Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Imam Syafi’i berhutang budi pada Imam Baihaqi

Avatar photo
53
×

Imam Syafi’i berhutang budi pada Imam Baihaqi

Share this article

Imam Tajuddin Al-Subki dalam kitabnya ath-Thabaqat menukilkan perkataan Imam Al-Haramain Al-Juwaini:

مَا من شَافِعِيّ إِلَّا وَللشَّافِعِيّ فِي عُنُقه منَّة إِلَّا الْبَيْهَقِيّ فَإِنَّهُ لَهُ على الشَّافِعِي منَّة لتصانيفه فِي نصرته لمذهبه وأقاويله

“Setiap muslim penganut mazhab Syafi’i pasti berhutang-budi kepada Imam Syafi’i (w. 204 H). Kecuali Imam Baihaqi (w. 458 H), justru Imam Syafi’i yang berhutang budi kepadanya.” [Thabaqāt Al-Syāfi’iyyah Al-Kubrā: Cet. Hijr/Vol. 4/Hal. 8/Ed. Dr. Mahmud Al-Thanahi].

Dilatarbelakangi miskonsepsi kelompok anti mazhab atau non-Syafi’iyah yang fanatik pada mazhabnya, menuduh bahwa mazhab kita tidak dibangun atas pondasi dalil-dalil Sunnah yang kokoh, dan menyangka bahwa Imam Syafi’i lebih mengutamakan produk ijtihad melalui qiyas dan rasio. Berbeda halnya dengan mazhab Maliki yang terbukukan dasar-dasar Sunnahnya dalam Kitab Al-Muwattha’, dan mazhab Hanbali dalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, tak jarang mereka mengecoh kita dengan perkataan Imam Syafi’i sendiri:

إِذَا صَحَّ الْحَدْيِثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ

“Apabila kalian menemukan hadits shahih, maka itulah mazhabku.”

Perkataan yang sesungguhnya menyimpan unsur ketawadhuan dan objektif Sang Imam itu mereka goreng secara berlebihan dengan narasi logical-fallacy, “Imam kalian itu tidak pernah menemukan hadis dalam permasalahan fulani, atau belum membedakan mana yang shahih dan mana yang tidak, makanya mengambil pendapat yang sebetulnya dhaif. Jadi kalau pendapat Imam kalian tidak sejalan dengan hadits yang shahih, kalian pilih yang mana? Ikut Imam Syafi’i atau ikut Nabi?”

Pada abad keempat Hijriah, datang Imam Ahmad bin Husein Al-Baihaqi, seorang imam besar yang mutamakkin (kapabel) dalam berbagai bidang ilmu: muhaddits, faqih lagi mutakallim. Melalui karya-karya hebatnya, terutama Al-Sunan Al-Kubrā, menjadi senjata ampuh untuk menjawab narasi diskredit mazhab Syafi’i di atas. Sebab, hampir semua furu’ fiqhiyah yang diambil dalam mazhab Syafi’i dapat ditemukan dalil hadisnya dalam karya Imam Al-Baihaqi tersebut. Keren kan?

Walaupun saya pernah mendengar salah seorang guru kami tidak sepenuhnya setuju dengan perkataan Imam Al-Haramain di atas. Sebab, Imam Asy-Syafi’i melalui kitab Al-Umm dan Al-Risalah telah menunjukkan ketinggian kapasitas beliau terhadap Ilmu hadits dan periwayatannya. Dosen kami Almarhum Prof. Dr. Sa’id Shawwabi mentahqiq pendapat bahwa yang pertama meletakkan dasar pembukuan Ilmu Musthalah Hadits adalah Imam Asy-Syafi’i dalam Risalah-nya, jauh mendahului Al-Qadhi Al-Ramahurmuzi dalam Al-Muhaddits Al-Fāshil. Pun dengan kitab Al-Umm yang dipenuhi dengan riwayat atsar muttashil baik kepada Nabi, Sahabat, Tabi’in dan para imam besar generasi setelahnya. Maka dari sini sudah jelas bahwa pondasi utama Asy-Syafi’i dalam membangun mazhabnya adalah kealiman dalam tafsir Al-Qur’an dan kealimannya dalam Sunnah. Jika tidak ditemukan dalam dua sumber primer tersebut, barulah ijmak, amalan sahabat, qiyas dan seterusnya.

