjelasan dan dari keduanya secara berurutan menghasilkan
pengetahuan.
Suatu statemen atau proposisi bisa berdiri hanya mengandalkan
satu kalimat utuh yang memuat subjek dan predikat, atau dalam sintaksis, “suatu
hal yang bisa dibenarkan dan disalahkan”. Pembenaran dan penyalahan adalah elemen
dari kabar, berita, dan keduanya merupakan statemen, pernyataan. Menyatakan
‘Budi berdiri di depan masjid’ berarti menyandarkan predikat berupa ‘berdiri’,
dan menunjuk ke suatu lokalitas berupa ‘di depan masjid’, kepada subjek berupa
‘Budi’. Ini adalah pernyataan dan berita yang bisa dibenarkan atau disalahkan
berdasarkan pada kenyataan. Statemen yang bisa hanya berupa satu kalimat utuh
ini belum bisa dikatakan ‘bukti’ (al-burhān). Pembuktian atas suatu pernyataan
atau proposisi tidak bisa diambil dari konsep al-bayān itu sendiri. Dengan
demikian, al-bayān membutuhkan perangkat filosofis yang lain. Di sini kita akan
menyebutnya dengan al-burhān.
Seperti konsep al-bayān, konsep al-burhān juga diambil dari
al-Quran. Dalam surat An-Nisa’: 174, Tuhan berfirman: “Wahai manusia, telah
datang kepada kalian ‘burhān’ dari Tuhan kalian dan telah kami turunkan kepada
kalian ‘cahaya’ yang benerang.” Imam Baidlawi dalam tafsirnya berkata bahwa
yang dimaksud dengan ‘burhān’ di atas adalah mukjizat, yakni argumen rasio,
sedangkan yang dimaksud dengan ‘cahaya’ di atas adalah al-Quran, yakni argumen
tekstual. Al-Burhān di situ juga bisa bermakna: (i) agama, atau (ii) Rasul,
atau (iii) al-Quran itu sendiri. Jadi, teks al-Quran adalah al-burhān itu
sendiri yang telah dijelaskan oleh Tuhan melalui Rasul-Nya dan menjadi bagian
tak terpisahkan dari agama. Al-Quran sebagai sumber tekstualis, sebagaimana
pernah saya ungkap, tidak megharuskannya menjadi doktrinal, jika sumber
rasional juga terkandung di dalamnya.
Dalam al-Quran, kata burhān muncul delapan kali dalam
beberapa surat: (i) Al-Baqarah: 111, (ii) An-Nisa: 174, (iii) Yusuf: 24, (iv)
Al-Anbiya’: 24, (v) Al-Mukminun: 117, (vi) An-Naml: 64, (vii) Al-Qashash: 32,
dan (viii) Al-Qashash: 75. Jika dikategorikan, kata burhān di dalam ayat-ayat
tersebut hadir untuk tiga posisi: (i) al-Quran menantang lawan debatnya untuk
menghadirkan burhān jika mereka memang benar, (ii) al-Quran menjelaskan dirinya
sendiri sebagai burhān, dan (iii) al-Quran menjelaskan bahwa orang-orang yang
menyekutukan Allah tidak bisa menghadirkan burhān atas apa yang mereka lakukan.
Di atas kita telah melihat bahwa pernyataan mengandung
kebenaran atau kesalahan, negasi atau afirmasi. Maka, menyatakan sesuatu
berarti mengklaim, dan suatu klaim tak akan dianggap benar tanpa bukti atau
burhān. Dalam tafisirnya atas Surat Al-Baqarah: 174, Ar-Razi menyatakan bahwa
siapa pun orangnya yang mengklaim sesuatu, baik menegasi (contohnya: Tuhan
tidak ada), maupun afirmasi (Tuhan memiliki anak) harus menghadirkan bukti. Hal
itu menunjukkan bahwa taklid buta terhadap para pendahulu yang sesat itu tidak
diperbolehkan. Dalam hal ini, ayat di atas berkaitan dengan klaim umat Yahudi
dan Nashrani bahwa hanya merekalah yang masuk surga. Al-Quran menantang mereka
untuk menghadrikan bukti untuk menguatkan klaim mereka. Dari sini kita
mendapati al-Quran sangat kritis terhadap penyataan yang tidak benar, yang
sebagian besar didasarkan pada taklid buta dan sebagian lainnya didasarkan pada
logika yang rancu.
