Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Fiqih Siyasah dan tatanan dunia baru

Avatar photo
38
×

Fiqih Siyasah dan tatanan dunia baru

Share this article

Fiqih siyasah (politik) merupakan bagian dari fiqih muamalah. Fiqih muamalah memiliki prinsip dan kaidah yang berbeda dari fiqh ibadah. Salah satu prinsip dari fiqih muamalah adalah Bina uhu al-ilali wa al-masholih bahwa fiqih muamalah dibangun di atas prinsip illat-illat dan kemaslahatan. Kaidah lain mengatakan “muamalah adalah persoalan longgar, kita bisa melakukan berbagai hal menyangkut fiqih muamalah sepanjang tidak ditemukan dalil yang melarang”.

Itu artinya, sekiranya kita ditanya atau diminta untuk menghukumi persoalan yang merupakan bagian dari fiqih muamalah, tidak perlu mencari dalil yang membolehkan, maka cukup dengan tidak ditemukannya dalil yang melarang. Sebuah kaidah mengatakan “pada dasarnya muamalah itu boleh”.

Namun demikian, ada juga fiqih siyasah yang sangat populer disampaikan oleh Ibnu aqil al-Hambali, beliau mengatakan siyasah atau politik adalah aktivitas atau sebuah kebijakan yang karenanya, manusia akrab dengan kemaslahatan dan jauh dari pada kerusakan, meskipun itu tidak ditetapkan oleh Nabi serta tidak berdasarkan Wahyu.

Dengan demikian, acuan siyasah atau politik selain maslahah muktabarah, yang paling banyak adalah maslahah mursalah. Apakah politik punya acuan maslahah muktabarah? Jawabanya pasti. Akan tetapi, sebagian besar mengacu kepada maslahah mursalah. Ada sesuatu yang menurut akal sehat adalah baik, akan tetapi tidak ada dalil yang mengapresiasi maupun menafikan, itu namanya maslahah mursalah.

Tak hanya itu, maslahah mursalah juga bisa digunakan untuk menilai berbagai hukum dan aturan yang berkembang selama ini di atas dunia, termasuk aturan hukum-hukum internasional bisa digunakan. Aturan-aturan hukum yang hanya berdasarkan akal sehat, tidak berdasarkan al-Qur’an dan Wahyu.

Kalau itu sesuai dengan aturan syariat, (ada yang mengatakan bahwa itu) bisa diakui sebagai syariat itu sendiri. Memang, kita banyak menemukan aturan hukum atau perundang-undangan yang hanya berdasarkan akal sehat, akan tetapi sesuai dengan syariat. Pertanyaannya adalah apa bisa diakui dan klaim sebagai syariat itu sendiri apa tidak?

Jawabannya sudah pasti ada perbedaan (ihtilaf) disini. Termasuk adalah Pancasila. Pancasila barangkali didasarkan oleh akal sehat, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa para perumusnya banyak dari kalangan muslim yang mungkin tidak hanya berdasarkan akal sehat, tetapi juga berdasarkan al-Qur’an dan hadis dan seterusnya.

Syahdan, kalau persoalan politik ditarik ke dalam persoalan ketatanegaraan atau sistem pemerintahan, maka kita bisa menyampaikan bahwa pertama, kehadiran negara itu adalah niscaya, namun negara bukanlah tujuan (negara bukanlah tujuan akan tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan). Berkaitan dengan ini, ada kaidah yang mengatakan “kita harga mati menyangkut hal-hal yang merupakan maqasid, tetapi kita beradaptasi dengan situasi dan kondisi berkaitan washail”.

Demikian, maka persoalan negara sangat longgar. Penyebabnya adalah, pertama persoalan ini masuk bagian dari fiqih muamalah. Kedua bahwa, negara bukanlah tujuan akan tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Karena itu, maka nas al-Qur’an dan hadis tidak banyak ikut campur tentang persoalan harus seperti apa sistem pemerintahan dalam Islam, dan seperti apa bentuk-bentuknya.

Tentunya, Islam hanyalah menggaris prinsip-prinsip, yang kalau prinsip-prinsip itu dilaksanakan akan terwujud “apa yang disebut dengan Negara Islam” atau “Negara Islami”. Pertama adalah prinsip al-adalah (keadilan), kedua adalah al-hurriyah (kebebasan), ketiga al-musawah (kesetaraan), keempat al-syura (musyawarah), kelima adalah roqabah al-ummah (kontrol sosial).

Adalah prinsip-prinsip yang tidak hanya bisa diterapkan dalam konteks ketatanegaraan dan sistem pemerintahan, melainkan juga untuk persoalan yang lain. Jika ditanya, bagaimana menurut Islam tentang negara bagi kaum muslimin, apakah kaum muslimin di atas bumi ini harus satu negara atau (bisa saja) berada di berbagai negara? Tentu, kalau kita cari nasnya kita tidak akan menemukannya, baik dalam al-Qur’an maupun as-sunnah.