Meski demikian, tetaplah tidak berlebihan jika kontribusi Imam Al-Baihaqi dinilai sebagai jasa sangat besar bagi mazhab. Dilihat dari cara pengurutan bab dan hadits yang sangat memudahkan bagi para penganut Asy-Syafi’i yang mencari dalil atas amaliyah mazhabnya. Sebab, dalam kitab-kitab fikih mazhab yang banyak kita baca, para fuqaha menyajikan kepada kita fikih dalam bentuknya yang matang, tanpa mencantumkan dalil hadits dari permasalahan yang mereka tulis. Prinsipnya, pengolahan itu biar tugas para mujtahid, kita sebagai muqallid cukup menikmati hidangan saja. Kita dikasi enak kok malah nyalah-nyalahin.

Well, tapi kalau memang anda mau ikut ke dapur dan melihat pengolahan memasaknya, memang harus harus merujuk kepada kitab-kitab hadits. Tidak cukup memeriksa dalilnya dalam kitab-kitab fikih, walau yang berjilid-jilid sekalipun. Kalaupun seorang fakih menukilkan dalil, pembaca tetap perlu merujuk kepada kitab-kitab riwayah. Syekh Abdullah Izzuddin berpesan, “Misalnya, kalian membaca Syarh Kabir-nya Imam Al-Rafi’i atas kitab Al-Wajiz Imam Al-Ghazali (salah satu kitab paling mu’tamad dalam mazhab), kalian harus membacanya didampingi dengan Al-Talkhīs Al-Habīr karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani yang berisi takhrij hadits-hadits yang ada di dalamnya. Sebab, para fuqaha fokusnya hanya mendatangkan hadis hanya sebagai istisyhad dan bukan menukil persis secara lafzhi.”

Sekali lagi perlu diketahui: ulama fikih, ushul fikih dan hadits memiliki titik fokus dan porsi tugas masing-masing dalam melestarikan syariat Islam. Karena itu, pesan dosen kami Prof. Dr. Imad Syirbini, “Bukanlah adab yang baik jika mencela mereka karena taqshir (kekurangmendalaman) dalam hal yang bukan asli tugas mereka.”

Lantas, kalau mau masuk dapur pendalilan mazhab Syafi’i, merujuk ke kitab hadits yang mana?

Untuk menjawabnya, saya ingin sedikit berbagi pengalaman sederhana dalam membuktikan kebenaran perkataan Imam Al-Haramain di atas. Dari pembacaan singkat terhadap kitab fikih Syafi’i, dan mencari sebuah studi kasus untuk saya telusuri dalilnya dalam Sunan Al-Kubra Imam Al-Baihaqi.

Ketika mengikuti pengajian Al-Iqna’ Syarh Matn Abi Syujā’ tentang pembahasan pengurusan jenazah, Imam Al-Khatib Al-Syirbini secara detail menjelaskan kewajiban kifayah orang muslim terhadap saudara muslim yang meninggal. Betapa keindahan syariat Islam memberikan perhatian besar terhadap hak sesama, dari sejak lahir, tidak berhenti hingga nafas terakhir, bahkan sampai masuk liang lahat.

Pada pembahasan pengkafanan mayyit, Imam Al-Khatib menulis sebuah teks yang bila diamalkan akan mengundang kontroversi, ketika beliau mengatakan “Dalam mengkafani mayit laki-laki boleh menambahkan jubah.”

Padahal yang jamak diketahui, jenazah lelaki maksimal dikafankan dengan tiga lapis kain kafan putih saja tanpa ditambahkan apa-apa lagi, sedangkan jenazah wanita dengan lima lapis, terdiri dari gamis, bawahan, mukena dan dua helai kain putih. Bukankah itu yang ada dalilnya dalam sunnah sebagaimana riwayat Sayyidah Aisyah RA, “Rasulullah SAW dikafankan dengan tiga helai kain putih Sahūliyyah, tanpa ada jubah dan imamah”? [Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Janāiz, No. Hadits 1271]. Lantas apa dasarnya Al-Khatib membolehkan penambahan jubah dan imamah untuk jenazah lelaki? Tidakkah ini bid’ah?