Mengenai logika yang rancu, al-Quran menantang mereka yang
menyekutukan Allah untuk menghadirkan bukti. Al-Quran menyatakan dengan
pertanyaan ingkar: “Bukankah Dia (Allah) yang menciptakan (makhluk) dari
permulaannya, kemudian mengulanginya (lagi)?” Al-Quran mengajukan bukti bahwa
“tiada Tuhan lain di samping Allah”. Ketika orang-orang kafir menuhankan
sesuatu selain Allah, al-Quran mengajukan bukti bahwa apa yang mereka tuhankan
tidak bisa menciptakan apa pun, bahkan mereka diciptakan, adakalanya diciptakan
oleh Allah seperti gunung, matahari, dan pohon, atau adakalanya diciptakan oleh
mereka yang menyembah, seperti berhala dan patung. Menciptakan sesuatu yang
hidup kemudian membangkitkannya setelah mati tidak bisa dilakukan kecuali oleh
Tuhan, dan Tuhan tersebut harus bukan tuhan yang diciptakan melainkan Tuhan
Maha Menciptakan. Bukti yang diajukan al-Quran ini adalah logika yang mendapat
sinaran kebenaran, logika yang lurus, bukan logika yang rancu atau bengkok.
Ar-Razi dalam tafsirnya selalu menjelaskan konsep al-burhān
dalam kerangka anti-taklid buta. Segala sesuatu yang berdasarkan kepada taklid
buta rentan terjerumus dalam kesalahan, kemudian kesesatan. Apa yang dihadapi
oleh Nabi di Mekah tidak lain adalah mereka yang dijerat oleh taklid buta
terhadap nenek moyang mereka. Dengan sangat telak al-Quran menyatakan dalam
surat Al-Baqarah: 170: “Apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang
telah diturunkan oleh Allah,” mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa
yang kami dapati pada nenek moyang kami.” Padahal, nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapatkan petunjuk.” Bukti tidak melekat
pada siapa, tetapi pada isi dari bukti itu sendiri. Bukti mengantarkan kepada
kebenaran dan sebagai penguat kebenaran, dan kebenaran bukan barang milik. Ia
adalah objektif, tidak bergantung siapa yang mengatakan. Kebenaran adalah
kebenaran, tidak peduli siapa pun yang mengatakannya. Al-Quran mengajarkan kita
untuk bersikap objektif dan menghindari taklid buta.
Filosofi al-burhān terletak pada kontennya. Pun lebih dari
itu, al-burhān adalah metode untuk menentukan suatu pernyataan disebut benar
atau keliru. Bagaimana cara mendayagunakan al-burhān sebagai metode, lebih
tepat sebagai metode berpikir dan berargumen? Pertanyaan ini adalah pertanyaan
soal mode pembuktian: (i) induktif, (ii) deduktif, (iii) dan abduktif. Ketiga
metode ini, alih-alih bertentangan satu sama lain, justru saling menguatkan
apabila didayagunakan dengan proporsional. Al-Quran memang bukan kitab ilmiah,
tetapi di dalamnya semangat ilmiah sungguh kentara. Dalam banyak ayatnya, kita
dituntut al-Quran untuk melakukan penelitian berdasarkan metode induktif, yakni
suatu penalaran dari yang khusus ke yang umum. Lihat misalkan ayat ke-17 dari
surat Al-Ghasyiyah yang berbunyi: “Apakah mereka tidak memikirkan unta
bagaimana ia diciptakan?” Meneliti objek partikular seperti unta akan
mengantarkan kepada penyimpulan universal atau mendekati universal. Dan jika
mau diteruskan, penelitian itu akan sampai kepada kesimpulan bahwa struktur
unta yang kompleks adalah hasil dari ciptaan Dzat yang Maha Mengetahui.
