Sepulangnya Rasulullah saw dari perjalanan Isra Mikraj,
kaum Quraisy Makkah terbagi tiga kelompok.
Pertama, kelompok yang menolak mentah-mentah penjelasan
Rasul tentang peristiwa Isra Mikraj. Sekalipun beliau telah menjawab semua pertanyaan yang mereka ajukan, bahkan
menjelaskan keadaan Masjid al Aqsa sesuai dengan keadaan sebenarnya, mereka
tetap tidak mau percaya. Kesombongan telah menutup mata hati mereka dari iman
dan kebenaran. Kelompok ini dipimpin oleh Abu Lahab.
Kedua, adalah mereka yang ragu akan kebenaran Isra Mikraj.
Di satu sisi mereka mengakui bahwa Rasulullah adalah orang yang jujur, tidak
pernah berbohong. Di sisi lain, keanehan peristiwa Isra Mikraj sulit dimengerti
oleh akal. Bagi mereka, Isra Mikraj
secara fisik adalah sesuatu yang tidak masuk akal, karena itu mustahil terjadi.
Sedangkan kelompok ketiga, adalah mereka yang percaya
terhadap kebenaran peristiwa Isra Mikraj, sekalipun peristiwa itu dengan penuh
keajaiban. Isra Mikraj, dalam keyakinan mereka, benar terjadi secara fisik oleh
Rasulullah. “Meskipun lebih aneh dari itu, asalkan sumbernya dari Rasulullah,
aku akan percaya”, demikian kata Abu Bakar Shiddiq ra., tokoh kelompok ini.
Pengelompokan kaum Quraisy menjadi tiga kategori
diatas, adalah cermin kondisi realitas umat manusia sekarang, yang juga bisa
kita kategorikan ke dalam 3 kelompok dalam menyikapi ajaran Islam.
Kelompok Abu Jahal di era modern, diwujudkan dalam
tipe-tipe manusia yang selalu memusuhi Islam. Mereka mengetahui bahwa Islam
adalah ajaran terakhir umat manusia, akan tetapi kesombongan telah menutup akal
dan mata hati dari cahaya kebenaran. Hati, akal dan pendengaran mereka, tidak
lagi digunakan dalam memahami petunjuk Ilahi.
Sebaliknya, mereka mendiskreditkan Islam dan kaum
muslimin: menuduh Islam sebagai biang teroris, menjauhkan umat Islam dari
agama, serta merusak akhlak generasi muda Muslim dengan berbagai cara. Salah
satunya melalui konsep—yang disebut sebagian orang sebagai—9 F (Food, Fun,
Fashion, Freedom, Finance, Film, Faith, Football, Friction).
Kelompok kedua adalah mereka yang selalu mengedepankan
rasio dalam memahami ajaran agama. Seolah semua doktrin agama harus selalu
sejalan dengan akal sehat manusia. Mereka tidak mau menerima konsep ajaran yang
irasional, seperti halnya Isra Mikraj, karena tidak masuk akal.
Dalam menafsirkan Kitab suci Al-Quran misalnya, mereka
lakukan berdasarkan akal. Mereka tidak mau terikat oleh berbagai persyaratan
dan metode yang telah menjadi kesepakatan para ulama terdahulu. Mereka
pura-pura lupa dengan perkataan Abu Bakar Ash-Shiddieq ”Langit mana yang akan
menaungiku dan bumi mana yang akan kuinjak, andaikata aku menafsirkan Al-Quran
dengan akalku?” Artinya, penafsiran Al-Quran hanya dengan akal, walaupun
tafsirnya mungkin benar, tetap sebuah kesalahan.
Dalam upaya rasionalisasi ajaran, mereka selalu
berdalih dengan hadits Nabi–yang sebenarnya dhaif—“Agama adalah akal. Tidaklah
termasuk orang yang beragama, orang yang tidak memiliki akal.” Dengan hadits
itu, seolah mereka ingin “memperkosa” ajaran agama, agar selalu sejalan dengan
rasio.
Mereka tidak tahu, bahwa tidak semua ajaran agama bisa
dicerna dengan akal. Jika semua ajaran itu rasional, tentulah keharusan
mengusap sepatu saat wudhu (mashul khuffain), bukanlah pada bagian atasnya,
tetapi pada bagian telapaknya.
Kelompok ideal adalah mereka yang bertipe seperti Abu
Bakar Shiddiq, figur yang mampu menyatukan antara hati dan rasio, keimanan dan
akal, dzikir serta fikir, dalam memahami berbagai pesan Tuhan yang tertuang
dalam ajaran agama.
Mereka menyadari, bahwa di antara ajaran agama, ada
yang bisa dicerna dengan akal sehat (ta’aqquli), dan ada pula bagian-bagian
tertentu yang hanya bisa diterima oleh mata hati dan keimanan (ta’abbudi).
Ajaran yang ta’aqquli banyak terdapat pada ibadah
sosial, seperti mengapa zakat diwajibkan? Mengapa riba dilarang?
Sedangkan ajaran yang ta’abbudi umumnya pada ibadah
ritual. Misalnya terkait tata cara wudhu, jumlah rakaat shalat, dan lain-lain.
Kata Syekh Izzuddin ibn Abdissalam (w. 660 H) dalam kitabnya Qawaid al-Ahkam,
ajaran yang sifatnya ta’abbudi ini kita amalkan, sebagai bentuk penghambaan dan
ketaatan total kepada Tuhan. Ijlalan lirrobbi wanqiyadan ila tha’atihi.
Kelompok ini yakin, bahwa upaya rasionalisasi yang
serampangan atas ajaran agama, hanya akan menghilangkan makna spiritual dari agama
itu sendiri. Agama tidak lagi menyejukkan. Yang tersisa hanyalah kegersangan
dan kehampaan nilai.
Sebagai mukjizat, Isra Mikraj memang sulit difahami
oleh mereka yang dunianya dibatasi hanya sampai dimensi hakikat fisik saja.
Perjalanan Nabi dari Makkah ke Jerussalem, kemudian beliau melakukan Mikraj,
naik melewati seluruh derajat eksistensi—ke wilayah kosmos yang paling besar–
“suatu tempat yang tiada berbatas” (Sidratul Muntaha), dan bahkan lebih jauh
dari itu hingga pada tempat yang lebih dekat dengan Tuhan, yang digambarkan
sebagai maqam “jarak dua busur” (Qab al-Qausaini), merupakan contoh
pendakian spiritual dan model kehidupan ruhani.
Bagi kita, peristiwa Isra Mikraj menunjuk pada suatu
perjalanan ke tingkatan wujud yang lebih tinggi dan bukan hanya perjalanan ke
luar angkasa. Lebih dari itu, karena ihwal ruhani merupakan asas bagi ihwal
kejiwaan, dan ihwal kejiwaan merupakan asas bagi ihwal fisikal, maka adalah
selalu merupakan kemungkinan bagi hakikat yang memiliki tingkatan yang lebih rendah
untuk disatukan dan diserap ke dalam realitas yang lebih tinggi.
Karena itulah, jika keseimbangan antara hati dan rasio,
akal dan keimanan, dzikir dan fikir,
menjadi dasar dalam memahami Isra Mikraj, maka tidak ada hal yang
memberatkan kita untuk meyakini kebenaran peristiwa ini. Termasuk dalam hal sikap beragama. Agama
tidak akan terasa menyulitkan apalagi memberatkan, jika kita menghadapinya
dengan asas keseimbangan di atas. Wallahu A’lam.