Perbedatan semacam itu potensial terjadi di kalangan masyarakat yang belum diberikan pemahaman. Syekh Abdullah berbagi pengalaman nyata beliau sendiri yang pernah didebat karena persoalan ini, bahkan di tengah-tengah peristiwa berduka beliau.

Ketika ayahandanya meninggal, Syekh Abdullah dirundung kesedihan mendalam. Di tengah kesedihan itu, guru tercintanya Prof. Dr. Mustofa Abu Sulaiman Al-Nadwi mengirimkan kepada beliau sebuah jubah putih, yang merupakan jubah yang biasa beliau kenakan. Syekh Abdullah merasa sangat terhibur menerima hadiah gurunya di saat-saat menyedihkan itu. Apa yang beliau lakukan dengan jubah itu? Hal terbaik yang menurutnya dilakukan adalah, memakaikan jubah gurunya tersebut untuk jenazah ayahnya. Beliau merasa tenang jika jasad ayah biologisnya disemayamkan dalam peristirahan terakhir dengan mengenakan jubah ayah ideologisnya.

Dalam proses pengafanan, ketika beliau memasangkan jubah pada jasad ayahnya, tetiba seorang bapak-bapak memprotes, “Mengapa ayahmu dipakaikan jubah? Ini tidak sesuai dengan sunnah!”

Menanggapi seorang yang tega mengajak debat dalam kondisi berduka seperti itu, Syekh Abdullah yang sebenarnya mengetahui nash kebolehan itu ada dalam kitab-kitab fikih, hanya menjawab simpel, “Pak, nanti kalau ayahnya bapak yang meninggal, silahkan kafankan beliau dengan cara yang bapak mau. Tapi ini ayah saya, jadi berikan hak saya untuk mengkafankan beliau dengan cara sunnah yang lebih menenangkan bagi saya.” Akhirnya bapak itu terdiam.

Perihal, tabarruk dengan jubah sang guru, beliau mengingatkan kita pada kisah yang terjadi antara Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal:

Imam Syafi’i ketika baru tiba dari Mesir, mengutus salah seorang murid kesayangannya mengirimkan sepucuk surat kepada muridnya, Imam Ahmad bin Hanbal di Bagdad.  Sesampainya surat itu, Imam Ahmad membacanya dengan berlinang air mata. Sang pengantar surat heran dan bertanya, “Apa gerangan yang membuatmu menangis, wahai Imam?”

Ternyata dalam surat itu Imam Asy-Syafi’i bercerita, bahwa setibanya di Mesir beliau bermimpi berjumpa dengan Rasulullah SAW dan berkata, “Tulislah surat kepada Ahmad bin Hanbal, sampaikanlah salamku kepadanya, dan kabari bahwa tidak lama lagi dia akan mendapatkan cobaan, dia akan dipaksa untuk mengakui bahwa Al-Quran adalah makhluk. Maka kuatkanlah diri, jangan sampai menuruti fitnah tersebut. Dengan keteguhannya memegang kebenaran meski berhadapan dengan cambukan memedihkan, maka Allah akan mengabadikan ilmunya sampai hari kiamat.”

Bagi Imam Ahmad, isi surat itu amat membahagiakan, sebab mendapatkan salam dan bisyarah luar biasa dari kekasihnya, Rasulullah saw. Karena itu airmata dinginnya berlinang. Sebagai ungkapan kebahagian dan terimakasih, rasanya ingin sekali membalas kebaikan gurunya Imam Syafi’i. Namun sayang, Imam Ahmad bukanlah orang kaya, dia tidak memiliki harta paling berharga selain jubah yang ia kenakan. Maka seketika beliau mencabut jubahnya dan mengatakan kepada pengantar surat, “Kirimkanlah jubahku ini kepada Imam Syafi’i.”

Sesampainya di Mesir, Imam Syafi’i menyambutnya dengan bertanya, “Wahai Rabi’, apa yang dikirimkan Ahmad?”

“Jubah yang sedang ia pakai.”

“Basahkanlah jubah itu, dan bawa kemari airnya.” Lalu beliau membagi air basahan dari jubah Imam Ahmad dengan muridnya untuk digunakan bertabarruk.