Metode deduktif dapat kita temui di banyak ayat dalam
al-Quran. Ambil contoh ayat dalam Al-Baqarah: 258 yang berbunyi: “Maka
Allah-lah yang mendatangkan matahari dari timur, maka datangkanlah ia dari
barat.” Al-Ghazali dalam kitabnya ‘al-Qisthās al-Mustaqīm’ menyebut ayat ini
sebagai contoh dari ‘Timbangan Akbar’ (al-mīzān al-akbar). Ayat di atas
mengandung silogisme, meskipun tersembunyi. Jika diungkapkan dalam silogisme,
maka akan berbunyi:
(Premis Mayor)
Setiap dzat yang dapat menerbitkan matahari adalah Tuhan
(Premis Minor)
Tuhanku—Tuhan Ibrahim—adalah Dia yang berkuasa untuk
menerbitkan
(Kesimpulan)
Maka Tuhanku adalah Tuhan yang sebenarnya (bukan kamu, wahai
Namrud)
Bentuk dari silogisme di atas adalah:
(Setiap) A adalah B
(Setiap) C adalah A
_________________
(Setiap) C adalah B
Bukti logis sekaligus faktual inilah yang membikin Namrud
diam tak berkutik. Metode ini masih banyak bertebaran dalam al-Quran, menanti
para pengkaji untuk menemukan dan mengungkapnya. Inilah metode yang saya
katakan tidak ‘dogmatis’ karena berakar pada kelogisan. Logika yang lurus dapat
mengantarkan orang menuju keyakinan yang lurus pula, meskipun antara keduanya
tidak ada status quo, dan dari situ hidayah Tuhan berperan.
Metode abduksi baru dirumuskan sekitar abad ke-19. Metode ini
berbunyi bahwa penalaran dapat dilakukan dari fakta ke aksi atau suatu kondisi
yang menjadikan fakta tersebut terjadi. Contohnya, Arifin selalu berangkat
kerja lebih cepat jika hatinya senang. Penyimpulan atas aksi diambil dari fakta
yang selalu terjadi. Suatu kondisi di mana Arifin berangkat kerja lebih cepat
diambil dari fakta bahwa hatinya sedang senang. Penyimpulan seperti ini
bernilai universal. Boleh dikatakan bahwa penyimpulan mode ini adalah konsekuen
dari adanya anteseden. Patokannya adalah “jika-maka” (meskipun implisit).
“Jika” menunjuk ke anteseden, dan “maka” menunjuk ke konsekuen. Dalam al-Quran,
metode ini juga digunakan. Ambil contoh misalnya dalam surat Al-Anfal: 2 yang
berbunyi: “Mereka yang ketika nama Allah disebut bergetar hatinya, dan ketika
ayat-ayat-Nya dibacakan kepada mereka, bertambah (kuat) imannya.” Ayat ini
menyifati orang-orang mukmin. Siapa mereka? Fakta dalam ayat di atas adalah
“getaran hati” dan “tambah kuatnya iman”. Sedangkan aksinya adalah “ketika nama
Allah disebut” dan “ketika ayat-ayat-Nya dibacakan”. Kedua aksi, yakni
anteseden, ini meniscayakan fakta, yakni konsekuen, dan hukum ini berlaku
universal. Tiap orang yang benar-benar beriman, maka ketika nama Allah disebut
hati mereka bergetar dan ketika ayat-ayat-Nya dibacakan maka keimanan mereka
akan bertambah kuat.
Masih banyak lagi ayat yang memuat metode abduktif. Yang
jelas, dari uraian di atas, kita mendapatkan kesimpulan bahwa al-burhān adalah
konten sekaligus metode. Melalui al-burhān kita belajar bagaimana caranya
membuktikan sesuatu, baik melalui teks, maupun konteks, fakta maupun nalar, dan
seterusnya. Al-Quran sebagai metode berpikir, seperti yang sudah saya ungkapkan
di tulisan lainnya, bukanlah angan-angan belaka. Ibarat realitas alam semesta
sebagai kitab yang terlihat, banyaknya hal yang belum terungkap tidak
menunjukkan hal itu tidak ada, tetapi belum ditemukan; begitu juga al-Quran
sebagai kitab yang tertulis, ia masih menyimpan banyak misteri yang menunggu untuk
ditemukan, dipelajari, disebarkan, dan diamalkan. Yang namanya kitab itu butuh
pembaca. Kitalah sang pembaca, entah kita menyadarinya atau tidak. Dan membaca
tidak sekadar melafalkan, bukan?