Tentang sistem pemerintahan. Semenjak ada negara di atas bumi, sudah banyak sistem pemerintahan yang ditawarkan, bahkan sudah banyak yang diterapkan. Misalnya, sistem teokrasi. Sistem teokrasi adalah sistem pemerintahan dengan keyakinan bahwa pemimpin adalah sebagai wakil dari Tuhan. Apakah teokrasi ini sesuai dengan Islam? Sudah barang tentu tidak. Karena, berarti menurut pandangan ini pemimpin itu sakral. Padahal, dalam Islam, pemimpin itu tidak sakral.

Buktinya, Sayyidina Abu Bakar pernah menyampaikan dalam pidatonya, “Wahai  manusia! Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu. Maka, jika aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutilah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah.” Pidato Abu Bakar tahun silam itu bukan sekedar retorika, sebab pidato tersebut di ucapkan setelah terpilih, bukan pidato masa kampanye yang mendagangkan janji. Inilah pidato pemimpin sebagai gantlemen agreement yang mengandung makna dan penuh konsekuensi didalamnya.

Yang ditawarkan adalah sistem demokrasi, yang kalau secara teori, demokrasi pada prinsipnya adalah seperti di atas (al-adalah, al-hurriyah, al-musawah, al-syura, roqabah al-ummah). Akan tetapi, banyak yang keberatan dengan sistem demokrasi. Kenapa, karena inti dari demokrasi adalah “kedaulatan ada di tangan rakyat”.

Bagaimana dengan otoritas Tuhan, seolah-olah demokrasi menafikan otoritas Tuhan? Jawabannya, demokrasi tidak menyangkut tahlil dan tahrim, tidak menyangkut hal-hal mengharamkan dan menghalalkan. Artinya, demokrasi hanya mengangkut persoalan keduniaan, ketatanegaraan yang tidak ada haditsnya, tidak ada Qur’annya, itulah demokrasi.

Sudah pasti, kalau yang kita maksud demokrasi dalam konteks Indonesia adalah, demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila berarti demokrasi ketuhanan yang maha esa dan seterusnya. Dalam hal hubungan antara agama dengan negara ada beberapa teori, ada negara agama, ada negara sekuler, dan ada negara simbiosis.

Negara simbiosis, adalah sebuah negara yang di situ perpaduan antara insaniah dan ilahiyah. Kita tahu, pada dasarnya negara ini adalah insaniah. Namun bagi Islam, tetap harus dikawal dengan ajaran-ajaran agama. Lebih dari itu, negara dan agama ada hubungan saling membutuhkan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, dan negara memerlukan agama.

Lalu bagaimana dengan negara bangsa. Negara bangsa atau ad-daulah al-wathoniyyah adalah negara untuk seluruh warga negara tanpa ada diskriminasi, perbedaan, dan tanpa ada warga negara kelas satu atau kelas dua. Oleh karena itu, (di sini) tidak akan ada kafir dzimmi (seleuruhnya setara) seperti, Indonesia. Jelas, yang memperjuangkan bagi kelahiran negara ini (Indonesia) adalah seluruh komponen bangsa Indonesia dari berbagai penganut agama.

Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa umat Islam memiliki peran yang paling penting dari pada penganut agama lain (karena memang kaum muslimin adalah mayoritas). Akan tetapi, agaknya, penganut agama yang lain tidak bisa dinafikan. Karena itu,, Yahudi, Nasrani dan lainnya bukan warga negara kelas dua. Tidak sama dengan negara Madinah yang dibangun oleh Rasulullah Saw. Negara Madinah dibangun Rasulullah Saw bersama kaum muslimin, sementara Yahudi dan Nasrani hanya ikut numpang saja, sehingga seolah-olah ada warga negara kelas dua.

Sebuah negara yang didirikan oleh oleh seluruh bangsanya dengan berbagai penganut agama, sangat sulit untuk diproklamirkan untuk sebagai negara Islam (katakanlah Islam sulit). Dan, pada gilirannya sangat sulit juga untuk melakukan formalisasi syariat. Meski demikian, di sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, sangat terbuka pintu bagaimana agar supaya nilai-nilai Islam ini mewarnai seluruh perundang-undangan. Ya, terbuka luas. Dan seandainya anggota parlemennya mayoritas kaum muslimin, dan mereka memiliki kemauan, maka dapat di pastikan nilai-nilai Islam seluruhnya mewarnai seluruh perundang-undangan (meskipun tidak harus bernama Islam).

Zaman dulu, di Mesir ada gagasan yang namanya tamshir al-Qanun (Mesirisasi perundang-undangan). Di Indonesia, mungkin bisa diganti dengan tandisul qanun (Indoneisasi Undang-undang), artinya membuat undang-undang yang digali dari peradaban masyarakat Indonesia.