Syekh Abdullah hanya menjelaskan persefektif tabarruk melalui kisah di atas. Adapun dalil legitimasi pemakaian jubah untuk jenazah, sejauh itu belum memuaskan. Saya berinisiatif menelusuri sendiri dalilnya dalam Al-Sunan Al-Kubra. Dan betul, dalam kitab Al-Janāiz, Imam Al-Baihaqi membuat bab khusus menjawab persoalan ini yang beliau beri judul:

بَابُ جَوَازِ التَّكْفِينِ فِي الْقَمِيصِ وَإِنَّا كُنَّا نَخْتَارُ مَا اخْتِيرَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Ada beberapa hadis yang diriwayatkan di bawah bab ini sebagai dalil, ringkasnya sebagai berikut (selengkapnya rujuk di No. Hadis 6685-6689):

1. Bahwa ketika meninggalnya Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang pemimpin kaum munafik di Madinah, Nabi sosok yang sangat pemaaf mengirimkan jubah kepada putranya bernama Abdullah bin Abdullah Ra., seorang sahabat yang beriman untuk dipakaikan pada jasad ayahnya.

2. Bahwa Sayidina Abdullah bin Umar Ra. ketika putranya meninggal, mengkafaninya dengan lima lapis yang terdiri dari tiga kain putih, ditambah jubah dan imamah.

Meski lega mendapatkan dalil atas persoalan yang sedang diteliti, sejujurnya masih ada hal yang janggal dan membuka pintu keberatan. Pada pertemuan berikutnya saya menanyakan kejanggalan itu kepada Syekh, “Maulana, bisakah riwayat-riwayat yang saya temukan dalam Sunan Al-Baihaqi menjadi hujjah dalam hal ini?”

Beliau menjawab:

Pertama, soal pemberian jubah kepada Ibnu Salul, maksud utama Rasulullah dari pemberian itu adalah menjaga perasaan anaknya yang beriman. Dan tidak bermaksud mensyafaati seorang yang telah dicap kemunafikannya oleh Allah dalam Al-Quran Surat Al-Taubah:

اسْتَغْفِرْ لَهُمْ، أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ، إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَهُمْ

وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ

Kedua: walaupun tidak dilakukan langsung oleh Rasulullah saw, tetapi kebolehan itu dilakukan oleh Sahabat Mulia Sayyidina Abdullah bin Umar Ra. dalam mengafani keluarganya. Tetapi pertanyaannya, “Sejauh mana kehujahan amalan aahabat?”

Amalan mawquf yang dilakukan oleh Sayiduna Ibnu Umar tidak menjadi hujjah bi dzatihi (secara independen), melainkan disebabkan Iktikad kita bahwa seorang sahabat yang telah dijamin keadilannya oleh Allah, khususnya Sayyidina Ibnu Umar yang terkenal sebagai sahabat paling berusaha menjalankan sunnah, tidaklah melakukan sesuatu sembarangan melainkan mengetahui bahwa apa yang dia lakukan seandainya dilihat Baginda Nabi Saw., beliau akan meridhainya.

Demikianlah pengalaman singkat saya menelusuri kehebatan Sunan Kubrā Imam Al-Baihaqi, dan masih banyak lagi jika para asatidz mencoba pada studi kasus lainnya. Karena itu, Sunan ini sangat perlu menjadi koleksi perpustakaan pesantren-pesantren di Nusantara yang menganut dan mengajarkan mazhab Syafi’i.

Sayangnya, karena urgensi kitab ini belum begitu disadari oleh pengikut mazhab Syafi’i, maka nilai jualnya belum begitu tinggi. Buktinya belum ada cetakan kitab ini yang betul-betul memberikan haknya. Semoga tulisan ini dapat sedikit membuka mata kita, serta kedepan penerbit-penerbit kitab berkualitas seperti Maknaz Islami, Darul Minhaj, Muassasah Risalah, Dar Al-Tha’shil akan memenuhi harapan kita dengan menerbitkan kitab ini.

Kontributor

  • Zeyn Ruslan

    Bernama lengkap Muhammad Zainuddin Ruslan. Asal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pernah belajar di Pondok Pesantren Darul Kamal NW Kembang Kerang dan telah menyelesaikan studi S1 di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.