Kita misalnya berbicara tentang rakyat Indonesia, sudah barang tentu yang namanya kaum muslimin tidak bisa dipisahkan dari mazhahib-mazhahib yang ada. Indoneisiasi undang-undang itu sebagai bungkus yang di dalamnya adalah nilai-nilai Islam, karena hal ini sangat sensitif bagi pembuluh agama-agama yang lain.

Tentang tatbiq as-syariah. Ada perbedaan antara tatbiq as-syariah dan alAmar as-Syariah. Artinya, mengamalkan syariat merupakan kewajiban seluruh Islam, dan kaum muslimin di negara ini memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk melaksanakan ajaran agamanya. Iya, bebas sekali.

Kurangnya, hanya satu yaitu, tatbiq as-syariah atau yang disebut dengan formalisasi syariah. Karangan-karangan tertentu yang sangat semangat dengan tatbiq as-syariah ini,  sesungguhnya, ia mereduksi arti dari pada syariah, seolah-olah yang dimaksud adalah hanya hal-hal yang berkaitan dengan jinayat, jarimah dan uqubah. Padahal, hal itu tidak lebih dari satu persen dari pada syariat (hudud, qishas, diyat dan seterusnya).

Sekalipun diformalkan, sudah pasti tidak akan berjalan mulus. Sebab, misalnya pencurian. Orang itu bisa dipotong tangan kalau sudah dibuktikan bahwa dia mencuri, dan alat buktinya sangat sulit. Sekurang-kurangnya disaksikan dua orang saksi yang berkualitas. Namun, di zaman sekarang (menjadi) mencari satu orang yang berkualitas, apalagi dua orang, begitu sulit sekali.

Sekali lagi, kalau sudah ditemukan dan dibuktikan bahwa si A mencuri dengan kesaksian dua orang saksi, apakah dipotong tangan? Belum tentu. Karena ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab. Misalnya, pertanyaan yang pertama kenapa dia mencuri? Dalam kondisi apa dia mencuri? Milik siapa yang dicuri? Berapa uang yang di curinya? Semua ini harus dijawab, jika tidak, maka tak bisa dilaksanakan pertentangan, karena bukan hanya al-syariku wa al-syarikatu dalilnya, akan tetapi ada dalilnya yang mengatakan, “sepanjang masih belum clear, maka tidak bisa dilaksanakan”.

Ini hanya potong tangan. Bagaimana dengan perzinaan. Jelas, perzinaan alat buktinya hanya dua. Pertama pengakuan, yang kedua adalah kesaksian empat orang saksi. Ada pertanyaan Bagaimana kalau pakai CCTV? Jawabannya tidak bisa, karena visi Islam bukan untuk mengungkapkan aib, tetapi justru sebaliknya untuk menutup aib.

Masih tentang tatbiq. Kita tidak mengatakan bahwa tatbiq itu tak penting, akan tetapi bukan segala-galanya. Yang paling penting adalah pendidikan terhadap masyarakat. Memang, aturan hormat ini hanya penting bagi orang-orang yang lemah imannya, sementara orang-orang yang kuat tak memerlukan. Karena itu, Sayyidina Utsman mengatakan, wazi’ sultan hanya untuk mereka-mereka yang lemah iman, sementara mereka yang kuat iman, maka cukup dengan wazi’ qur’ani.

Kalau negara bukan tujuan, kira-kira apa tujuan negara? Tujuan negara adalah tak lain dari pada tujuan syariat itu sendiri. Lalu apa tujuan syariat? Ibnu Asyur mengatakan, bahwa tujuan syariat adalah menjaga tatanan-tatanan sosial. Tujuan syariat yang seperti ini meniscayakan perlindungan terhadap agama, perlindungan terhadap jiwa, perlindungan terhadap akal, perlindungan terhadap nasab, perlindungan terhadap harta, dan lainnya.

Dengan berbagai macam perlindungan ini, maka akan lahir keamanan dan ketentraman. dunia ini harus aman. Kenapa? Al-Ghazali berkata dunia ini adalah ladang untuk akhirat”. Karena harus aman, menjadi tempat yang kondusif bagi penyiapan bekal untuk hidup di akhirat harus aman.

Kita tahu, Nabi Ibrahim doanya adalah aman, “bahwa Ibrahim adalah sangat pencinta tanah airnya”. Orang yang selalu berdoa mudah-mudahan Indonesia itu aman, sebagai tanda bahwa, dia adalah cinta tanah air, sebagai tanda bahwa dia adalah orang nasionalis. Tentu, nasional bukan kebalikan religius, karena religius sudah pasti nasionalis. Begitu juga orang muslim yang baik, pasti nasionalis. Wallahu a’lam bisshawab.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.